Manfaat klinis penurunan berat badan pada obesitas

Oleh  : Prof. dr John MF Adam SpPD - KEMD
 Kepala Sub-Bagian  Endokin-Metabolik Bagian Penyakit Dalam    
 Fakultas Kedokteran Universitas Hasnuddin
 Kepala Pusat Diabetes dan Lipid Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo


PENDAHULUAN

   adalah suatu kenyataan bahwa obesitas berkaitan erat dengan meningkatnya risiko kesakitan dan kematian beberapa penyakit tertentu. Pada mereka yang obes sering disertai dengan diabetes melitus, hiperglikemi, hipertensi, dislipidemi, dan beberapa kelainan lain. Oleh karena itu obesitas maupun berat badan lebih, haruslah dilihat dari sisi risiko menderita penyakit bukan dari sisi kosmetik.

    Menurunkan berat badan pada mereka yang obes atau berat badan lebih, dengan sendirinya akan memberikan manfaat secara klinis. Pada artikel ini akan dibahas manfaat klinis menurunkan berat badan dalam kaitannya dengan beberapa faktor risiko koroner yaitu toleransi glukosa terganggu, diabetes melitus, dislipidemi, dan hipertensi.

PENATALAKSANAAN OBESITAS DAN SASARAN YANG INGIN DICAPAI

   Penatalaksanaan pada obesitas terdiri atas perencanaan makan dengan mengurangi jumlah kalori dan jumlah lemak, meningkatkan aktivitas fisik, dan pemakaian obat-obatan seperti orlistat dan sibutramin. Sasaran yang ingin dicapai adalah menurunkan berat badan sekitar 5 -10% dari berat badan awal. Dengan penurunan berat badan 5 - 10% dari berat badan awal ternyata faktor risiko penyakit arteri koroner dapat dikurangai. Pada tabel 1 dapat dilihat pedoman pengobatan pada obesitas dan berat badan lebih untuk orang Asia.
















TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU DAN DIABETES MELITUS

    Pada mereka yang obes sering disertai dengan toleransi glukosa terganggu maupun diabetes melitus. Toleransi glukosa terganggu didefinisikan sebagai  kadar glukosa plasma antara 140-199 mg/dl  setelah beban glukosa 75 gram. Penderita dengan toleransi glukosa terganggu mempunyai risiko tinggi untuk menjadi diabetes melitus dikemudian hari. Prevalensi toleransi glukosa terganggu pada populasi  berkisar antara 5 - 10 %. Kelompok toleransi glukosa terganggu meningkat pada mereka yang obes atau usia lanjut, dan wanita lebih banyak dibandingkan pria (gambar 1)

















        Suatu penelitian di Amerika Serikat yaitu “Diabetes Prevention Program Research Group” meneliti sebanyak 3234 non-diabetes tetapi mempunyai kadar glukosa plasma yang tidak normal. Mereka mempunyai kadar glukosa plasma puasa antara 95-125 mg/dl, dan pasca beban glukosa antara 140-199 mg/dl. Mereka dibagi atas tiga kelompok yaitu a) perubahan gaya hidup standar dengan plasebo, b) perubahan gaya hidup standard ditambah dengan metformin (Glucophage) dua kali 850 mg, dan c) program intensif diet dan olahraga. Ketiga kelompok tersebut dipantau selama rata-rata 2,8 tahun. Ternyata bahwa penurunan berat badan yang terbanyak adalah pada kelompok program intensif, kemudian pada mereka yang mendapat metformin yaitu masing-masing rata-rata 5,6 kg dan 2,1 kg dibandingkan dengan plasebo yang hanya 0,1%.
(gambar 2).

     Dibandingkan dengan plasebo, nampak bahwa pencegahan insidens diabetes melitus pada mereka dengan diet dan olahraga intensif mencapai 59%, dan yang mendapat metformin sebanyak 31% (gambar 3)


































        Heymsfield dkk  meneliti 675 penderita obes dengan IMT antara 30-34 kg/m2, dimana sebagian mendapat orlistat 3 kali 120 mg/hari, dan sebagian mendapat plasebo. Setelah 583 hari, kelompok yang mendapat orlistat mengalami penurunan berat badan rata-rata 6,7 kg. sedangkan yang mendapat plasebo menurun hanya 3,8 kg. Pada mereka yang mendapat plasebo perubahan dari toleransi glukosa terganggu menjadi diabetes melitus lebih besar dibandingkan dengan yang mendapat orlistat yaitu masing-masing 7,6% dan 3,0%.
 
DIABETES MELITUS

   Sekitar 89-90 % dari penderita diabetes melitus tipe 2 mempunyai berat badan lebih atau obes. Hillier, dkk meneliti 2437 penderita diabetes melitus tipe 2 yang baru didiagnosis (newly diagnosed), ternyata jumlah penderita diabetes melitus tipe 2 lebih banyak ditemukan pada penderita yang obes dan berat badan lebih. Wannamethee, dkk memantau 6916 pria berumur antara 40-59 tahun selama 12 tahun. Dalam kurun waktu tersebut dapat diidentifikasi sebanyak 237 penderita diabetes melitus. Dibandingkan dengan mereka yang mempunyai berat badan stabil, ternyata pada mereka yang kenaikan berat badan > 10%, jumlah penderita diabetes melitus sangat melonjak. Hubungan antara  kenaikkan IMT dengan risiko menjadi diabetes melitus dibuktikan oleh suatu penelitian Health Professionals Study (gambar 4). Pada gambar tersebut nampak bahwa risiko mengalami diabetes melitus rendah pada mereka dengan IMT < 24 kg/m2, dan meningkat dengan bertambahnya IMT. Sebagai contoh pada mereka dengan IMT 35 kg/m2, risiko menjadi diabetes melitus mencapai 40 kali lebih banyak.



 













  Manfaat penurunan berat badan pada penderita diabetes melitus tipe 2 antara lain adalah  kendali glikemik yang lebih baik, kebutuhan obat yang berkurang, dan perbaikan faktor risiko kardiovaskuler lainnya seperti dislipidemi dan hipertensi. Hal ini terbukti pada penelitian UKPDS dengan pemberian metformin pada penderita diabetes melitus gemuk, selain menurunkan berat badan, juga menghasilkan kendali glikemik yang lebih baik, sehingga dapat mencegah komplikasi vaskuler kronik. Wing, dkk. meneliti penderita diabetes melitus tipe 2 yang berat badan diturunkan hanya dengan pengaturan diet saja,  ditemukan bahwa penurunan HbA1c yang berarti hanya pada mereka yang  mengalami penurunan berat badan > 5% dari berat badan awal (tabel 2).


    



















     Zavoral  meneliti 3132 penderita obes dengan IMT antara 28-34 kg/m2, sebagian mendapat diet hipokalori dengan tambahan orlistat 3 kali 120 mg/hari. Setelah satu tahun  pengobatan, sebagian besar dari mereka yang mendapat orlistat  ternyata berat badan menurun > 5%. Pada mereka ini terlihat perbaikan profil lipid yaitu  kadar trigliserid dan kolesterol - LDL menurun meyakinkan dibandingkan dengan sebelum penggobatan.
 
HIPERTENSI

    Hipertensi sering ditemukan pada mereka yang obes, dimana ada korelasi linier antara meningkatnya berat badan dengan meningkatnya tekanan darah. Penelitian Framingham memperlihatkan  bahwa prevalensi hipertensi pada penderita obes dua kali lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang berat badan normal, hubungan ini tidak tergantung dari umur maupun kelamin.  Banyak penelitian telah membuktikan bahwa dengan penurunan berat badan, tekanan darah akan menurun juga. Dengan sendirinya tidak boleh dilupakan pengobatan dasar hipertensi ialah mengurangi asupan garam.

RINGKASAN

    Berat badan lebih (overweight) dan obesitas (gemuk) didefinisikan sebagai keadaan dimana terdapat penimbunan lemak tubuh yang berlebihan yang secara operasional dinyatakan dalam indeks massa tubuh. Sejak lama diketahui obesitas berkaitan dengan beberapa penyakit seperti diabetes melitus, hipertensi, dislipidemi, penyakit jantung koroner, batu kantong empedu, dll. Beberapa penyakit, secara khusus yang tergolong pada sindroma kardiovaskuler dismetabolik, yaitu diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu, hipertensi, dan dislipidemi, ternyata keadaan tersebut dapat diperbaiki dengan menurunkan berat badan.

   Pada artikel ini dibahas manfaat penurunan berat badan pada penderita dengan sindroma kardiovaskuler dismetabolik. Pada umumnya penurunan berat badan antara 5-10% dari berat badan awal akan memberikan manfaat klinis.


DAFTAR PUSTAKA


1.  The Asia-Pacific perspective: Redefining obesity and its
    treatment. International Diabetes Institute, a World
    Health Organization Collaborating Centre for the Epidemiology
    of Diabetes Mellitus and Health Promotion for 
    Noncommunicable  Diseases 2000
2.  Flier JS. Obesity. In: Harrison’s Principles of Internal
    Medicine. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
    Longo DL, Jameson JL (eds.), 15th ed., McGraw-Hill, New York,
    479-485, 2001
3.  World Health Organization. Obesity: Preventing and Managing
    the Global   Epidemic. WHO l998, Geneva
4.  Physician’s guide to the management of obesity with Xenical.
    Jakarta 2000. 
5.  Lindahl B, Weinehall L, Asplund K, Hallmans G.  Screening for
    Impaired Glucose Tolerance. Diabetes Care 1999;22:1988-1992
6.  Husseini A, Abdul-Rahim. H, Awartani F, Giacaman R, Jervell 
    J, Bjertness E. Type  2 diabetes mellitus, impaired  
    glucose tolerance and associated factors in a rural
    Palestinian village. Diabet.Med  2000;17:746-748
7.  Diabetes Prevention Program Research Group. The Diabetes
    Prevention Program: design and methods for a clinical 
    trial in the prevention of type 2 diabetes. Diabetes Care
    1999;22:623-634
8.  Hymsfield SB, Segal KR, Hauptman J, Lucas CP, Boldrin MN,
    Rissanen A, Wilding JPH, Sjostrom. Effect of Weight Loss With
    Orlistat on Glucose Tolerance and Progression to Type 2 
    Diabetes in Obese Adult. Arch Intern Med 2000;160:1321-1326
9.  Hillier TA, Pedula KL. Characteristic of an Adult Population
    With Newly Diagnosed Type 2 Diabetes. Diabetes Care 
    2001;24:1522 – 1527
10. Wannamethee SG,Shaper AG.Weight change and duration of
    overweight and obesity in the incidence of type 2 
    diabetes.  Diabetes Care 1999;22:1266-1272
11. Colditz GA, Willett WC, Rotnitzky A, et al: Weight gain as a 
    risk factor for clinical diabetes mellitus in women. Ann 
    Intern Med 1995;122:481-486
12. Wing RR, Koeske R, Epstein LH, Nowalk MP, Gooding W, Becker 
    D. Arch Intern Med 1987;147:1749-1753
13. Zovarol JH. Treatment with orlistat reduce cardiovascular
    risk  in obese patients. Journal of Hypertention 
    1998;16:2013-2017
14. HHubert Hb, Feinleib M, McNamara PM, Castelli WP. Obesity as
    an independent risk factor for cardiovascular 
    disease: a 26–year follow-up of participants in the
    Framingham Heart Study. Circulation 983;67:968-977

 

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Dokter Network Angk 97