Sindrom metabolik dan penyakit kardiovaskuler

Oleh : Bambang Budiono SpJP, FIHA
Pusat Jantung Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo
Konsultan Jantung Rumah Sakit Akademis Jaury
Makassar, Indonesia


PENDAHULUAN

   The National Cholesterol Education Program’s Adult Treatment Panel III report (NCEP-ATP III) telah mengidentifikasi sindroma metabolik sebagai sekelompok faktor risiko penyakit kardiovaskuler.  Ada enam komponen sindroma metabolik yang diketahui berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler yaitu obesitas sentral, dislipidemi aterogenik, hipertensi, resistensi insulin, intoleransi glukosa, peningkatan faktor proinflamasi, peningkatan protrombotik.

   Namun demikian, pedoman tatalaksana terbaru NCEP ATP III maupun WHO belum memasukkan faktor inflamasi dan hemostatik dalam kriteria diagnosis sindroma metabolik.

   Dikatakan bahwa gangguan metabolik yang terjadi sebagai akumulasi berbagai faktor tersebut memiliki dampak yang lebih berbahaya dibanding dengan penjumlahan masing-masing faktor risiko. Peningkatan risiko kardiovaskuler sebesar 50-70 % berkaitan dengan obesitas, dan meningkat lebih jauh dengan adanya hipertensi, resistensi insulin, dan gangguan pada sistem trombosis. Kombinasi dari kelainan tersebut akan meningkatkan risiko kardiovaskuler secara eksponensial. Hal tersebut dapat diilustrasikan dengan adanya laporan dari Quebec Cardiovascular Study yang menemukan bahwa apabila hanya ditemukan kelainan berupa partikel small dense LDL sebagai satu satunya kelainan metabolik, maka akan meningkatkan rtsiko kardiovaskuler 3 kali, sedangkan apabila terjadi peningkatan small dense LDL disertai dengan peningkatan apolipoprotein B (apo B), akan meningkatkan risiko kardiovaskuler sebesar  6 kali, dan apabila kombinasi kelainan berupa adanya small dense LDL, peningkatan ApoB, ditambah dengan peningkatan kadar insulin saat puasa, maka akan terjadi peningkatan risiko kardiovaskuler sebesar 20 kali.

   Studi lain juga melaporkan bahwa individu dengan sindroma metabolik mengalami peningkatan risiko untuk menderita penyakit kardio vaskuler. Studi Framingham memprediksi, sindroma metabolik sendiri menimbulkan hampir 25% onset baru penyakit kardiovaskuler.    Implikasi klinis kardiovaskuler yang terjadi akibat akumulasi gangguan metabolik tersebut sangatlah serius, sehingga penatalaksanaan secara komprehensif pada individu dengan sindroma metabolik perlu perhatian lebih seksama. Pada artikel ini akan dibahas peran berbagai faktor dalam sindroma metabolik terhadap risiko penyakit kardiovaskuler (PKV).

Obesitas sebagai prediktor komplikasi kardiovaskuler

   Definisi obesitas ialah indeks massa tubuh lebih dari 30 kg/m2. Pertemuan federasi diabetes internasional di Berlin pada tanggal 14 April 2005, telah membuat konsensus definisi baru tentang sindroma metabolik, yaitu obesitas sentral ditambah dengan penyakit penyerta yang multipel. Obesitas sentral menjadi pusat dari sindroma metabolik, karena jaringan adiposa yang ‘paling berbahaya’ adalah yang berupa jaringan adiposa viseral. Jaringan adiposa viseral memiliki kontribusi terhadap terjadinya resistensi insulin dibanding dengan jaringan lemak subkutan.

   Jaringan adiposa memiliki fungsi utama sebagai unit penyimpanan energi. Pada keadaan non-obes, tidak ada masalah metabolik yang ditimbulkan. Sedangkan pada keadaan obes, terjadinya peningkatan asam lemak bebas yang berlebihan pada akhirnya dapat menimbulkan gangguan lipolisis oleh insulin, peningkatan berbagai petanda inflamasi, peningkatan angiotensin II, peningkatan derajat protrombotik, gangguan lipoprotein, peningkatan stress oksidatif, dan penurunan sintesis Nitric Oxide. Peningkatan kadar  asam lemak bebas juga menimbulkan lipotoksisitas. Istilah lipotoksisitas mencerminkan efek toksik dari trigliserid dan asam lemak bebas yang berlebihan terhadap sel sehat, yang dapat menimbulkan apoptosis pada miosit, seperti terlihat baik pada miokardium maupun sistem konduksi di jantung.

   Jaringan adiposa telah diklasifikasikan sebagai organ yang secara aktif mensekresi berbagai substansi yang dikenal sebagai adipositokin, diantaranya ialah TNF-alfa, interleukin-6, leptin, adiponektin, dan resistin, yang berfungsi sebagai mediator berbagai perubahan metabolik pada sindroma metabolik. Beberapa faktor tersebut merupakan substansi yang secara langsung bersifat aterogenik. Leptin plasma, yang sebagian besar berasal dari jaringan adipose, meningkat pada penderita obes dan resistensi insulin. Defisiensi leptin pada tikus dapat memproteksinya dari aterosklerosis meskipun menimbulkan obesitas berat, sehingga plasma leptin dapat dipakai sebagai prediktor terjadinya kejadian kardiovaskuler yang independen terhadap faktor risiko tradisional seperti indeks massa tubuh dan kadar C-reactive protein (CRP). Sebaliknya, kadar plasma adiponektin menurun pada obesitas dan diabetes melitus tipe 2 dan bukti awal memperlihatkan bahwa molekul ini memiliki sifat anti-aterosklerosis pada binatang model dan manusia. Keterkaitan antara adiponektin dengan obesitas dan faktor risiko kardiovaskuler telah banyak dilaporkan. Penurunan kadar adiponektin baik pada subyek dengan atau tanpa diabetes melitus tipe 1 diketahui dapat menimbulkan aterosklerosis maupun memicu progresifitas kalsifikasi pada pembuluh koroner, independen terhadap faktor risiko kardiovaskuler yang lain.

   Subyek dengan obesitas sebenarnya berada dalam keadaan ‘pro-inflamasi’, hal ini ditandai dengan adanya peningkatan kadar high-sensitivity C-reactive protein (hs-CRP) serum. Peningkatan hs-CRP secara tidak langsung mencerminkan tingginya kadar sitokin dalam serum.

   Jaringan adipose yang berlebihan juga meningkatkan pelepasan plasminogen activator inhibitor (PAI-1), fibrinogen serum, faktor von Willebrand, faktor VII dan trombin, sehingga mencetuskan keadaan pro-trombotik. Keadaan-keadaan ini tidak saja dapat merangsang aterogenesis, tetapi juga dapat menimbulkan kerentanan untuk mengalami kejadian kardiovaskuler, seperti  sindroma koroner akut. Laporan dari Pathological Determinants of Atherosclerosis in Youth (PDAY), yang berasal dari hasil otopsi  pada kurang lebih 3000 korban, usia 15-34 tahun, yang meninggal karena berbagai sebab, memperlihatkan bahwa obesitas merupakan kontributor terhadap aterosklerosis koroner pada usia dewasa muda. Telah disepakati bahwa lingkar pinggang berdasar jenis kelamin adalah parameter yang paling sensitif karena mencerminkan baik jaringan adiposa abdominal, subkutan maupun visceral, dan ini merupakan indeks umum dari massa lemak sentral. Apakah pengukuran aktivitas hormonal jaringan adiposa merupakan petanda yang lebih superior untuk mendeteksi risiko kardiovaskuler dibandingkan ukuran-ukuran anatomis tersebut, sampai saat ini masih menunggu perkembangan penelitian lebih lanjut.

Resistensi insulin dan komplikasi kardiovaskuler

   Terminologi resistensi insulin didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana kerja insulin di jaringan perifer kurang efisien dibanding keadaan normal, sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin untuk mempertahankan kadar glukosa plasma pada level normal. Para peneliti meyakini bahwa resistensi insulin merupakan proses patofisiologi yang memegang peran penting sebagai faktor risiko kardiovaskuler pada sindroma metabolik. Resistensi insulin atau hiperinsulinemi merupakan prediktor aterosklerosis dan kejadian kardiovaskuler yang independen terhadap faktor risiko lain seperti kadar gula darah puasa dan kadar lipid. Resistensi insulin bukanlah penyakit, namun merupakan perubahan fisiologis yang dapat meningkatkan risiko terjadinya satu atau lebih kelainan, seperti tercantum pada tabel 1. Semakin berat derajat resistensi insulin, makin tinggi kadar hiperinsulinemi akibat mekanisme kompensasi, sehingga semakin memungkinkan terjadi satu atau lebih kelainan tersebut. Telah diketahui bahwa insulin menyebabkan terjadinya replikasi sel otot polos pada kultur sel maupun binatang percobaan. Dilaporkan, bahwa kadar insulin setelah uji toleransi glukosa, secara signifikan lebih tinggi pada kelompok penderita yang mengalami restenosis pasca angioplasti koroner dibandingkan mereka yang tidak mengalami restenosis.

   Reseptor insulin terletak pada platelet dan memainkan peran penting pada fungsi platelet yang normal. Interaksi insulin dan platelet berbeda pada individu dengan obesitas dan non-obesitas. Pada individu sehat non-obesitas, insulin menghambat deposisi platelet pada kolagen, dimana hal ini tidak terjadi pada individu dengan obesitas.























      Komponen sindroma metabolik memiliki keterkaitan dengan perubahan yang terjadi pada ventrikel kiri, dan secara jangka panjang dapat memprediksi terjadinya disfungsi ventrikel sebagai penyebab terjadinya gagal jantung. Pada penderita hipertensi, ketebalan dinding ventrikel kiri berhubungan dengan tingginya tekanan darah (r = 0.4, p < 0.004) dan secara independen berkaitan dengan sensitivitas insulin (r = -0.59, p < 0.0001), memperlihatkan bahwa ada hubungan antara hipertrofi ventrikel kiri dan disfungsi diastolik dengan resistensi insulin sindroma metabolik. Pengamatan yang dilakukan selama 20 tahun pada laki-laki kelompok usia pertengahan, memperlihatkan bahwa faktor-faktor yang berkaitan dengan resistensi insulin telah ditemukan sebelum terjadinya disfungsi sistolik, dan keadaan tersebut independen terhadap hipertensi maupun penyakit jantung koroner.

     Resistensi insulin, diabetes melitus tipe 2 dan obesitas juga merupakan faktor-faktor risiko untuk terjadinya gagal jantung. Sebaliknya gagal jantung menimbulkan resistensi insulin dan berkaitan dengan terjadinya diabetes melitus tipe 2, melalui mekanisme peningkatan aktivitas simpatis yang berlebihan, disfungsi endotel, pengurangan massa otot skeletal, atau peningkatan sitokin di sirkulasi, seperti TNF-alfa. Hal tersebut mendasari pendapat bahwa gagal jantung dan resistensi insulin adalah dua keadaan yang saling memperburuk. Bukti-bukti baru menduga bahwa kualitas imunitas tubuh, dan inflamasi kronis memainkan peran penting terhadap terjadinya resistensi insulin dan memprediksi terjadinya diabetes melitus tipe 2, maupun timbulnya kejadian kardiovaskuler.



























Dislipidemi aterogenik

   Dislipidemi adalah tipikal pada sindroma metabolik, dengan gambaran berupa peningkatan trigliserid, dan penurunan kolesterol-HDL. Kadar kolesterol-LDL plasma sering kali normal pada individu dengan sindroma metabolik. Umum dijumpai, partikel LDL menjadi lebih kecil dan densitasnya lebih tinggi dibanding dengan LDL normal, dan perubahan ini dilaporkan berkaitan dengan peningkatan risiko kardiovaskuler.

   Namun demikian, mekanisme terjadinya dislipidemi pada sindroma metabolik masih berupa hipotesis. Dugaan bahwa peningkatan trigliserid sebagai akibat peningkatan asam lemak bebas dari perifer ke hati, tidak didukung oleh bukti kuat, dan lebih mengarah kepada sebab-sebab yang multifaktorial, dan merupakan hasil interaksi antara faktor-faktor genetik dan lingkungan. Demikian juga penurunan kadar kolesterol-HDL, bukanlah sebagai akibat peningkatan kadar trigliserid, karena sering kali ditemukan kadar kolesterol-HDL rendah pada individu dengan resistensi insulin meskipun kadar trigliserid masih dalam batas normal. Salah satu mekanisme yang diduga terlibat ialah bahwa selama proses inflamasi subklinis, peningkatan sitokin akan meningkatkan juga produksi enzim lipase yang bekerja pada phospolipid HDL, sehingga menurunkan kandungan lipid HDL, yang selanjutnya akan meningkatkan katabolisme. Sebagai faktor risiko kardiovaskuler, baik hipertrigliseridemi maupun penurunan kadar kolesterol-HDL, telah diketahui sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya aterosklerosis maupun kejadian kardiovaskuler.

Hipertensi

   Berbagai faktor dalam sindroma metabolik ikut berperan dalam terjadinya hipertensi. Obesitas dan berat badan lebih pada usia pertengahan memiliki korelasi dengan tekanan darah, dan mempunyai kaitan erat dengan prevalensi dan insidens hipertensi.The Olivetty Heart Study melaporkan bahwa lingkar pinggang merupakan prediktor independen terkuat terhadap peningkatan tekanan darah (p < 0.001) dan bersifat independen terhadap indeks massa tubuh maupun resistensi insulin. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik akibat hiperinsulinemi juga memegang peran penting dalam peningkatan resistensi perifer, sehingga mengalahkan efek vasodilator langsung dari insulin. Mekanisme tersebut juga menempatkan hiperinsulinemi sebagai mata rantai antara hipertensi, obesitas dan gangguan toleransi glukosa. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko independen untuk penyakit jantung koroner maupun berbagai komplikasi target organ lain.

Derajat pro-trombotik dan pro-inflamasi

   Komponen penting dari sindroma metabolik adalah adanya disfungsi sistem trombosis dan fibrinolisis. Seperti dapat dilihat pada tabel 1, pada penderita hiperinsulinemi dapat terjadi peningkatan fibrinogen, PAI-I, dan mungkin berbagai faktor koagulasi lainnya. Demikian juga dengan petanda inflamasi seperti hs-CRP. Pengukuran kedua faktor tersebut, belum secara rutin dilakukan. Kadar hs-CRP pada penderita metabolik sindroma dengan jenis kelamin laki-laki merupakan prediktor independen untuk penyakit jantung koroner maupun risiko diabetes melitus. Peningkatan hs-CRP > 3 mg/L merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler. Ridler juga melaporkan bahwa hs-CRP merupakan prediktor kuat, tidak hanya untuk infark miokard dan stroke, tetapi juga insiden diabetes melitus tipe 2. hs-CRP juga berkorelasi kuat dengan jumlah gangguan metabolik (dislipidemi, obesitas, hipertensi dan resistensi insulin).

   Ada empat penjelasan yang mungkin mendasari keterkaitan antara sindroma metabolik dan peningkatan petanda inflamasi. Pertama, keterkaitan tersebut merupakan cerminan adanya pencetus proses proinflamasi terhadap terjadinya resistensi insulin dan diabetes melitus tipe 2; kedua, peningkatan kadar hs-CRP merupakan akibat dari proses aterosklerosis; ketiga, penurunan sensitivitas insulin dapat meningkatkan ekspresi hs-CRP; dan keempat, sitokin yang dihasilkan oleh jaringan adiposa dapat menjadi pencetus proses tersebut.

   Peningkatan inhibitor plasminogen aktivator (PAI-1) berkaitan dengan sindroma metabolik, aterosklerosis dan risiko atherotrombosis. Peningkatan ekspresi PAI-1 merupakan efek langsung dari insulin, dan pengobatan yang dapat mengatasi keadaan hiperinsulinemi terbukti dapat menurunkan kadar inhibitor plasminogen aktivator (PAI-1) dan memperbaiki penebalan intima pada dinding arteri karotis. Dengan asumsi bahwa pada individu dengan sindroma metabolik telah terjadi peningkatan derajat pro-trombotik maupun pro-inflamasi maka direkomendasikan untuk memberikan aspirin begitu kriteria diagnosa telah terpenuhi.

KESIMPULAN

   Dari berbagai data tersebut diatas, maka jelaslah bagi kita bahwa sindroma metabolik merupakan suatu konstelasi berbagai faktor yang meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler maupun diabetes melitus tipe 2, dan memiliki dampak klinis kumulatif lebih berbahaya dibanding dengan penjumlahan risiko dari masing-masing faktor. Oleh karena itu penanganan sindroma metabolik haruslah lebih intensif dan komprehensif, agar berbagai komplikasi yang dapat terjadi dapat ditekan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN


1.  Grundy S M, et al. Definition of metabolic syndrome. Report
    of the National Heart, Lung, and Blood Institute/ American  
    Heart Association conference on scientific issues related to 
    definition. Circulation 2004;109:433-438.
2.  Reilly MP, Rader DJ. The metabolic syndrome. More than the
    sum of its parts? Circulation 2003;108:1546-1551.
3.  Lamarche B, Tchernof A, Mauriege P, et al. Fasting Insulin
    and apolipoprotein B levels and low-density  lipoprotein  
    particle size as risk factors for ischemic heart disease.
    JAMA 1998;279:1955-1961.
4.  Lakka HM, Laaksonen DE, Lakka TA, et al. The metabolic 
    syndrome and total cardiovascular disease mortality in 
    meddle-aged men. JAMA 2002;288:2709-27160.
5.  NCEP ATP-III. Expert panel on Detection, Evaluation, and
    Treatment of High Blood Cholesterol in Adults.
    Executive Summary of the Third Report of the National 
    Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on 
    Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood 
    Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). 
    JAMA  2001;285:2486-2497.
6.  Egan BM, Lu G, Greene EL. Vascular effects of non-esterified 
    fatty acids: Implications for the cardiovascular  risk factor
    cluster. Prostaglandins Leukon Essent Fatty Acids 
    1999;60:411-420.
7.  Alpert MA. Obesity cardiomyopathy: Pathophysiology and 
    evolution of the clinical syndrome. Am J Med Sci  
    2001;321:225-236.
8.  Maahs DM, Ogden LG, Kinney GL, Wadwa P, et al. Low Plasma 
    Adiponectin predict progression of coronary
    atherosclerosis. Circulation 2005;111:747-753).
9.  Takagi T, Yoshida K, Akasaka T, et al. Hyperinsulinemia
    during oral glucose tolerance test is associated with  
    increased neointimal tissue proliferation after coronary 
    stent implantation in nondiabetic patients. J Am Coll 
    Cardiol 2000;36:731-738.
10. Lind L, Andersson PE, Andren B, et al. Left ventricular 
    hypertrophy in hypertension is associated with the
    insulin resistance metabolic syndrome. J Hypertens
    1995;13:433-438.
11. Siani A, Cuppuccio FB, Barba G, et al. The relationship of
    waist circumference to blood pressure: The Olivetti 
    Heart Study. Am J Hypertens 2002;15:780-786.
12. Grundy SM, Hansen B, Smith SC, et al. Clinical management of
    metabolic syndrome. Report of the National Heart, Lung, and
    Blood Institute/ American Heart Association conference on
    scientific issues related to definition. Circulation 
    2004;109:551-556.




















0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Dokter Network Angk 97