Hubungan antara obesitas dan diabetes melitus tipe 2

Oleh :John MF Adam
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UNHAS
Makassar 


PENDAHULUAN

   Prevalensi obesitas dan diabetes melitus tipe 2 meningkat dengan pesat di seluruh dunia. Sekitar 60% dari mereka yang obes menderita diabetes melitus tipe 2. Semakin besar indeks massa tubuh (IMT) semakin besar risiko menderita diabetes melitus tipe 2. Sebaliknya pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Amerika Serikat sekitar 90,0% adalah obes dan berat-badan lebih (overweight). Hasil penelitian epidemiologis di negara maju menunjukkan bahwa meningkatnya prevalensi obes sejalan dengan meningkatnya prevalensi diabetes melitus tipe 2. Wannamethee, dkk2 di Inggris memantau sebanyak 6916 pria usia menengah selama 12 tahun. Dari hasil pemantauan ditemukan bahwa resiko kejadian diabetes melitus tipe 2 meningkat secara bermakna dan progresif sejalan dengan meningkatnya indeks massa tubuh dan lamanya menderita obes atau berat-badan lebih (gambar 1).


   Hasil penelitian epidemiologis ini membuktikan bahwa ada kaitan erat antara obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Obesitas perlu dibedakan antara obesitas sentral atau visceral dan obesitas perifer. Dari hasil penelitian epidemiologis terbukti bahwa keterkaitan obesitas dan diabetes melitus tipe 2 lebih jelas pada mereka dengan obesitas sentral. Hasil pemeriksaan dengan CT-scan perut memperlihatkan bahwa lemak visceral sangat berperan terhadap terjadinya resistensi insulin. Walaupun lemak visceral merupakan prediktor utama terjadinya resistensi insulin, tampaknya tidak ditemukan hubungan tersebut pada mereka yang berat badannya normal.
















  Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hubungan lemak visceral dan resistensi insulin hanya terjadi pada keadaan dimana jaringan lemak visceral berlebihan seperti pada penderita obes. Artikel ini akan membahas mengenai patofisiologi terjadinya diabetes melitus tipe 2 pada obesitas dan penatalaksanaannya.


HUBUNGAN OBESITAS DAN DIABETES MELITUS TIPE 2

   Diabetes melitus tipe 2 terjadi oleh dua kelainan utama yaitu adanya defek sel beta pankreas sehingga pelepasan insulin berkurang, dan adanya resistensi insulin. Pada umumnya para ahli sepakat bahwa diabetes melitus tipe 2 dimulai dengan adanya resistensi insulin, kemudian menyusul berkurangnya pelepasan insulin. Pada penderita obes juga ditemukan adanya resistensi insulin. Ada dugaan bahwa penderita diabetes melitus tipe 2 dimulai dengan berat badan normal, kemudian menjadi obes dengan resistensi insulin dan berakhir dengan diabetes melitus tipe 2. Pada umumnya penderita diabetes melitus dengan keluhan khas yang datang ke klinik sudah ditemukan baik resistensi insulin maupun defek sel beta pankreas.


   Jaringan lemak mempunyai dua fungsi yaitu sebagai tempat penyimpanan lemak dalam bentuk trigliserid, dan sebagai organ endokrin. Sel lemak menghasilkan berbagai hormon yang disebut juga adipositokin (adipokine) yaitu leptin, tumor necrosis factor alpha (TNF-alfa), interleukin-6 (IL-6), resistin, dan adiponektin. Hormon-hormon tersebut berperan juga pada terjadinya resistensi insulin. Pada gambar 2 diperlihatkan hubungan jaringan lemak dengan kejadian resistensi insulin.

















Peran asam lemak bebas

   Pada mereka yang gemuk maupun diabetes melitus tipe 2 selalu ditemukan kadar asam lemak bebas yang tinggi. Meningkatnya asam lemak bebas pada mereka yang gemuk dan diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh meningkatnya pemecahan trigliserid (proses lipolisis) di jaringan lemak terutama di daerah visceral. Meningkatnya lipolisis diduga berkaitan dengan meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatis. Seperti diketahui lemak visceral peka terhadap rangsangan saraf simpatis sehingga metabolisme sel lemak visceral sangat aktif. Asam lemak bebas yang tinggi dalam plasma berperan terhadap terjadinya resistensi insulin baik pada otot, hati, maupun pada pankreas (gambar 2).

Otot

   Pada tahun 1963 Randle mengemukakan teori bahwa pada keadaan dimana peningkatan asam lemak bebas dalam darah akan diikuti dengan meningkatnya ambilan asam lemak bebas oleh jaringan otot. Pada keadaan normal otot akan menggunakan glukosa (oksidasi glukosa) untuk menghasilkan energi. Dengan demikian oksidasi asam lemak dalam otot meningkat, hal ini akan menghambat ambilan glukosa oleh otot sehingga terjadilah hiperglikemi (gambar 3A).

Hati

   Keadaan yang sama terjadi di hati, dimana hati akan menampung sebagian besar asam lemak bebas dan menjadi bahan untuk proses glukoneogenesis dan sintesis VLDL. Dengan meningkatnya glukoneogenesis, glukosa plasma puasa akan meningkat maka terjadilah hiperglikemi. Keadaan hiperglikemi puasa ini akan mengakibatkan resistensi insulin di hati (gambar 3B)


Pankreas

   Mekanisme “kerusakan” pankreas pada obesitas belum jelas. Diduga bahwa asam lemak bebas yang tinggi akan mengakibatkan terjadinya deposit trigliserid berlebihan pada sel beta pankreas, dan akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel beta pankreas.
















Keterangan Gambar 3. Siklus Randle di otot dan di hati

A. Pembakaran asam lemak bebas meningkatkan Acetyl CoA, jumlah Acetyl CoA yang berlebihan akan menghambat enzim heksokinase yang merupakan enzim penting untuk merubah oksidasi glukosa menjadi glukosa-6-fosfat (G-6-P). Untuk meningkatkan ambilan glukosa, sel otot membutuhkan lebih banyak insulin agar glukosa dapat masuk ke dalam sel otot, atau dengan kata lain akan terjadi resistensi insulin 
                            
B. Peningkatan kadar asam lemak dalam plasma menyebabkan distribusi melalui sistem portal ke hati berlebihan sehingga lebih banyak asam lemak yang dioksidasi dan menghasilkan Acetyl CoA. Acetyl CoA mengaktifkan enzim piruvat karboksilase di hati yang berperan untuk merubah asam piruvat menjadi glukosa pada proses glukoneogenesis, dengan demikian akhirnya terjadi peningkatan produksi dan pelepasan glukosa hati. Meningkatnya glukoneogenesis berakibat hambatan kerja insulin di hati, atau terjadilah resistensi insulin.

Peran adipositokin

   Penelitian terakhir membuktikan bahwa adipositokin (adipokin) yang dihasilkan oleh sel lemak berperan pada berbagai proses metabolisme dan terjadinya resistensi insulin. Leptin, tumor necrosis factor-Alfa (TNF-Alfa), interleukin-6 (IL-6), dan resistin bekerja meningkatkan resistesi insulin, sebaliknya adiponektin bekerja meningkatkan sensitivitas insulin .


Leptin 

   Kadar leptin dalam plasma meningkat dengan meningkatnya berat badan. Leptin bekerja pada sistem saraf perifer dan pusat. Peran leptin terhadap terjadinya resistensi insulin belum jelas. Penelitian pada tikus percobaan, leptin menghambat fosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS) yang akibatnya menghambat ambilan glukosa. Sebaliknya penelitian lain pada hewan dengan diabetes dan obes, pemberian leptin meningkatkan sensitivitas insulin. Hal yang serupa juga dilaporkan penelitian pada manusia.  

Tumor necrosis factor - Alfa

   Sama dengan leptin dan asam lemak bebas, kadar TNF-Alfa plasma meningkat dengan meningkatnya berat badan, dan berperan dalam mekanisme resistensi insulin perifer. Walaupun demikian pada manusia kadar TNF-Alfa dalam sirkulasi sangat sedikit untuk dapat menghambat kerja insulin pada jaringan otot. Diduga kerja TNF-Alfa lebih bersifat parakrin daripada endokrin, atau dengan perantaraan faktor lain, misalnya asam lemak bebas, karena TNF-Alfa memacu lipolisis. Pada jaringan adiposa tikus percobaan dan manusia, TNF-Alfa diekspresikan secara berlebihan sehingga mengganggu insulin signaling yang akibatnya fosforilasi IRS-1 terhambat dan menekan ekspresi glucose transporter(GLUT)-4.

Interleukin-6

   Sebagai protein proinflamasi yang disekresikan oleh jaringan adiposa, IL-6 juga meningkat dengan meningkatnya berat badan. Pada manusia, IL-6 memacu pelepasan glukagon dan kortisol dan meningkatkan glukoneogenesis. Bastard, dkk. menemukan bahwa penderita diabetes melitus yang obes lebih resisten terhadap insulin, kadar IL-6, TNF-Alfa dan leptin meningkat dibandingkan kontrol penderita dibetes melitus yang tidak obes. Peran IL-6 pada resistensi insulin diduga melalui perlemakan (adiposity), secara tidak langsung berhubungan dengan kerja insulin. Hal ini dilaporkan oleh Vozarova, dkk. yang menemukan bahwa kadar IL-6 mempunyai korelasi dengan persentasi lemak tubuh, tetapi tidak ada korelasi dengan sensitifitas insulin pada orang Indian Pima.

Resistin

   Lazar, dkk  menemukan suatu molekul signalling disekresikan oleh adiposit dan dinamakan resistin. Kadar resistin meningkat  pada tikus obes akibat makan berlebihan dan obes karena genetik, dan berkurang dengan pemberian obat anti diabetik agonis peroxisome proliferator-activator receptor (PPAR), seperti rosiglitazone.

Adiponektin 
 
   Adiponektin adalah hormon peptida yang terutama dihasilkan oleh adiposit. Dibandingkan dengan adipositokin lainnya, kadar adiponektin paling tinggi dalam sirkulasi. Adiponektin mempunyai efek yang berlawanan dengan adipositokin lainnya, yaitu mencegah terjadinya resistensi insulin dan diabetes melitus tipe 2 . Weyer dkk , melaporkan kadar adiponektin pada orang kulit putih dan Indian Pima berkurang. Kadar adiponektin juga berkorelasi dengan sensitivitas insulin, dan sebaliknya berkurang dengan semakin  buruknya toleransi glukosa. Penelitian lain pada manusia, kadar adiponektin meningkat dengan penurunan berat badan dan pemberian agonis PPAR, rosiglitazone. Kerja adiponektin diduga dengan memacu ekspresi gen-gen yang mengatur metabolisme lemak pada jaringan otot, yaitu CD36, acyl co-enzyme A (CoA) oxidase, dan uncoupling protein (UCP)-2 yang akan meningkatkan efisiensi transpor asam lemak, pembakaran lemak dan termogenesis.
 
PENATALAKSANAAN

   Penatalaksanaan pada setiap penderita diabetes melitus terdiri atas  penatalaksanaan non-farmakologik yaitu terapi nutrisi medik (perencanaan makan), olahraga, edukasi, dan penggunaan obat untuk menurunkan kadar glukosa darah. Khusus untuk penderita diabetes melitus tipe 2 gemuk penatalaksanaan non-farmakologik sangat penting, oleh karena penurunan berat badan hanya dapat dicapai dengan terapi nutrisi medik dan meningkatkan aktivitas tubuh / olahraga. Telah terbukti bahwa dengan meningkatnya berat badan > 10% dari berat badan awal akan meningkatkan risiko terjadinya diabetes melitus. Sebaliknya dengan menurunkan berat badan penderita diabetes melitus gemuk dapat memperbaiki keadaan intoleransi glukosa.

Penatalasanaan non-farmakologik

   Penatalaksanaan non farmakologik memang menjadi tujuan utama pada diabetes melitus gemuk, sayangnya terapi non-farmakologik tidak selalu berhasil, bahkan lebih sering gagal. Oleh karena itu, beberapa upaya telah diusahakan untuk tetap berusaha menurunkan berat badan penderita diabetes melitus tipe 2 gemuk, antara lain adalah dengan penambahan obat anti obesitas seperti orlistat dan sibutramin. Oleh karena penderita diabetes melitus gemuk sering disertai dengan berbagai kelainan metabolik lainnya seperti adanya resistensi insulin / hiperinsulinemi, tingginya kadar trigliserid disertai rendahnya kolesterol-HDL dan hipertensi, dengan sendirinya pengobatan pada penderita diabetes melitus gemuk harus diperhitungkan semua faktor tersebut (gambar 4 )

Penatalaksanaan farmokologik

Obat hipoglikemik oral

   Pada saat ini dipasarkan sebanyak lima jenis obat hipoglikemik oral yaitu sulfonilurea, non-sulfonilurea secretogogue (repaglinid, natiglinid), biguanid, alpha glucosidase inhibitor (akarbose), dan thiazolidinedion (pioglitazon, rosiglitazon). Dalam pemilihan obat hipoglikemik oral untuk diabetes melitus tipe 2 gemuk selalu harus diperhatikan efek samping meningkatnya kadar insulin plasma, dan bertambahnya berat badan. Golongan thiazolidinedion, metformin, akarbose serta repaglinid dianjurkan untuk diabetes melitus tipe 2 gemuk. Pada keadaan tertentu perlu dilakukan pengobatan kombinasi Metformin tunggal selain menurunkan kadar glukosa darah juga menurunkan berat badan, oleh karena sangat dianjurkan pada penderita diabetes melitus tipe 2 gemuk. Golongan thiazolidinedion sangat baik untuk penderita diabetes melitus tipe 2 gemuk karena memperbaiki sensitivitas insulin di jaringan, tetapi kadang-kadang dapat menaikkan berat badan. Pada saat ini telah dipasarkan obat kombinasi dalam satu tablet seperti Glucovance (metformin-glibenklamid) dan Avandamet (metformin – rosiglitazon). Kedua obat tersebut memberikan hasil yang baik pada penderita diabetes melitus tipe 2 gemuk, dengan tidak menaikkan berat badan. 






 































Obat yang berkaitan dengan faktor risiko kardiovaskuler

   Oleh karena prevalensi hipertensi, dislipidemi sangat tinggi pada penderita diabetes melitus, sedangkan sasaran yang ingin dicapai sangat ketat maka obat yang berkaitan dengan faktor risiko kardiovaskuler seperti antihipertensi, obat hipolipidemik hampir secara rutin diberikan. Untuk obat antihipertensi selama kadar kreatinin dalam batas normal, pilihan pertama adalah golongan ACE-inhibitor. Secara khusus apabila sudah ditemukan adanya mikroalbuminuri maka ACE - inhibitor dapat mencegah perlangsungan nefropati diabetik menjadi lebih buruk.  Golongan statin sampai saat ini masih merupakan pilihan pertama untuk dislipidemi diabetik pada penderita diabetes melitus tipe 2, terkecuali pada mereka dengan kadar trigliserid tinggi yaitu > 400 mg/dl maka golongan fibrat didahulukan.

   Penelitian Heart Protection Study  dengan menggunakan simvastatin 40 mg/hari menyimpulkan bahwa pada mereka dengan kadar kolesterol - LDL yang < 100 mg/dl masih dapat memberikan manfaat pencegahan komplikasi kardiovaskuler. American Diabetes Association  merekomendasikan pemberian aspirin secara rutin pada penderita diabetes melitus tipe 2 yang berumur > 30 tahun. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 akan mendapat obat pencegahan untuk kejadian kardiovaskuler. 

Obat anti obesitas

    Obat anti obesitas seperti orlistat dan sibutramin, sangat membantu  untuk menurunkan berat badan pada penderita yang gemuk. Obat-obat tersebut selain memberikan penurunan berat badan,  ternyata juga dapat memberikan perbaikan profil lipid serum seperti menurunkan kadar kolesterol- LDL dan trigliserid, dan menaikkan kadar kolesterol- HDL. Hasil yang sangat baik apabila berat badan dapat diturunkan sebesar 10% dari berat badan awal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Henry RR, Mudaliar S. Obesity, mechanisms and clinical
   management. Eckel RH (ed.). Lippincott Williams &
   Wilkins, Philadelphia 2003; 229-272
2. Wannamethee SG, Shaper GA. Weight change and duration of 
   overweight and obesity in the incidence of type 2
   diabetes. Diabetes Care 1999; 22: 1266-1272
3. Wilding JPH. Obesity and nutritional factors in the 
   pathogenesis of type 2 diabetes mellitus Textbook of
   Diabetes. Pickup JC, Williams G (eds.), 3rd ed., Blackwell
   Science, Oxford 2003: 20.1-20.16
4. Bastard JP, Jardel C, Brickert E, et al. Elevated levels of
   interleukin-6 are reduced in serum and subcutaneous 
   adipose tissue of obese women after weight loss. J Clin 
   Endocrinol Metab 2000; 85: 3338-3342
5. Vozarova B, Weyer C, Hanson K, et al. Circulating 
   interleukin-6 in relation to adiposity, insulin action,
   and insulin secretion. Obes Res 2001; 9: 414-417
6. Steppan CM, Bailey ST, Bhat S, et al. The hormone resistin
   links obesity to diabetes. Nature 2001; 409: 307-312
7. Weyer C, Funahashi T, Tanaka S, et al. Hypoadiponectinaemia in
   obesity and type 2 diabetes: close association with insulin
   resistance and hyperinsulinaemia. J Clin Endocrinol Metab
   2001; 86: 1930-1935
8. Scheen AJ, Lefebvre PJ. Management of the obese diabetic
   subjects. Diabetes Reviews, 1999; 7: 77-9
9. MRC / BHF Heart Protection Study of cholesterol– lowering 
   with simvastatin in 5963 people with diabetes:
   a randomized   placebo – controlled trial. The lancet 2003;
   361: 2005 – 2015
10.American Diabetes Association. Consensus development
   conference on insulin resistance. Diabetes Care 1999; 21: 
   310 -  314
11.James WPT, Astrup A, Finer N, Hilsted J, Kopelman P, Rossner 
   S, Saris WHM, Gaal LFV, for the STORM Study Group. Effect of 
   Sibutramine on Weight Maintenance after Weight Loss: 
   Randomized Trial. Lancet 2002;356:2119-2125
12.Torgerson JS, Hauptman J, Boldrin MN, Sjostorm L. XENical in
   the prevention of  diabetes in obese subjects (XENDOS) study.
   Diabetes Care 2004; 27: 155-161



0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Dokter Network Angk 97