PENDAHULUAN
Sindroma metabolik terdiri atas sekumpulan beberapa faktor risiko penyakit jantung koroner baik berupa kelainan lipid maupun yang bukan. Walaupun pada saat ini ditemukan beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan diagnosis sindroma metabolik, hampir semua kriteria memasukkan penumpukkan lemak di daerah perut yang dikenal juga dengan obesitas sentral sebagai salah satu dari kriteria utama. Hal ini membuktikan bahwa obesitas sentral memegang peran penting terjadinya sindroma metabolik dengan berbagai kelainan yang menyertai.
Menurut National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III), pokok penyebab timbulnya sindroma metabolik adalah obesitas akibat aktivitas fisik yang kurang dan faktor genetik. Oleh karena itu, masalah utama penatalaksanaan sindroma metabolik adalah bagaimana menurunkan berat badan pada mereka yang obes. Penurunan berat badan dengan cara meningkatkan aktivitas tubuh dan perubahan pola makan telah terbukti berhasil menurunkan berat badan pada mereka dengan berat badan lebih dan obes. Penurunan berat badan ternyata juga diikuti dengan perbaikan faktor risiko penyakit jantung koroner yang biasa ditemukan pada sindroma metabolik. Penurunan berat badan ini tidak harus mencapai berat badan normal karena penurunan berat badan sekitar 5% saja dari berat badan awal sudah sangat mengurangi berbagai faktor risiko. Artikel ini akan membahas peran nutrisi medik pada penatalaksanaan sindroma metabolik.
Sindroma metabolik terdiri atas sekumpulan beberapa faktor risiko penyakit jantung koroner baik berupa kelainan lipid maupun yang bukan. Walaupun pada saat ini ditemukan beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan diagnosis sindroma metabolik, hampir semua kriteria memasukkan penumpukkan lemak di daerah perut yang dikenal juga dengan obesitas sentral sebagai salah satu dari kriteria utama. Hal ini membuktikan bahwa obesitas sentral memegang peran penting terjadinya sindroma metabolik dengan berbagai kelainan yang menyertai.
Menurut National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III), pokok penyebab timbulnya sindroma metabolik adalah obesitas akibat aktivitas fisik yang kurang dan faktor genetik. Oleh karena itu, masalah utama penatalaksanaan sindroma metabolik adalah bagaimana menurunkan berat badan pada mereka yang obes. Penurunan berat badan dengan cara meningkatkan aktivitas tubuh dan perubahan pola makan telah terbukti berhasil menurunkan berat badan pada mereka dengan berat badan lebih dan obes. Penurunan berat badan ternyata juga diikuti dengan perbaikan faktor risiko penyakit jantung koroner yang biasa ditemukan pada sindroma metabolik. Penurunan berat badan ini tidak harus mencapai berat badan normal karena penurunan berat badan sekitar 5% saja dari berat badan awal sudah sangat mengurangi berbagai faktor risiko. Artikel ini akan membahas peran nutrisi medik pada penatalaksanaan sindroma metabolik.
TERAPI NUTRISI MEDIK PADA SINDROMA METABOLIK
Terapi nutrisi medik menurut definisinya adalah penggunaan layanan nutrisi khusus untuk mengobati penyakit, luka, atau kondisi lainnya dan mencakup dua hal utama yaitu penilaian status gizi penderita dan penatalaksanaan yang mencakup terapi nutrisi, penyuluhan, dan penggunaan suplement nutrisi khusus. Mengingat pada umumnya penderita sindroma metabolik disertai dengan berat badan lebih dan obes maka terapi nutrisi medis yang dianjurkan adalah diet rendah kalori (reducing diet). Bagi sebagian kecil penderita sindroma metabolik yang berat badannya normal, tentunya terapi nutrisi medik yang diberikan adalah yang sesuai kalorinya dengan kebutuhan harian penderita.
Selain makanan rendah kalori, terapi nutrisi medik diharapkan mampu membantu mengatasi masalah metabolik lainnya pada sindroma metabolik seperti dislipidemi, hipertensi, dan toleransi glukosa terganggu bahkan diabetes melitus tipe 2. Sampai saat ini belum ada terapi nutrisi medik khusus untuk penderita sindroma metabolik, walaupun beberapa penulis telah mencoba mengemukakan terapi nutrisi medik khusus untuk sindroma metabolik.
Terapi nutrisi medik mencakup perhitungan kalori yang akan diberikan, jenis makronutrient (karbohidrat dan terutama lemak) yang membantu mengatasi faktor-faktor risiko sindroma metabolik, serta mineral dan zat gizi lainnya agar tercapai hasil yang optimal.
Selain makanan rendah kalori, terapi nutrisi medik diharapkan mampu membantu mengatasi masalah metabolik lainnya pada sindroma metabolik seperti dislipidemi, hipertensi, dan toleransi glukosa terganggu bahkan diabetes melitus tipe 2. Sampai saat ini belum ada terapi nutrisi medik khusus untuk penderita sindroma metabolik, walaupun beberapa penulis telah mencoba mengemukakan terapi nutrisi medik khusus untuk sindroma metabolik.
Terapi nutrisi medik mencakup perhitungan kalori yang akan diberikan, jenis makronutrient (karbohidrat dan terutama lemak) yang membantu mengatasi faktor-faktor risiko sindroma metabolik, serta mineral dan zat gizi lainnya agar tercapai hasil yang optimal.
Jumlah kalori
Kalori yang diberikan berkisar antara 800 – 1500 kalori perhari, walaupun defisit kalori sebesar 500 – 1000 kalori perhari dari asupan rata-rata harian sudah cukup baik dan menghasilkan penurunan berat badan antara 0,5 – 1,0 kg setiap minggu. Saat ini sedang dalam perdebatan hangat apakah komposisi makronutrient tertentu dalam diet rendah kalori dapat mempercepat proses penurunan berat badan. Umumnya dibandingkan antara diet rendah lemak tinggi karbohidrat dengan diet rendah karbohidrat tinggi protein seperti diet dari Atkin. Walaupun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa diet rendah karbohidrat tinggi protein menyebabkan penurunan berat badan yang lebih besar dalam 6 bulan pertama, namun dalam jangka panjang perbedaan ini secara statistik menjadi tidak bermakna lagi. Para peneliti itu menganjurkan perlunya penelitian tentang profil keamanan diet rendah karbohidrat tinggi protein yang belum teruji keamanannya seperti diet rendah lemak.
Perbedaan penurunan berat badan antara kedua jenis diet tersebut diduga disebabkan adanya efek thermogenik dan efek rasa kenyang (satieting effect) yang lebih tinggi pada diet tinggi protein. Namun hal ini masih diragukan karena efek thermogenik diet tinggi protein sebesar 30-35% dari asupan energi hanya menghasilkan peningkatan penurunan berat badan sebesar 0.04 kg/minggu saja. Selain itu, efek rasa kenyang selain dapat ditingkatkan dengan diet tinggi protein juga dapat di tingkatkan dengan diet tinggi karbohidrat tinggi serat.
Karbohidrat
Anjuran makan sehat di berbagai negara dan juga dianjurkan oleh banyak organisasi kesehatan dunia adalah diet rendah lemak rendah kalori. Pada diet NCEP ATP III misalnya, asupan karbohidrat dianjurkan berkisar antara 50 – 60%, dengan catatan untuk sindroma metabolik dianjurkan asupan karbohidrat 50% saja, dengan peningkatan asupan lemak hingga 35% dari total kalori asalkan lemaknya berasal dari lemak tak jenuh ganda atau tunggal. Karbohidrat yang dianjurkan adalah yang termasuk jenis karbohidrat kompleks seperti padi-padian dengan pemrosesan minimal (wholegrain cereals), buah-buahan, dan sayuran. Semua jenis karbohidrat ini juga disebut sebagai karbohidrat dengan indeks glikemik rendah. Indeks glikemik adalah angka klasifikasi fisiologis makanan karbohidrat berdasarkan kecepatan absorpsinya. Indeks glikemik biasanya didefinisikan sebagai luas wilayah dibawah kurva respons selama periode 2 jam setelah mengkonsumsi 50 gram karbohidrat dari makanan yang diuji, dan nilainya dibandingkan relatif terhadap efek glikemik terhadap roti tawar atau glukosa dengan kandungan karbohidrat yang sama. Makanan dengan nilai indeks glikemik tinggi memiliki luas area dibawah kurva yang tinggi selama masa 2 jam post prandial.
Kalori yang diberikan berkisar antara 800 – 1500 kalori perhari, walaupun defisit kalori sebesar 500 – 1000 kalori perhari dari asupan rata-rata harian sudah cukup baik dan menghasilkan penurunan berat badan antara 0,5 – 1,0 kg setiap minggu. Saat ini sedang dalam perdebatan hangat apakah komposisi makronutrient tertentu dalam diet rendah kalori dapat mempercepat proses penurunan berat badan. Umumnya dibandingkan antara diet rendah lemak tinggi karbohidrat dengan diet rendah karbohidrat tinggi protein seperti diet dari Atkin. Walaupun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa diet rendah karbohidrat tinggi protein menyebabkan penurunan berat badan yang lebih besar dalam 6 bulan pertama, namun dalam jangka panjang perbedaan ini secara statistik menjadi tidak bermakna lagi. Para peneliti itu menganjurkan perlunya penelitian tentang profil keamanan diet rendah karbohidrat tinggi protein yang belum teruji keamanannya seperti diet rendah lemak.
Perbedaan penurunan berat badan antara kedua jenis diet tersebut diduga disebabkan adanya efek thermogenik dan efek rasa kenyang (satieting effect) yang lebih tinggi pada diet tinggi protein. Namun hal ini masih diragukan karena efek thermogenik diet tinggi protein sebesar 30-35% dari asupan energi hanya menghasilkan peningkatan penurunan berat badan sebesar 0.04 kg/minggu saja. Selain itu, efek rasa kenyang selain dapat ditingkatkan dengan diet tinggi protein juga dapat di tingkatkan dengan diet tinggi karbohidrat tinggi serat.
Karbohidrat
Anjuran makan sehat di berbagai negara dan juga dianjurkan oleh banyak organisasi kesehatan dunia adalah diet rendah lemak rendah kalori. Pada diet NCEP ATP III misalnya, asupan karbohidrat dianjurkan berkisar antara 50 – 60%, dengan catatan untuk sindroma metabolik dianjurkan asupan karbohidrat 50% saja, dengan peningkatan asupan lemak hingga 35% dari total kalori asalkan lemaknya berasal dari lemak tak jenuh ganda atau tunggal. Karbohidrat yang dianjurkan adalah yang termasuk jenis karbohidrat kompleks seperti padi-padian dengan pemrosesan minimal (wholegrain cereals), buah-buahan, dan sayuran. Semua jenis karbohidrat ini juga disebut sebagai karbohidrat dengan indeks glikemik rendah. Indeks glikemik adalah angka klasifikasi fisiologis makanan karbohidrat berdasarkan kecepatan absorpsinya. Indeks glikemik biasanya didefinisikan sebagai luas wilayah dibawah kurva respons selama periode 2 jam setelah mengkonsumsi 50 gram karbohidrat dari makanan yang diuji, dan nilainya dibandingkan relatif terhadap efek glikemik terhadap roti tawar atau glukosa dengan kandungan karbohidrat yang sama. Makanan dengan nilai indeks glikemik tinggi memiliki luas area dibawah kurva yang tinggi selama masa 2 jam post prandial.
Indeks glikemik suatu makanan karbohidrat tergantung pada beberapa faktor seperti :
a. Derajat pengolahan
Makin sedikit pengolahan makin rendah indeks glikemiknya, misalnya beras berkulit ari lebih rendah indeks glikemiknya dibandingkan dengan beras putih.
b.Jenis tepung
Jenis tepung tergantung dari perbandingan kandungan amilosa dan amilopektin, derajat retrogradasi (rekristalisasi molekul-molekul tepung), dan derajat hidrasi pemasakan misalnya nasi,nasi tim, dan bubur.
c.Interaksi protein dengan tepung dalam makanan yang berasal dari gandum.
d.Jenis serat makanan
Terutama serat larut dalam air (viscous soluble fiber) yang berfungsi sebagai barier fisik pencernaan dan penyerapan tepung.
E.Antinutrients
Antinutrient sebagai penghambat enzym, fitat, lektin, tannin.
McKeown dkk mendapatkan pada penelitian mereka pada Framingham Offspring Cohort, bahwa kelompok orang dengan asupan makanan dengan indeks glikemik tertinggi antara 82 – 98, menderita risiko terkena sindroma metabolik sampai 40% lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dengan indeks glikemik terendah yaitu kurang dari 74. Konsep indeks glikemik ini juga digunakan oleh Food and Agriculture Organization / World Health Organization dalam hasil konsultasi ilmuwan dari 13 negara di Roma pada tahun 1997 mengenai karbohidrat dan semua aspek kontroversinya.
Salah satu kontroversi adalah hasil dari beberapa penelitian yang menyatakan bahwa diet rendah lemak tinggi karbohidrat, dapat meningkatkan kadar trigliserid dan menurunkan kadar kolesterol - HDL. Para pakar dalam pertemuan tersebut masih menganjurkan diet tinggi karbohidrat karena beberapa pertimbangan. Pertama, penelitian tersebut berjangka pendek yaitu < 6 minggu saja, sementara itu telah diketahui bahwa peningkatan kadar trigliserid pada diet tinggi karbohidrat hanya bersifat sementara dan akan kembali ke nilai asal dalam waktu beberapa bulan. Kedua, tidak semua jenis karbohidrat menyebabkan peningkatan kadar trigliserid dan penurunan HDL karena diet tinggi karbohidrat dengan kadar serat tinggi dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan efek buruk tadi. Ketiga, penelitian-penelitian itu menggunakan diet iso-energetik, bukan ad libitum. Dalam kenyataan, diet tinggi karbohidrat cenderung menurunkan asupan energi harian sehingga mengakibatkan penurunan berat badan, penurunan kolesterol - LDL, dengan kadar trigliserid dan rasio kolesterol total dengan kolesterol - HDL yang tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan nilai awal penelitian.
Protein
Asupan protein umumnya, seperti pada diet NCEP ATP III, dianjurkan sekitar 15% dari total asupan kalori per hari. Untuk orang dewasa, asupan protein yang dianjurkan adalah 0.8 g/kgBB/hari . Pada diet tinggi protein rendah karbohidrat asupan protein dapat mencapai 28 – 64% dari asupan kalori total dan umumnya jenis protein yang dikonsumsi mengandung banyak lemak jenuh. Hasil beberapa penelitian diet tinggi protein memang menunjukkan penurunan berat badan disertai dengan penurunan faktor risiko penyakit kardiovaskuler seperti penurunan kadar trigliserid dan peningkatan kadar kolesterol - HDL yang lebih baik dibandingkan diet tinggi karbohidrat yang iso-energetic. Menanggapi hasil penelitian-penelitian ini, beberapa pakar seperti Bonow dan Eckel berkomentar bahwa penurunan trigliserid terjadi karena adanya penurunan berat badan dan peningkatan kolesterol - HDL pada diet tinggi protein disebabkan oleh peningkatan sub - fraksi kolesterol - HDL yang terjadi karena peningkatan asupan lemak jenuh, hal mana belum terbukti menguntungkan.
Lemak
Khusus untuk sindroma metabolik, NCEP ATP III memperbolehkan asupan lemak sampai 35% dari total asupan kalori, dengan penurunan asupan karbohidrat menjadi 50% saja . Komponen lemak jenuh (saturated fatty acids) hanya dianjurkan maksimal 7% saja karena telah diketahui bahwa asupan lemak jenuh mempertinggi angka kejadian penyakit jantung koroner. Lemak tak jenuh ganda (poly-unsaturated fatty acids = PUFA) dapat sampai 10% total asupan kalori, sedangkan lemak tak jenuh tunggal (mono-unsaturated fatty acids = MUFA) dapat sampai 20% dari asupan kalori. Memang beberapa penelitian menunjukkan hasil profil metabolik yang lebih baik dengan diet tinggi MUFA dibandingkan dengan diet tinggi karbohidrat , namun beberapa pakar berpendapat bahwa diet tinggi MUFA ini akan menyulitkan proses penurunan berat badan, misalnya pada penderita diabetes .
Pendapat para pakar ini ternyata terbukti pada penelitian Gerhard dkk pada 11 penderita diabetes melitus tipe 2 yang secara acak diberikan diet ad libitum rendah lemak atau tinggi MUFA selama 6 minggu. Mereka membuktikan bahwa hanya diet rendah lemak ad libitum yang berhasil menurunkan berat badan penderita diabetes melitus tipe 2 tanpa ada perbedaan profil lipid dibandingkan dengan diet tinggi MUFA atau (mono-unsaturated fatty acids) . Sayangnya penelitian ini hanya melibatkan 11 subjek saja.
Pada penderita overweight dan obesitas sederhana, Collette et al dalam penelitian penurunan berat badan (kalori dikurangi 30% dari asupan kalori harian rata-rata) jangka pendek selama 8 minggu dengan diet tinggi MUFA (40% karbohidrat, 25% MUFA) dibandingkan dengan diet tinggi karbohidrat (55% karbohidrat, 10% MUFA) dengan kadar PUFA dan SFA dipertahankan sama, berhasil menunjukkan bahwa diet tinggi MUFA menyebabkan kadar trigliserid puasa yang lebih baik dan bermakna secara statistik dibandingkan dengan diet tinggi karbohidrat . Bahkan menurut Ascherio bila SFA dalam diet diganti dengan MUFA atau (mono-unsaturated fatty acids), timbul efek penurunan kadar kolesterol - LDL tanpa penurunan kadar HDL ataupun adanya peningkatan kadar trigliserid, hal mana menyebabkan penurunan angka kejadian penyakit jantung koroner sampai 30%.
Grundy, Abate, dan Chandalia dalam artikel mereka tentang ‘Diet Composition and the Metabolic Syndrome: What Is the Optimal Fat Intake?’ dalam American Journal of Medicine tahun 2002, juga mengemukakan bukti-bukti keunggulan metabolik (seperti dikemukakan diatas) bila diet tinggi MUFA (sampai maksimal 40% dari total asupan kalori) dibandingkan dengan diet tinggi karbohidrat. Namun Grundy, dkk, juga menulis bahwa karbohidrat tinggi serat tidak menimbulkan peningkatan trigliserid.
Mineral
Mineral yang penting untuk diperhatikan dalam terapi nutrisi medik sindroma metabolik adalah natrium. Dari hasil penelitian DASH-Sodium Collaborative Research Group dengan 412 subjek dianjurkan agar asupan natrium perlu dibatasi sampai sekitar 50 – 100 mmol natrium perhari, atau antara 3 – 5 gram NaCl (garam dapur) perhari dengan disertai diet DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) untuk dapat menurunkan tekanan darah yang juga merupakan gejala sindroma metabolik. Penurunan tekanan darah dengan gabungan diet DASH dan rendah natrium ini dapat mencapai 7,1 mmHg pada orang dengan normotensi dan 11,5 mmHg pada penderita hipertensi . Diet DASH sendiri banyak mengandung sayuran dan buah-buahan, produk susu rendah lemak, unggas, ikan dan protein nabati, daging merah agak dikurangi, rendah gula, rendah lemak terutama rendah lemak jenuh, rendah kolesterol, dan kaya akan kalium, magnesium, kalsium, dan serat makanan.
Salah satu kontroversi adalah hasil dari beberapa penelitian yang menyatakan bahwa diet rendah lemak tinggi karbohidrat, dapat meningkatkan kadar trigliserid dan menurunkan kadar kolesterol - HDL. Para pakar dalam pertemuan tersebut masih menganjurkan diet tinggi karbohidrat karena beberapa pertimbangan. Pertama, penelitian tersebut berjangka pendek yaitu < 6 minggu saja, sementara itu telah diketahui bahwa peningkatan kadar trigliserid pada diet tinggi karbohidrat hanya bersifat sementara dan akan kembali ke nilai asal dalam waktu beberapa bulan. Kedua, tidak semua jenis karbohidrat menyebabkan peningkatan kadar trigliserid dan penurunan HDL karena diet tinggi karbohidrat dengan kadar serat tinggi dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan efek buruk tadi. Ketiga, penelitian-penelitian itu menggunakan diet iso-energetik, bukan ad libitum. Dalam kenyataan, diet tinggi karbohidrat cenderung menurunkan asupan energi harian sehingga mengakibatkan penurunan berat badan, penurunan kolesterol - LDL, dengan kadar trigliserid dan rasio kolesterol total dengan kolesterol - HDL yang tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan nilai awal penelitian.
Protein
Asupan protein umumnya, seperti pada diet NCEP ATP III, dianjurkan sekitar 15% dari total asupan kalori per hari. Untuk orang dewasa, asupan protein yang dianjurkan adalah 0.8 g/kgBB/hari . Pada diet tinggi protein rendah karbohidrat asupan protein dapat mencapai 28 – 64% dari asupan kalori total dan umumnya jenis protein yang dikonsumsi mengandung banyak lemak jenuh. Hasil beberapa penelitian diet tinggi protein memang menunjukkan penurunan berat badan disertai dengan penurunan faktor risiko penyakit kardiovaskuler seperti penurunan kadar trigliserid dan peningkatan kadar kolesterol - HDL yang lebih baik dibandingkan diet tinggi karbohidrat yang iso-energetic. Menanggapi hasil penelitian-penelitian ini, beberapa pakar seperti Bonow dan Eckel berkomentar bahwa penurunan trigliserid terjadi karena adanya penurunan berat badan dan peningkatan kolesterol - HDL pada diet tinggi protein disebabkan oleh peningkatan sub - fraksi kolesterol - HDL yang terjadi karena peningkatan asupan lemak jenuh, hal mana belum terbukti menguntungkan.
Lemak
Khusus untuk sindroma metabolik, NCEP ATP III memperbolehkan asupan lemak sampai 35% dari total asupan kalori, dengan penurunan asupan karbohidrat menjadi 50% saja . Komponen lemak jenuh (saturated fatty acids) hanya dianjurkan maksimal 7% saja karena telah diketahui bahwa asupan lemak jenuh mempertinggi angka kejadian penyakit jantung koroner. Lemak tak jenuh ganda (poly-unsaturated fatty acids = PUFA) dapat sampai 10% total asupan kalori, sedangkan lemak tak jenuh tunggal (mono-unsaturated fatty acids = MUFA) dapat sampai 20% dari asupan kalori. Memang beberapa penelitian menunjukkan hasil profil metabolik yang lebih baik dengan diet tinggi MUFA dibandingkan dengan diet tinggi karbohidrat , namun beberapa pakar berpendapat bahwa diet tinggi MUFA ini akan menyulitkan proses penurunan berat badan, misalnya pada penderita diabetes .
Pendapat para pakar ini ternyata terbukti pada penelitian Gerhard dkk pada 11 penderita diabetes melitus tipe 2 yang secara acak diberikan diet ad libitum rendah lemak atau tinggi MUFA selama 6 minggu. Mereka membuktikan bahwa hanya diet rendah lemak ad libitum yang berhasil menurunkan berat badan penderita diabetes melitus tipe 2 tanpa ada perbedaan profil lipid dibandingkan dengan diet tinggi MUFA atau (mono-unsaturated fatty acids) . Sayangnya penelitian ini hanya melibatkan 11 subjek saja.
Pada penderita overweight dan obesitas sederhana, Collette et al dalam penelitian penurunan berat badan (kalori dikurangi 30% dari asupan kalori harian rata-rata) jangka pendek selama 8 minggu dengan diet tinggi MUFA (40% karbohidrat, 25% MUFA) dibandingkan dengan diet tinggi karbohidrat (55% karbohidrat, 10% MUFA) dengan kadar PUFA dan SFA dipertahankan sama, berhasil menunjukkan bahwa diet tinggi MUFA menyebabkan kadar trigliserid puasa yang lebih baik dan bermakna secara statistik dibandingkan dengan diet tinggi karbohidrat . Bahkan menurut Ascherio bila SFA dalam diet diganti dengan MUFA atau (mono-unsaturated fatty acids), timbul efek penurunan kadar kolesterol - LDL tanpa penurunan kadar HDL ataupun adanya peningkatan kadar trigliserid, hal mana menyebabkan penurunan angka kejadian penyakit jantung koroner sampai 30%.
Grundy, Abate, dan Chandalia dalam artikel mereka tentang ‘Diet Composition and the Metabolic Syndrome: What Is the Optimal Fat Intake?’ dalam American Journal of Medicine tahun 2002, juga mengemukakan bukti-bukti keunggulan metabolik (seperti dikemukakan diatas) bila diet tinggi MUFA (sampai maksimal 40% dari total asupan kalori) dibandingkan dengan diet tinggi karbohidrat. Namun Grundy, dkk, juga menulis bahwa karbohidrat tinggi serat tidak menimbulkan peningkatan trigliserid.
Mineral
Mineral yang penting untuk diperhatikan dalam terapi nutrisi medik sindroma metabolik adalah natrium. Dari hasil penelitian DASH-Sodium Collaborative Research Group dengan 412 subjek dianjurkan agar asupan natrium perlu dibatasi sampai sekitar 50 – 100 mmol natrium perhari, atau antara 3 – 5 gram NaCl (garam dapur) perhari dengan disertai diet DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) untuk dapat menurunkan tekanan darah yang juga merupakan gejala sindroma metabolik. Penurunan tekanan darah dengan gabungan diet DASH dan rendah natrium ini dapat mencapai 7,1 mmHg pada orang dengan normotensi dan 11,5 mmHg pada penderita hipertensi . Diet DASH sendiri banyak mengandung sayuran dan buah-buahan, produk susu rendah lemak, unggas, ikan dan protein nabati, daging merah agak dikurangi, rendah gula, rendah lemak terutama rendah lemak jenuh, rendah kolesterol, dan kaya akan kalium, magnesium, kalsium, dan serat makanan.
Alkohol
Asupan alkohol yang berlebihan yaitu > 30 g alkohol perhari dapat meningkatkan kadar trigliserid dan tekanan darah
KESIMPULAN
Terapi nutrisi medik sindroma metabolik bertujuan utama untuk menurunkan berat badan dengan diet rendah kalori. Defisit kalori sebesar 500 – 1000 kkal dari asupan rerata harian sudah cukup untuk menimbulkan penurunan berat badan sekitar 0.5 – 1.0 kg per minggu. Penurunan berat badan 5% saja dari berat badan awal sudah sangat mengurangi faktor risiko sindroma metabolik. Kandungan makro dan mikro-nutrient yang ideal untuk menurunkan berat badan juga mengatasi gejala-gejala lain dari sindroma metabolik ini memang masih dalam penelitian dan perdebatan para pakar di seluruh dunia. Sampai saat ini, anjuran terapi nutrisi medik sindroma metabolik adalah asupan lemak total dapat sampai 40% terutama asam lemak tak jenuh tunggal dan ganda, dengan mengurangi asupan lemak jenuh sampai kurang dari 7% dari asupan kalori total. Lemak tak jenuh tunggal (MUFA) lebih dianjurkan untuk diet sindroma metabolik ini. Asupan karbohidrat dianjurkan yang berasal dari karbohidrat tinggi serat (wholegrain cereals, buah-buahan, dan sayuran) dengan Indeks Glikemik yang rendah, dimana asupan karbohidrat jenis ini dapat mencapai 50% dari total asupan kalori. Sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan setiap hari dalam jumlah yang cukup. Untuk protein, asupan masih dianjurkan sekitar 15% dari total asupan kalori, dengan penekanan pada konsumsi unggas, ikan, dan produk susu rendah lemak. Daging merah seperti daging sapi dan kambing agak dibatasi. Penting juga untuk menurunkan asupan natrium dalam makanan agar tekanan darah dapat diturunkan, terlebih bila disertai dengan diet DASH yang juga sesuai dengan terapi nutrisi medis untuk sindroma metabolik ini.
Penting juga untuk menerapkan terapi nutrisi medis yang sesuai dengan pola makan setiap individu dengan juga memperhatikan faktor kebudayaan, dan rasa suka – tidak suka masing-masing individu. Jadi anjuran terapi nutrisi medik ini harus disesuaikan secara individual, dengan tetap mengikuti pedoman dasar terapi. Hal ini dimaksudkan agar terapi nutrisi medis yang diberikan dapat diterima oleh masing-masing individu tanpa terlalu banyak mengubah pola makannya, dengan harapan agar terapi nutrisi medik ini dapat dipergunakan seumur hidup tanpa menimbulkan beban psikis ataupun materi bagi individu tersebut. Dengan kata lain, diharapkan individu dengan sindroma metabolik dapat mengadopsi pola hidup dan pola makan yang lebih sehat sepanjang hayatnya.
Penting juga untuk menerapkan terapi nutrisi medis yang sesuai dengan pola makan setiap individu dengan juga memperhatikan faktor kebudayaan, dan rasa suka – tidak suka masing-masing individu. Jadi anjuran terapi nutrisi medik ini harus disesuaikan secara individual, dengan tetap mengikuti pedoman dasar terapi. Hal ini dimaksudkan agar terapi nutrisi medis yang diberikan dapat diterima oleh masing-masing individu tanpa terlalu banyak mengubah pola makannya, dengan harapan agar terapi nutrisi medik ini dapat dipergunakan seumur hidup tanpa menimbulkan beban psikis ataupun materi bagi individu tersebut. Dengan kata lain, diharapkan individu dengan sindroma metabolik dapat mengadopsi pola hidup dan pola makan yang lebih sehat sepanjang hayatnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) 2002 Third
Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP)
Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) Final
Report. NIH Publication No 02-5215
2. Grundy SM 2004 Obesity, Metabolic Syndrome, and
Cardiovascular Disease, J Clin Endocrino Metab
89(6):2595-2600
3. Tan Chee-eng et al 2004 Can We Apply the National Cholesterol
Education Program Adult Treatment Panel Definition of the
Metabolic Syndrome to Asians?, Diabetes Care 27:1182-1186
4. Klein S et al 2004 Clinical Implications of Obesity With
Specific Focus on Cardiovascular Disease: A Statement for
Health Professionals from the American Heart Association
Council on Nutrition, Physical Activity, and Metabolism,
Circulation 110:2952-2967]
5. Pastors JG et al 2002 The Evidence for the Effectiveness of
Medical Nutrition Therapy in Diabetes Management, Diabetes
Care 25; 3:608-613
6. Orzano AJ & Scott JG 2004 Diagnosis and Treatment of Obesity
in Adults: An Applied Evidence-Based Review, J Am Board Fam
Pract 17:359-69
7. Foster GD et al 2003 A Randomized Trial of
a Low-Carbohydrate Diet for Obesity, N Engl J Med 348:2082-90
8. Samaha FF et al 2003 A Low-Carbohydrate as Compared with
a Low-Fat Diet in Severe Obesity, N Engl J Med
348:2074-81
9. Stern L et al 2004 The Effects of Low-Carbohydrate versus
Conventional Weight Loss Diet in Severely Obese
adults: One Year Follow-up of a Randomized Trial, Ann Intern
Med 140:778-785
10. Yancy WS et al 2004 A Low- Carbohydrate, Ketogenic Diet
versus a Low Fat Diet to Treat Obesity and
Hyperlipidemia, Ann Intern Med 140:769-777
11. Buchholz AC & Schoeller DA 2004 Is a calorie a calorie?, Am J
Clin Nutr 79(suppl):899S-906S
12. Jenkins DJA et al 2002 High-Complex Carbohydrate or Lente
Carbohydrate Foods?, Am J Med 113(9B):30S-37S
13. Roberts SB 2000 High-Glycemic Index Foods, Hunger, and
Obesity: Is There a Connection?, Nutrition Reviews
58;6:163-169
14. McKeown NM et al 2004 Carbohydrate Nutrition, Insulin
Resistance, and the Prevalence of the Metabolic
Syndrome in the Framingham Offspring Cohort, Diabetes Care
27:538-546
15. Wolever Thomas 2001 Carbohydrates and health – the FAO/WHO
consultation, Austr J Nutr Diet 58 Suppl 1: S3-S8
16. Astrup Arne 2001 Dietary strategies for weight management –
the importance of carbohydrates, Austr J Nutr Diet 58 Suppl
1: S9-S12
17. StJeor ST et al 2001 Dietary Protein and Weight Reduction: A
Statement for Healthcare Professional from the
Nutrition Committee of the Council for Nutrition, Physical
Activity, and Metabolism of the American Heart
Association, Circulation 104:1869-74
18. Bonow RO & Eckel RH 2003 Diet, Obesity, and Cardiovascular
Risk, N Engl J Med 348;21:2057-58
19. America Diabetes Association 2002 Position Statement:
Management of Dyslipidemia in Adults with Diabetes,
Diabetes Care 25:S74-S77
20. Gerhard GT et al 2004 Effects of a low-fat diet compared with
those of a high-monounsaturated diet on body weight, plasma
lipids and lipoproteins, and glycemic control in type 2
diabetes, Am J Clin Nutr 80;3:668- 673
21. Colette C et al 2003 Exchanging carbohydrates for
mono-unsaturated fats in energy-restricted diets: effects
on metabolic profile and other cardiovascular risk
factors, Int J Obesity 27:648-656
22. Ascherio Alberto 2002 Epidemiologic Studies on Dietary Fats
and Coronary Heart Disease, Am J Med 113(9B):9S-12S
23. Grundy SM, Abate N, Chandalia M, 2002, Diet Composition and
the Metabolic Syndrome: What Is the Optimal Fat Intake?,
Am J Med 113(9B):25S-29S
24. Sacks FM et al, 2001, Effects on Blood Pressure of Reduced
Dietary Sodium and the Dietary Approaches to Stop
Hypertension (DASH) Diet, N Engl J Med 344:3-10
25. Ricardi G & Rivellesse AA, 2000, Dietary Treatment of the
Metabolic Syndrome – the Optimal Diet, British J Nutr
83:S143-148
0 komentar:
Posting Komentar