Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
PENDAHULUAN
Patogenesis diabetes melitus (DM) tipe 2 sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti karena tidak diketahui proses mana yang lebih dahulu terjadi dan banyak penderita mengalami gangguan yang bersamaan sehingga sulit memastikan proses mana yang lebih awal terjadi . Resistensi insulin ditandai penurunan asupan dan metabolisme glukosa di otot produksi berlebihan glukosa oleh hati.
Diabetes melitus tipe 2 sering mengalami komplikasi jangka lama, hipertensi, kegemukan, dislipidemia maka deteksi dini dan pengelolaan DM tipe 2 adalah sangat penting. Tujuan utama pengobatan DM tipe 2 adalah mencapai dan mempertahankan kontrol glikemik yang baik dan memperhatikan keadaan yang berkaitan dengan DM, deteksi dan mengobati komplikasi kronik dan menghindari hipoglikemia.
Pemakaian Obat Hipoglikemik Oral (OHO) sampai saat ini masih banyak dipakai sehubungan frekuensi DM tipe 2 hampir mendominasi penderita DM umumnya. Kenyataan di klinik menunjukkan bahwa hampir 80 % penderita DM tipe 2 menggunakan OHO dan pada kenyataannya sebagian dari mereka tidak berhasil dengan hanya satu jenis OHO sehingga diperlukan kombinasi dua macam atau lebih OHO.
Atas dasar hal tersebut maka dalam Artikel ini dijelaskan regulasi glukosa darah, manfaat regulasi glukosa darah dan manfaat kombinasi OHO.
Regulasi Glukosa Darah
Telah diketahui bahwa ada tiga organ yang berfungsi mengatur glukosa darah yaitu sel beta pankreas berfungsi menurunkan kadar glukosa darah dengan mensekresi insulin. Hati meningkatkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengeluaran glukosa dari hati yang disebut sebagai produksi glukosa oleh hati dengan glukoneogenesis dan glukogenolisis. Selanjutnya otot dan lemak berfungsi menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan asupan atau uptake glukosa. Ke 3 alat ini saling mempengaruhi sehingga dalam keadaaan normal kadar glukosa darah selalu dalam batas - batas normal.
Timbulnya DM tipe 2 disebabkan adanya gangguan sekresi insulin oleh sel beta dan menurunnya sensitivitas insulin pada otot dan lemak sehingga terjadi resistensi insulin.
Komplikasi kronik DM berupa komplikasi mikro dan makroangiopati sudah bisa timbul sebelum DM manifest sehingga pengobatan tidak hanya regulasi glukosa darah saat pasien menderita DM akan tetapi pada saat pasien sudah menderita toleransi glukosa darah terganggu.
Diabetes melitus tipe 2 sering mengalami komplikasi jangka lama, hipertensi, kegemukan, dislipidemia maka deteksi dini dan pengelolaan DM tipe 2 adalah sangat penting. Tujuan utama pengobatan DM tipe 2 adalah mencapai dan mempertahankan kontrol glikemik yang baik dan memperhatikan keadaan yang berkaitan dengan DM, deteksi dan mengobati komplikasi kronik dan menghindari hipoglikemia.
Pemakaian Obat Hipoglikemik Oral (OHO) sampai saat ini masih banyak dipakai sehubungan frekuensi DM tipe 2 hampir mendominasi penderita DM umumnya. Kenyataan di klinik menunjukkan bahwa hampir 80 % penderita DM tipe 2 menggunakan OHO dan pada kenyataannya sebagian dari mereka tidak berhasil dengan hanya satu jenis OHO sehingga diperlukan kombinasi dua macam atau lebih OHO.
Atas dasar hal tersebut maka dalam Artikel ini dijelaskan regulasi glukosa darah, manfaat regulasi glukosa darah dan manfaat kombinasi OHO.
Regulasi Glukosa Darah
Telah diketahui bahwa ada tiga organ yang berfungsi mengatur glukosa darah yaitu sel beta pankreas berfungsi menurunkan kadar glukosa darah dengan mensekresi insulin. Hati meningkatkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengeluaran glukosa dari hati yang disebut sebagai produksi glukosa oleh hati dengan glukoneogenesis dan glukogenolisis. Selanjutnya otot dan lemak berfungsi menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan asupan atau uptake glukosa. Ke 3 alat ini saling mempengaruhi sehingga dalam keadaaan normal kadar glukosa darah selalu dalam batas - batas normal.
Timbulnya DM tipe 2 disebabkan adanya gangguan sekresi insulin oleh sel beta dan menurunnya sensitivitas insulin pada otot dan lemak sehingga terjadi resistensi insulin.
Komplikasi kronik DM berupa komplikasi mikro dan makroangiopati sudah bisa timbul sebelum DM manifest sehingga pengobatan tidak hanya regulasi glukosa darah saat pasien menderita DM akan tetapi pada saat pasien sudah menderita toleransi glukosa darah terganggu.
Bukti-bukti klinis dari UKPDS menunjukkan bahwa dengan penurunan HbA1c ke level yang disepakati (ADA < 7 % dan IDF < 6,5 %), komplikasi kronik diabetes dan kematian akibat diabetes dapat diturunkan. Hasil uji klinis dari UKPDS menunjukkan bahwa penurunan HbA1c sebesar 1% akan menurunkan kematian akibat diabetes sebesar 21%, serangan jantung 14%, komplikasi mikrovaskuler sebesar 37% dan penyakit vaskuler perifer sebesar 43 % . Penurunan komplikasi dan kematian ini sangat bermakna. Pemeriksaan HbA1c yang normal mencerminkan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam postprandial dalam batas-batas normal. Berdasarkan hal tersebut dimana komplikasi kronik yaitu mikro dan makroangiopati sudah dimulai sebelum DM manifest dan pengendalian kadar glukosa darah yang ditandai dengan HbA1c yang normal maka perlu secepatnya meregulasi glukosa darah sedini mungkin.
Sampai saat ini ada 2 pendekatan dalam penanganan penderita DM tipe 2 yaitu strategi konservatif dan strategi intensif. Strategi konservatif bertujuan mengendalikan keluhan atau simptom akut dimana pengobatan dimulai dengan diet, selanjutnya dengan pengobatan OHO bila diet tidak berhasil mengontrol glukosa darah dan bila masih tidak berhasil maka dilanjutkan dengan pengobatan kombinasi.
Sebaliknya strategi intensif adalah strategi dengan pengobatan agresif untuk memperoleh derajat kontrol glikemik untuk menghindari komplikasi akut maupun kronik. Ternyata bahwa strategi konservatif hanya efektif kurang 45% dalam 6 tahun dan kurang 20 % setelah 12 tahun.
Berdasarkan penelitian UKPDS selama 9 tahun dapat pula dilihat situasi penderita yang mendapat pengobatan diet/olahraga dengan OHO satu jenis (monoterapi) selama beberapa tahun. Hasil uji klinis menunjukkan bahwa penderita DM tipe 2 gemuk yang mendapat pengobatan diet dan olahraga atau dengan sulfonilurea atau metformin ternyata setelah 9 tahun mereka yang dapat bertahan dengan HbA1c < 7% adalah berkisar hanya dibawah 20 % malahan setelah 3 tahun hanya 50% saja.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kontrol glukosa darah dengan monoterapi saja setelah observasi beberapa tahun tidak berhasil mengendalikan HbA1c dibawah 7%, sehingga diperlukan kombinasi OHO yang mempunyai mekanisme kerja berbeda.
Pengobatan Kombinasi
saat ini telah dikenal OHO yaitu golongan sekretagog yang berfungsi meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta dan non sekretagog yang bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Golongan OHO sekretagog adalah golongan sulfonilurea (glibenclamide) dan nonsulfonilurea yaitu repaglinide dan nateglinide. Golongan non sekretagog seperti metformin, penyekat alfa gluosidase (akarbose), dan thiazolidinediones.
Secara rasional kedua golongan obat sekretagog dan non sekretagog dapat dikombinasi untuk memperoleh kontrol atau pengendalian glukosa darah yang optimal. Sehingga komplikasi kronik dan kematian akibat DM dapat dicegah atau diturunkan.
Berbagai penelitian melaporkan bahwa dengan pengobatan tunggal pada DM tipe 2 progresivitas penyakit akan berjalan terus. Berbagai studi banding menunjukkan pemberian obat secara tunggal dengan glibenclamide atau dengan metformin tidak menurunkan HbA1c ketarget yang diharapkan. Sebaliknya pemberian kombinasi antara glibenclamide dengan metformin secara kombinasi menghasilkan kadar HbA1c sesuai dengan diharapkan yaitu dibawah 7%.
Kombinasi pengobatan metformin dan sulfonilurea sama efektifnya dengan kombinasi insulin dan sulfonilurea atau pengobatan tunggal dengan insulin .
Sesuai dengan anjuran FDA dimana algoritme pengobatan DM tipe 2 tergantung kadar HbA1c dimana pengobatan kombinasi sudah langsung dapat dimulai bila kadar HbA1c lebih besar 10% sedang bila kadar HbA1c antara 7-10% pengobatan dengan metformin atau sulfonilurea sebagai obat tunggal tergantung indeks massa tubuh. Didalam algoritme tersebut dianjurkan pula pemberian metformin bagi pasien yang mempunyai HbA1c < 7%.
Sebaliknya strategi intensif adalah strategi dengan pengobatan agresif untuk memperoleh derajat kontrol glikemik untuk menghindari komplikasi akut maupun kronik. Ternyata bahwa strategi konservatif hanya efektif kurang 45% dalam 6 tahun dan kurang 20 % setelah 12 tahun.
Berdasarkan penelitian UKPDS selama 9 tahun dapat pula dilihat situasi penderita yang mendapat pengobatan diet/olahraga dengan OHO satu jenis (monoterapi) selama beberapa tahun. Hasil uji klinis menunjukkan bahwa penderita DM tipe 2 gemuk yang mendapat pengobatan diet dan olahraga atau dengan sulfonilurea atau metformin ternyata setelah 9 tahun mereka yang dapat bertahan dengan HbA1c < 7% adalah berkisar hanya dibawah 20 % malahan setelah 3 tahun hanya 50% saja.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kontrol glukosa darah dengan monoterapi saja setelah observasi beberapa tahun tidak berhasil mengendalikan HbA1c dibawah 7%, sehingga diperlukan kombinasi OHO yang mempunyai mekanisme kerja berbeda.
Pengobatan Kombinasi
saat ini telah dikenal OHO yaitu golongan sekretagog yang berfungsi meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta dan non sekretagog yang bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Golongan OHO sekretagog adalah golongan sulfonilurea (glibenclamide) dan nonsulfonilurea yaitu repaglinide dan nateglinide. Golongan non sekretagog seperti metformin, penyekat alfa gluosidase (akarbose), dan thiazolidinediones.
Secara rasional kedua golongan obat sekretagog dan non sekretagog dapat dikombinasi untuk memperoleh kontrol atau pengendalian glukosa darah yang optimal. Sehingga komplikasi kronik dan kematian akibat DM dapat dicegah atau diturunkan.
Berbagai penelitian melaporkan bahwa dengan pengobatan tunggal pada DM tipe 2 progresivitas penyakit akan berjalan terus. Berbagai studi banding menunjukkan pemberian obat secara tunggal dengan glibenclamide atau dengan metformin tidak menurunkan HbA1c ketarget yang diharapkan. Sebaliknya pemberian kombinasi antara glibenclamide dengan metformin secara kombinasi menghasilkan kadar HbA1c sesuai dengan diharapkan yaitu dibawah 7%.
Kombinasi pengobatan metformin dan sulfonilurea sama efektifnya dengan kombinasi insulin dan sulfonilurea atau pengobatan tunggal dengan insulin .
Sesuai dengan anjuran FDA dimana algoritme pengobatan DM tipe 2 tergantung kadar HbA1c dimana pengobatan kombinasi sudah langsung dapat dimulai bila kadar HbA1c lebih besar 10% sedang bila kadar HbA1c antara 7-10% pengobatan dengan metformin atau sulfonilurea sebagai obat tunggal tergantung indeks massa tubuh. Didalam algoritme tersebut dianjurkan pula pemberian metformin bagi pasien yang mempunyai HbA1c < 7%.
Penelitian dengan Glucovance
Pada bulan Agustus 2001 di Glasgow Inggeris diadakan Workshop mengenai Glucovance yang merupakan kombinasi obat sulfonilurea (glibenclamide) dengan metformin yang merupakan pilihan kombinasi OHO dalam satu tablet. Mekanisme kerja obat ini adalah sinergis dimana tempat kerjanya berbeda yaitu pada defek sel beta dan defek pada sensitivitas insulin. Metformin menurunkan resistensi insulin dan glibenclamide mengembalikan fungsi sekresi insulin ke normal. Kedua obat ini akan memperbaiki kontrol glikemik.
Indikasi pemberian adalah pasien yang tidak terkontrol dengan diet dan olahraga, pasien yang tidak terkontrol dengan monoterapi dan pasien yang sudah mendapat kombinasi metformin dengan sulfonilurea. Penelitian melibatkan 411 pasien yang gagal dengan metformin dosis maksimal (UK) dan 639 pasien yang gagal dengan sulfonilurea dosis maksimal (USA).
Kedua kelompok kemudian dipilih secara acak, buta ganda, multisenter dan paralel selanjutnya diberikan Glucovance 2 tablet perhari ditingkatkan sampai maksimum 4 tablet perhari tergantung pada efektifitas dan tolerabilitas pasien selama 16 minggu.
Hasil akhir setelah 16 minggu penelitian menunjukkan bahwa pasien yang gagal dengan monoterapi atau dengan terapi metformin HbA1c hanya menurun 0,2%, sulfonilurea 0,3% sedang kombinasi (Glucovance) HbA1c menurun 1,2% pada 500 mg/2,5 dan 0,9% pada 500mg / 5mg (metformin / glibenclamide). Disimpulkan bahwa dengan pengobatan Glucovance maka HbA1c menurun secara bermakna dibanding dengan monoterapi metformin. Hal yang sama diperoleh bagi pasien yang gagal dengan monoterapi sulfonilurea yaitu didapatkan perbedaan bermakna penurunan HbA1c pada mereka mendapat Glucovance dibanding dengan glibenclamide atau metformin.
Selanjutnya pasien yang mendapat glucovance proporsi pasien yang mencapai HbA1c dibawah 7% adalah mempunyai proporsi 75% lebih besar dibanding dengan monoterapi. Sebaliknya pasien yang gagal dengan sulfonilurea setelah mendapatkan glucovance memberikan proporsi HbA1c <7 % adalah 8 kali lebih besar dibanding monoterapi.
Tolerabilitas pasien yang menerima glucovance tidak berbeda jauh dengan yang menerima monoterapi. Hipoglikemia pasien yang menerima glucovance lebih besar dibanding dengan yang menerima glibenclamide, namun ringan dan ini berarti bahwa penrunan glukosa plasma dengan glucovance lebih besar.
Demikian pula hasil yang diperoleh pada pasien yang gagal dengan diet/olahraga selanjutnya dipilih secara acak untuk pemerian monoterapi metformin, sulfonilurea dan glucovance. Hasil akhir setelah 20 minggu penelitian menunjukkan penurunan HbA1c secara bermakna dibanding dengan plasebo atau monoterapi.
Kesimpulan dari terapi dengan glucovance menunjukkan bahwa glucovance memberi kontrol HbA1c, glukosa darah puasa dan postprandial yang lebih baik dan dosis obat yang lebih rendah dibanding terapi standar terutama bagi pasien yang gagal dengan diet / olahraga , atau gagal dengan metformin atau glibenclamide.
Pasien yang gagal dengan diet / olahraga maka glucovance lebih efektif dan lebih dapat ditolerir dibanding monoterapi glibenclamide atau metformin.9
Ringkasan
Patogenesis DM tipe 2 disebakan oleh gangguan pada sensitivitas insulin diperifer (resistensi insulin) dan gangguan atau defek sekresi insulin oleh sel beta.
Pengobatan dengan OHO adalah bertujuan meningkatkan sekresi sel beta dengan golongan obat sekretagog seperti sulfonilurea dan nonsulfonilurea dan memperbaiki resistensi insulin dengan golongan obat non sekretagog seperti metformin. Telah terbukti bahwa pengobatan dengan monoterapi saja tidak memberikan kontrol yang optimal yang tercermin dari kadar HbA1c yang tidak mencapai sasaran sesuai diharapkan dan mortalitas serta komplikasi kronik yang masih tinggi.
Perlu kombinasi dua macam OHO yang mempunyai mekanisme kerja berbeda memberikan efek sinergis dan hasil kontrol glikemik yang lebih baik dibanding dengan monoterapi. Telah dilaporkan pula hasil penelitian dengan glucovance yang dilaporkan pada work shop di Glasgow 2001 dengan hasil yang memuaskan .
Pada bulan Agustus 2001 di Glasgow Inggeris diadakan Workshop mengenai Glucovance yang merupakan kombinasi obat sulfonilurea (glibenclamide) dengan metformin yang merupakan pilihan kombinasi OHO dalam satu tablet. Mekanisme kerja obat ini adalah sinergis dimana tempat kerjanya berbeda yaitu pada defek sel beta dan defek pada sensitivitas insulin. Metformin menurunkan resistensi insulin dan glibenclamide mengembalikan fungsi sekresi insulin ke normal. Kedua obat ini akan memperbaiki kontrol glikemik.
Indikasi pemberian adalah pasien yang tidak terkontrol dengan diet dan olahraga, pasien yang tidak terkontrol dengan monoterapi dan pasien yang sudah mendapat kombinasi metformin dengan sulfonilurea. Penelitian melibatkan 411 pasien yang gagal dengan metformin dosis maksimal (UK) dan 639 pasien yang gagal dengan sulfonilurea dosis maksimal (USA).
Kedua kelompok kemudian dipilih secara acak, buta ganda, multisenter dan paralel selanjutnya diberikan Glucovance 2 tablet perhari ditingkatkan sampai maksimum 4 tablet perhari tergantung pada efektifitas dan tolerabilitas pasien selama 16 minggu.
Hasil akhir setelah 16 minggu penelitian menunjukkan bahwa pasien yang gagal dengan monoterapi atau dengan terapi metformin HbA1c hanya menurun 0,2%, sulfonilurea 0,3% sedang kombinasi (Glucovance) HbA1c menurun 1,2% pada 500 mg/2,5 dan 0,9% pada 500mg / 5mg (metformin / glibenclamide). Disimpulkan bahwa dengan pengobatan Glucovance maka HbA1c menurun secara bermakna dibanding dengan monoterapi metformin. Hal yang sama diperoleh bagi pasien yang gagal dengan monoterapi sulfonilurea yaitu didapatkan perbedaan bermakna penurunan HbA1c pada mereka mendapat Glucovance dibanding dengan glibenclamide atau metformin.
Selanjutnya pasien yang mendapat glucovance proporsi pasien yang mencapai HbA1c dibawah 7% adalah mempunyai proporsi 75% lebih besar dibanding dengan monoterapi. Sebaliknya pasien yang gagal dengan sulfonilurea setelah mendapatkan glucovance memberikan proporsi HbA1c <7 % adalah 8 kali lebih besar dibanding monoterapi.
Tolerabilitas pasien yang menerima glucovance tidak berbeda jauh dengan yang menerima monoterapi. Hipoglikemia pasien yang menerima glucovance lebih besar dibanding dengan yang menerima glibenclamide, namun ringan dan ini berarti bahwa penrunan glukosa plasma dengan glucovance lebih besar.
Demikian pula hasil yang diperoleh pada pasien yang gagal dengan diet/olahraga selanjutnya dipilih secara acak untuk pemerian monoterapi metformin, sulfonilurea dan glucovance. Hasil akhir setelah 20 minggu penelitian menunjukkan penurunan HbA1c secara bermakna dibanding dengan plasebo atau monoterapi.
Kesimpulan dari terapi dengan glucovance menunjukkan bahwa glucovance memberi kontrol HbA1c, glukosa darah puasa dan postprandial yang lebih baik dan dosis obat yang lebih rendah dibanding terapi standar terutama bagi pasien yang gagal dengan diet / olahraga , atau gagal dengan metformin atau glibenclamide.
Pasien yang gagal dengan diet / olahraga maka glucovance lebih efektif dan lebih dapat ditolerir dibanding monoterapi glibenclamide atau metformin.9
Ringkasan
Patogenesis DM tipe 2 disebakan oleh gangguan pada sensitivitas insulin diperifer (resistensi insulin) dan gangguan atau defek sekresi insulin oleh sel beta.
Pengobatan dengan OHO adalah bertujuan meningkatkan sekresi sel beta dengan golongan obat sekretagog seperti sulfonilurea dan nonsulfonilurea dan memperbaiki resistensi insulin dengan golongan obat non sekretagog seperti metformin. Telah terbukti bahwa pengobatan dengan monoterapi saja tidak memberikan kontrol yang optimal yang tercermin dari kadar HbA1c yang tidak mencapai sasaran sesuai diharapkan dan mortalitas serta komplikasi kronik yang masih tinggi.
Perlu kombinasi dua macam OHO yang mempunyai mekanisme kerja berbeda memberikan efek sinergis dan hasil kontrol glikemik yang lebih baik dibanding dengan monoterapi. Telah dilaporkan pula hasil penelitian dengan glucovance yang dilaporkan pada work shop di Glasgow 2001 dengan hasil yang memuaskan .
Daftar pustaka
1. Clark Jr CM. Oral therapy in type 2 diabetes :
Pharmacological properties and Clinical use of
currently available agents Spectrum 1998;11: 211-221.
2. Campbell IW. Need for intensive, early glycaemic control in
patients with type 2 diabetes.The Brit J Cardiology.
2000;7:625-631.
3. De FronzoRA. Pharmacologic therapy for type 2 diabetes
mellitus. Ann Itern Med 1999;131:281-303.
4. LebovitzHE. Stepwise and combination drug therapy for the
treatment of NIDDM. Diabetes care 1994;17:1542-1544.
5. UKPDS Group.A 9 year update of a randomized controlled trial
on the effect of improved metabolic control on
complications in non-insulin dependent diabetes
mellitus(UKPDS 17). Ann Intern Med 1996;124:136-145.
6. UKPDS Group. Association of glycaemia with macrovascular and
microvascular complications on type 2 diabetes(UKPDS 35) BMJ
2000;321:405-412.
7. UKPDS Group. Glycemic control with diet, sulfonylurea,
metformin, or insulin in patients with type 2 diabetes
mellitus(UKPDS 49).JAMA 1999;281:2005-2012.
8. Glucovance. Setting new standards in control. Glucovance R
workshop Merck Lipha s.a France. 2001.
0 komentar:
Posting Komentar