Efek lain dari pioglitazone selain menurunkan kadar glukosa plasma pada diabetes melitus tipe 2

0 komentar
Oleh  :  Prof dr John MF Adam Sp PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UNHAS

Pendahuluan

        Menurut perkiraan WHO, setelah  tahun 2010 jumlah penderita diabetes di dunia akan sangat meningkat, khususnya di benua Asia termasuk di Indonesia. Penelitian di Makasar pada tahun l982 menunjukkan prevalensi penderita diabetes melitus hanya 1,5%, sedang pada tahun l997 jumlah penderita diabetes melitus meningkat menjadi 5.42% . Sebagian besar dari penderita diabetes melitus yang ditemukan di klinik adalah diabetes melitus tipe 2, dan lebih dari 50%, dari penderitanya adalah gemuk. Secara etiopatogenesis, diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh dua hal yaitu adanya resistensi insulin di sel otot, sel lemak, dan sel hati , dan defek sel beta dalam menghasilkan insulin sehingga sekresi insulin menjadi menurun . Sebagian besar dari diabetes melitus tipe 2, khususnya pada mereka yang gemuk dimulai dari adanya resistensi insulin, baru kemudian terjadi kegagalan fungsi sel beta (sel beta failure) .


Insulin dan asupan glukosa

   Insulin dihasilkan oleh sel beta  pankreas setelah ada rangsangan glukosa. Pelepasan insulin terjadi dalam dua tahap yaitu tahap pertama (tahap dini) dan tahap kedua. Pada saat glukosa masuk ke dalam  darah maka sel beta melepaskan insulin yang sudah siap pakai ( atau sudah tersedia di sel beta ) ke dalam darah.Tahap ini hanya berlangsung beberapa menit.

      Untuk kemudian selama terjadinya  proses penyerapan glukosa dari usus, maka insulin yang dilepaskan adalah insulin yang baru dihasilkan oleh sel beta. Pelepasan insulin kemudian akan menurun setelah kita selesai makan, sehingga pada suatu saat dimana kadar insulin sangat rendah (pada malam hari misalnya) akan merangsang sel alfa pankreas melepaskan glukagon. Glukagon yang dilepaskan akan merangsang proses glukolisis dan glukoneogenesis di hati sehingga akan melepaskan glukosa ke dalam darah (glucose hepatic output).

    Sel otot, sel lemak, dan sel hati merupakan tempat dimana gkukosa yang berasal dari makanan disimpan sebagai glikogen maupun lemak. Untuk masuknya glukosa ke dalam sel membutuhkan insulin, dan insulin yang menghantar glukosa masuk kedalam sel membutuhkan suatu reseptor pada membran,  yang dikenal dengan nama reseptor insulin. Insulin akan terikat pada resptor insulin dan akan mengakibatkan perubahan permeabilitas sel membran sehingga glukosa dapat masuk kedalam sel. Insulin yang terikat pada reseptor insulin akan memberi “signal” di dalam sel dan mengakibatkan berbagai perubahan di dalam sel. Salah satu perubahan dalam sel adalah terangsangnya  Peroxisome proliferator-activator gamma.

    Peroxisome proliferator-activator gamma   terutama terletak di sel lemak dan sebagian kecil di sel otot. Aktivasi PPAR akan merangsang “glucose transporter protein” (GLUT-4 dan GLUT-2 ) untuk  berpindah ke membran sel untuk menjemput glukosa masuk ke dalam sel .




      
Manfaat pengobatan pada  DM tipe 2

   Tujuan terapi pada penderita diabetes melitus adalah menghilangkan keluhan dan tanda klinik penderita serta mencegah atau memperlambat  komplikasi kronik vaskuler. Penelitian Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) pada penderita diabetes melitus tipe 1, dan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS)  untuk penderita diabetes melitus tipe 2 membuktikan bahwa dengan pengobatan intensif glukosa darah, akan menurunkan komplikasi mikrovaskuler maupun makrovaskuler.





Resistensi insulin

     Pada tahun l988 G Raven memperkenalkan peranan resistensi insulin dan hiperinsulinemia dan menamakannya sebagai Sindroma X. Ternyata bahwa sindroma X ini terdiri atas sekelompok kelainan metabolik yang merupakan faktor resiko untuk terjadinya penyakit arteri koroner. Dalam perkembangannya sindroma X lebih dikenal dengan nama sindroma resistensi insulin.




      Resistensi insulin dapat dialami selama bertahun-tahun sebelum terjadinya manifestasi klinik hiperglikemia (tahap prediabetes). Hal ini menunjukkan bahwa resistensi insulin merupakan tahap awal dalam patogenesis diabetes melitus tipe 2. Penurunan respon target organ terhadap insulin memacu sel beta pankreas untuk bekerja lebih keras memenuhi kebutuhan insulin yang lebih banyak sampai suatu saat sel beta akan gagal mengsekresi insulin yang dibutuhkan.

Strategi pilihan obat hipoglikemia oral

    Idealnya penanganan penderita diabetes melitus adalah melalui pendekatan etiologik. Oleh karena sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 ditemukan adanya resistensi insulin, maka idealnya terapi harus ditujukan pada bagaimana menghilangkan resistensi insulin tersebut. Sejak lama dikenal dua jenis obat hipoglikemik oral yaitu golongan sulfonilurea dan biguanid atau  metformin. Memasuki akhir abad ke-duapuluh diperkenalkan tiga jenis obat hipoglikemik oral baru yaitu golongan penghambat enzim alfa glukosidase di usus (akarbose), golongan perangsang sel beta yang non-sulfonilurea (repaglinide), dan golongan thiazolidinedione. Dari ke lima jenis obat hipoglikemik oral tersebut metformin dan golongan thiazolidinedione merupakan obat yang dapat menurunkan resistensi insulin. Obat golongan thiazolidinedione yaitu troglitazone, pioglitazone, dan rosiglitazone, disebut juga sebagai “insulin sensitizer” oleh karena dapat meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin. 

     Pilihan terapi farmakologik pada diabetes melitus tipe 2 tergantung pada keadaan penderita. Pada saat ini sudah dipasarkan 5 jenis obat hipoglikemik oral dengan cara kerja yang berbeda-beda . Namun  terlihat bahwa metformin dan golongan thiazolidinedione selain menurunkan kadar glukosa darah juga menurunkan kadar insulin plasma. Hal ini berbeda dengan golongan sulfonilurea pada umumnya yang menyebabkan hiperinsulinemia. Obat hipoglikemik oral golongan thiazolidinedione (pioglitazone, rosiglitazone) merupakan obat  yang kerjanya bersifat “insulin sensitizer” sehingga sangat  tepat diberikan pada penderita diabetes melitus tipe 2 dengan kelainan utama berupa resistensi insulin . 

 
Pioglitazone

1.   Penemuan thiazolidinedione
    Penelitian terhadap obat yang dapat mengaktifkan kerja insulin sudah dimulai sejak tahun l963 di Jepang, tetapi barulah pada tahun l975 perusahan farmasi memperkenalkan struktur kimia thiazolidinedione. Obat pertama golongan thiozolinideniode yang di uji cobakan adalah ciglitazone yaitu pada tahun 1982, tetapi dihentikan pada tahun l983 oleh karena hasil uji klinik kurang berhasil. Pioglitazone mulai diproduksi pada tahun l982 dan uji klinik dimulai pada tahun l993. Walaupun demikian barulah pada tahun l999 obat ini diperkenankan utuk digunakan di Amerika Serikat dan Jepang.

2.   Cara kerja

    seperti sudah disebut diatas, insulin yang ditangkap oleh reseptor sel akan memulai terjadinya signal transduksi ke inti sel untuk merangsang produksi beberapa protein kunci (key proteins) yang berperan dalam aktivitas insulin intraseluler. PPR gamma, suatu reseptor nuklir sangat berperan pada migrasi GLUT ke permukaan membrana sel untuk membawa glukosa masuk ke dalam sel. Obat golongan thiazolinideniode, termasuk pioglitazone akan terikat pada PPR gamma, dengan demikian akan mengaktifkan pemindahan GLUT ke permukaan membran sel (GLUT-4 untuk sel lemak dan otot, GLUT-2 untuk sel hati) . Dengan mengatifkan GLUT-4 dan GLUT-2 maka akan terjadi penurunan kadar glukosa darah yaitu melalui asupan glukosa di sel otot dan lemak meningkat, dan pelepasan glukosa hati akan menurun.


    Manfaat lain obat ini adalah pada metabolisme lemak yaitu mengaktifkan lipogenesis sehingga kadar trilgliserida dan lemak bebas plasma akan menurun. Selain itu pioglitazone menekan produksi TNF-alfa yang berpean pada resistensi insulin.

3.  Manfaat klinik
    pioglitazone kerja utamanya adalah “insulin senitizer”, artinya dapat memperbaiki kerja insulin, disamping itu menurunkan resistensi insulin dengan menekan produksi TNF-a di sel lemak,  obat ini sangat baik digunakan didalam penanganan diabetes melitus tipe 2 karena tidak semata-mata hanya menurunkan kadar glukosa plasma tetapi juga memiliki efek lain.

   Prevalensi hipertensi pada diabetes melitus lebih tinggi  terutama pada penderita yang gemuk. Telah dibuktikan bahwa pada penderita obes yang hipertensi mempunyai kadar insulin lebih tinggi dibandingkan hipertensi dengan berat badan normal. Seperti diketahui insulin mempunyai efek meningkatkan tekanan darah. Dengan pemberian pioglitazone akan memperbaiki resistensi insulin khususnya pada orang gemuk, dengan demikian kadar insulin plasma akan menurun.

   Penderita diabetes mellitus tipe 2 sebagian besar disertai dengan dislipidemia yaitu hipertrigliseridemia, HDL-kolesterol rendah, dan meningkatnya subfraksi “small dense” (LDL-kolesterol). Pemberian pioglitazone dapat menurunkan kadar trigliserid dan meningkatkan HDL-kolesterol . Selain itu dapat juga menurunkan kadar “small dense” LDL-kolesterol. Penurunan kadar trigliserida dan meningkatnya HDL-kolesterol seirng didapatkan pada pengobatan  pioglitazone  yang dikombinasi dengan obat hipoglikemik lainnnya .

Ringkasan

   Obat golongan thiazolinedionide merupakan obat yang  mempunyai titip tangkap khusus yaitu memperbaiki kerja insulin di jaringan perifer yaitu sel otot, lemak, dan sel hati. Pioglitazone salah satu dari golongan thiazolinedionide bekerja melalui stimulasi PPR gamma, yang kemudian akan mengaktifkan perpindahan GLUT-4 di sel otot,dan lemak, dan GLUT-2 di sel hati. Dengan demikian glukosa akan ditarik masuk kedalam sel, dan  kadar glukosa plasma akan menurun. Karena memperbaiki sensitivitas insulin di jaringan maka akan menurunkan resistensi insulin dan kadar insulinplasma dan menurunkan kadar PAI-1.

    Selain mempunyai efek menurunkan kadar glukosa plasma ternyata juga pioglitazone dapat menurunkan kadar trigliserida dan meningkatkan kadar HDL-kolesterol serum. Penelitian pada binatang  memperlihatkan efek vasculooprotektif dan menurunkan tekanan darah. Obat ini dapat digunakan sebagai monoterapi, tetapi juga memberikan efek hipoglikemi yang sangat bila dikombinasikan dengan sulfonilurea, metformin, maupun dengan insulin.
 
Daftar Pustaka

1.  Adam JMF, Sambo AP. Prevalensi diabetes melitus di kota 
    dan pedesaan (belum dipublikasi)
2.  Actos confronting the challenges and concerns of type 2 
    diabetes. A product monograph, Takeda Pharmaceuticals
    America 1999.
3.  The diabetes control and complications trial research group.
    The effect intensive treatment of diabetes on the 
    development and progression of long-term complication in
    insulin-dependent diabetes mellitus. N Engl J Med.  
    1993;329:977-986.
4.  American Diabetes Association position statement. Implication
    of the United Kingdom Prospective Diabetes Study.Diabetes
    Care 1999;22:S27-S31.
5.  Iwamoto Y. Troglitazone in clinical practice. In: Diabetes 
    in the New Millennium.Turtle RJ, Kaneko T, Ostao S  (eds).
    The Endocrinology and Diabetes Research Foundation of the
    University of Sydney. Sydney 1999:227-232.
6.  Haffner MS, Meittinen H. Insulin resistance implications 
    for type 2 diabetes melitus and coronary heart disease. Am
    J Med 103;152-162, 1997.
7.  Kaneko T, Baba S. Pioglitazone (AD-4833). In: Diabetes in the
    New Millennium. Turtle RJ, Kaneko T, Oato S (eds). The 
    Endocrinology and Diabetes Research Foundation of the
    University of Sydney. Sydney 1999:233-238.
8.  The discovery of pioglitazone and its role in the treatment 
    of type 2 diabetes. Takeda Pharmaceuticals America 2000.






DIABETES MELITUS DAN INFEKSI

0 komentar

Oleh  :  Prof dr John MF Adam Sp PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UNHAS


Pendahuluan

   Adalah suatu kenyataan bahwa penderita diabetes melitus lebih sering mengalami infeksi baik oleh bakteri, jamur, maupun virus dibandingkan dengan populasi bukan diabetes . Penyebab dari kondisi ini belum jelas tetapi adalah suatu kenyataan bahwa pada kulit penderita diabetes melitus lebih banyak ditemukan bakteri stafilokokus, dan kandida lebih banyak ditemukan pada daerah mulut dan mukosa genital dibandingkan dengan mereka yang bukan penderita  diabetes melitus . 

      Di negara yang sedang berkembang dimana tingkat kesadaran kesehatan belum begitu baik,  infeksi masih merupakan penyebab utama penderita rawat inap di rumah sakit. Pada satu penelitian di Makasar mengenai sebab rawat inap pada penderita diabetes melitus, ternyata penyebab infeksi merupakan sebab utama, dimana sekitar 45 % diantaranya dengan kaki diabetes infeksi . Hal yang sama dilaporkan oleh Pattiiha dkk  yang meneliti sebab masuk rumah sakit penderita diabetes melitus yang dirawat inap di rumah sakit umum. Menurut kepustakaan barat infeksi yang paling sering adalah infeksi saluran kemih.

       Infeksi pada diabetes melitus khususnya pada mereka dengan kendali glikemik yang buruk, dan pada penderita usia lanjut sering mempunyai perlangsungan klinik yang berat, misalnya infeksi saluran nafas dan saluran kemih, sehingga membutuhkan perawatan rumah sakit dan penggunaan antibiotik yang spectrum luas.

Penyebab kerentanan diabetes melitus terhadap infeksi

     Meningkatnya kepekaan terhadap infeksi pada diabetes melitus disebabkan oleh berbagai faktor (multifaktorial), baik yang disebabkan oleh hiperglikemi maupun gangguan immunitas. Salah satu bukti bahwa hiperglikemi sebagai salah satu penyebab rentannya infeksi pada diabetes melitus  ialah pada penderita dengan ketoasidosis dimana ditemukan hiperglikemi berat sering ditemukan komplikasi infeksi. Beberapa hal  dapat menerangkan hiperglikemi sebagai penyebab kerentanan infeksi pada diabetes melitus, yaitu :

1.  Pembawa kuman
    Penderita diabetes melitus ternyata lebih banyak kuman, jamur yang mengidap di tubuhnya. Sebagai contoh penderita diabetes melitus khususnya wanita sering disertai dengan infeksi jamur  pada alat genitalia. Penderita dengan kendali glikemik yang buruk sering dengan infeksi pada gigi dan mulut. Pada keadaan hiperglikemi kuman gram positif akan lebih subur tumbuhnya, sedang gram negatif kurang .

2. Gangguan fungsi sel  neutrofil dan monosit
   Hiperglikemi dapat mengakibatkan gangguan fungsi neutrofil
       dan monosit. Gangguannya dapat berupa :
a.  Pergerakan - chemotaxis
      Neutrofil dan monosit pada diabetes melitus terutama pada 

      keadaan hiperglikemi mempunyai pergerakan yang lebih lambat.
   Beberapa peneliti bahkan menyebut bahwa pada penderita 
   diabetes melitus terlepas   dari   hiperglikemi atau tidak,
   sel  neutrofil dan monosit berperilaku malas dan disebut “lazy
   leucocyte disorder” .
b. Kemampuan melengket menurun
   Hiperglikemi juga menyebabkan menurunnya kemampuan

   melengketnya neutrofil dan monosit dengan demikian akan 
      mengurangi daya kerja kerja sel tersebut.
c.  Kemampuan fagositosis menurun
d.  Menurunnya kemampuan membunuh kuman (killing).

       Setelah neutrofil menangkap kuman (setelah proses fagositosis) maka kuman akan dibunuh. Proses pembunuhan kuman (killing proses) terjadi pada keadaan oksidatif dan  non-oksidatif. Pada awal proses pembunuhan kuman selalu dimulai dengan tahap oksidatif dan menggunakan radikal bebas toksik (toxic free radicals) seperti superoksida, hydrogen peroksida. Dalam keadaan normal glukosa yang masuk ke dalam sel neutrofil akan dimetabolisme  melalui hexose monomonophosphate shunt (HMP shunt). Proses HMP-shunt ini akan menghasilkan NADPH yang dibutuhkan untuk  menghasilkan radikal bebas superoksida dan hidrogen peroksida yang dibutuhkan pada proses membunuh kuman. Pada keadaan hiperglikemi maka  sebagian dari glukosa akan dimetabolisme melalui jalur polyol (polyol pathway). Enzim aldose reduktase yang berperan pada jalur polyol akan menggunakan NADPH, dengan demikan  produksi superoksida dan hydrogen peroksida akan menurun dan berakibat menurunnya proses pembunuhan kuman.





   
JENIS INFEKSI     Pada tabel 1 dapat dilihat jenis infeksi yang sering ditemukan pada penderita diabetes melitus. Pengalaman di klinik kami infeksi yang paling sering adalah kaki diabetes infeksi,  infeksi saluran kemih dan saluran nafas.  


Tabel 1. Jenis infeksi yang sering ditemukan pada penderita diabetes.

Infeksi bakteri                          Infeksi jamur
_____________________________________________________________        
Sistitis emphysematous           Invasive candidiasis
Nekrosis pappilare                  Skin and mucosac
Necrotizing fasciitis               Central nervous system
Kaki diabetes infeksi


Piliahan antibiotik

    Jenis kuman yang paling sering menyebabkan infeksi pada diabetes melitus adalah stafilokokus aureus. Tidak jarang penderita diabetes melitus disertai dengan infeksi kuman ganda sehingga membutuhkan  terapi kombinasi. Pada kaki diabetes infeksi,  sebelum mendapat hasil biakan kuman dan tes kepekaan maka terapi yang digunakan di klinik adalah “blind first line” yaitu sefalosporin generasi kedua /tiga (claforan), metronidazol, dan obat ketiga dapat clindamycin atau quinolon.(tabel 2) 

 
Tabel 2.  Kombinasi antibiotik pada infeksi berat.

Kombinasi pertama                   kombinasi kedua
_________________________________________________
Cephalosporin (klaforan)          Cephalosporin
Flucloxacillin / clindamicyn       Aminoglycocide / Quinolone
Mettronidazole                         Mettronidazole



Pengalaman dengan ticlopidin

   Dalam beberapa tahun terakhir telah banyak dilaporkan terjadinya infeksi berat khususnya di rumah sakit yang disebabkan oleh gram positif cocci terutama staphylococci, yang ternyata resisten terhadap antibiotik yang biasa digunakan. Meningkatnya insidens resisten stafilokokus aureus (MRSA) dan  stafilokokus epidermedis (MRSE) terhadap methicillin menimbulkan pertanyaan apakah masih ada manfaat menggunakan anti biotik penicillin dan sephalosporin.
 
       Adalah suatu kenyataan  bahwa banyak kuman yang resisten terhadap B-lactamase dan aminoglikosida. Terutama pada kasus-kasus infeksi berat yang sangat sulit diobati seperti pada endokarditis, oesteomyelitis, sepsis dan abses,  dimana kondisi ini dapat  ditemukan pada penderita diabetes melitus khususnya yang kendali glikemik buruk dengan hiperglikemi. Pada tahun 1970-an Dengan diperkenalkannya teicoplanin (targocid), kasus-kasus MRSA dan MRSE dapat diobati. Aktifitas anti bakteri dari teicoplanin adalah spesifik yaitu untuk kuman gram positif baik aerob maupun anaerob. Obat ini sangat bermanfaat untuk mengobati sepsis dan infeksi berat lainnya khususnya stafilokokus epidermidis dan coagulase negatif stafilokokus lainnya.

Ringkasan

   Diabetes melitus sering disertai dengan infeksi dan tidak jarang dengan infeksi berat / sepsis. Diketahui penderita diabetes mempunyai kerentanan terhadap infeksi baik bakteri jamur maupun virus. Penyebab kerentanan  terhadap infeksi bersifat multifaktorial. Diketahui bahwa hiperglikemi dapat menyebabkan perubahan pada sel netrofil maupun monosit dalam hal menurunya kemampuan pergerakan, penempelan dan fagositosis sel. Selain itu kemampuan membunuh kuman berkurang. Dalam tahun tahun terakhir telah dilaporkan banyak infeksi berat khususnya yang di rumah sakit yang resisten terhadap obat-obat penicillin dan sephalosporin terutama kuman stafilokokus aureus dan stafilokokus epidermidis yang resisten terhadap methicillin (MRSA, MRSE). Obat teicoplanin (targocid) yang mempunyai aktifitas anti bakteri untuk kuman gram positif baik aerob maupun anaerob. Obat ini sangat bermanfaat untuk mengobati sepsis dan infeksi berat lainnya khususnya stafilokokus epidermidis dan coagulase negatif stafilokokus lainnya.

Daftar pustaka

1.  Wilson R. M. Infections and Diabetes. In Chronic 

    Complications  of Diabetes. Edited   By John C.Pickup & 
        Gareth  Williams, Blackweel Scientific Publications, Oxford,
    1994, 282-88.
2.  Adam J.M.F, Tjindi M.R.. Sebab utama Rawat Nginap Penderita

        Diabetes Melitus pada beberapa   Rumah Sakit. Buku Naskah 
        Lengkap II KONAS II PERKENI, Surabaya 1989, 36 – 44.
3.    Pattiiha M.Z, Supit T.M.J, Nachrawy T, Adam J.M.F. Sebab

    Utama Rawat Inap Penderita Diabetes Melitus Usia   Lanjut di
    RSU Ternate. Dalam Kumpulan Naskah Lengkap dan Kongres
    Nasional IV Perkumpulan Endokrinologi  Indonesia, editor 
       John M.F.Adam dkk. Ujungpandang, 1997, 261 – 67.
4.    Johnston C. L.W. Infection and Diabetes Mellitus. In Texbook

       of Diabetes, Volume 2, Second Edition, Edites By John  Pickup
         and Gareth Williams, Blackweel  Science Ltd, Oxford, 1997,
     70.1 – 70.14.
5.    Schoenbaum S.C. Infection in Diabetes. In  Clinical Diabetes

        Mellitus, W.B. Saunders Company, Philadelphia,   1982, 
    327 – 32.
6.  Jones R.L., Peterson C.M. Hematologic Alterations in Diabetes
    Mellitus. In Diabetes Mellitus, Edited by Jay S.Skyler, 
    George F.Cahill, Jr.,M.D.New York, 1981, 179 – 92.  



    

Pedoman dasar pengobatan penyakit di puskesmas

0 komentar
          

               Pada postingan kali ini penulis hanya sekedar memperkenalkan sebuah  buku yang cukup menarik dibaca, praktis dan dapat digunakan sebagai paduan pengobatan  bagi para dokter dan praktisi medis ,yang saat ini sedang bertugas di daerah. Buku ini insya Allah dapat menyegarkan ingatan kita tentang  ilmu-ilmu kedokteran dan kesehatan yang telah kita pelajari sejak di bangku kuliah dulu. Jadi tidak usah sibuk-sibuk buka buku yang besar-besar.


Berikut daftar penyakit dan pengobatan yang dijelaskan dalam buku ini :

  1. ABSES GIGI
  2. AIDS
  3. AMUBIASIS
  4. ANEMIA
  5. ANGINA PEKTORIS
  6. ANTRAKS
  7. ABORTUS
  8. ARTRITIS
  9. ASMA BRONKIALE
  10. BATU SALURAN KEMIH
  11. BRONKITIS AKUT
  12. CACINGAN
  13. 1. ANKILOSTOMIASIS (Infeksi Cacing Tambang)
  14. 2. ASKARIASIS (Inksi Cacing Gelang)
  15. 3. FILARIASIS
  16. 4. OKSIURIASIS
  17. 5. SISTOSOMIASIS
  18. 6. TAENIASIS / SISTISERKOSIS
  19. 7. TRIKURIASIS
  20. DEMAM BERDARAH DENGUE
  21. DEMAM REMATIK
  22. DERMTITIS ATOPIK
  23. DERMATOMIKOSIS
  24. DIABETES MELITUS
  25. DIARE NON SPESIFIK
  26. DIFTERI
  27. EPILEPSI
  28. ERISIPELAS
  29. FARINGITIS AKUT
  30. FLU BURUNG
  31. FRAMBUSIA
  32. GAGAL JANTUNG (DEKOMPENSASIO KORDIS)
  33. GANGGUAN NEUROTIK
  34. GANGREN PULPA
  35. GASTRITIS
  36. GIGITAN ULAR
  37. GINGGIVITIS
  38. GLAUKOMA
  39. GLOMERULONEFRITIS AKUT (GNA)
  40. GONORE
  41. GOUT
  42. HEPATITIS VIRUS
  43. HERPES SIMPLEKS
  44. HERPES ZOSTER
  45. HIPEREMISIS GRA VIDARUM
  46. HIPERTENSI
  47. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
  48. HORDEOLUM
  49. HORDEOLUM INTERNUM
  50. HORDEOLUM EKSTERNUM
  51. INFEKSI POST-PARTUM
  52. INFLUENZA
  53. KERATITIS (ULKUS KORNEA)
  54. KOLERA
  55. KONJUNGTIVlTIS BAKTERIAL
  56. KONJUNGTIVITIS VIRAL
  57. KERATOKONJUNGTIVITIS VERNAL
  58. KONJUNGTIVITIS PURULENTA NEONATORUM
  59. KUSTA
  60. LEPTOSPIROSIS
  61. LUKA BAKAR
  62. MALARIA
  63. MIGREN
  64. MORBILI (CAMPAK)
  65. OTITIS MEDIA AKUT (OMA)
  66. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK (OMSK)
  67. PAROTITIS EPIDEMIKA
  68. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
  69. PERDARAHAN POST PARTUM
  70. PERIODONTITIS
  71. PERTUSIS
  72. PIELONEFRITIS


            Jika para pembaca menginginkan bukunya silahkan download pada link yang terdapat dibawah potingan ini .Buku ini saya sebarkan  hanya untuk  tujuan pendidikan.

Ini link downloadnya Sohib  : Buku pedoman pengobatan dasar di Puskesmas 

NYERI NEUROPATI DIABETIKA

0 komentar

Oleh :   dr Lucas Meliala, SpS (K)
              Bagian Ilmu Saraf Fak. Kedokteran Universitas Gajah Mada
           RSUP. Dr. Sardjito, Yogyakarta
 
Abstrak

        Diabetes melitus (DM) merupakan penyebab  1/3 dari semua nyeri neuropati (NN). Hampir 50% penderita DM yang telah mengidap DM selama lebih dari 25 tahun akan mengalami nyeri neuropati (NN). Hiperglikemia pada DM dapat menimbulkan lesi serabut saraf afferen, yang selanjutnya akan menyebabkan kelainan struktural dan hipereksitabilitas, disamping penurunan nilai ambang terhadap nyeri. Kelainan struktural dan hipereksitabilitas dapat menyebabkan terjadinya ectopic discharge yang spontan maupun evoked, yang akan menyebabkan sesitisasi sentral. Sensitisasi sentral, bersama-sama dengan ectopic discharge dan hipereksitabilitas akan menyebabkan nyeri spontan ataupun nyeri evoked.

       Kelainan saraf simpatis pada DM dapat menambah timbulnya impuls  yang ectopic. Farmakoterapi akhir-akhir ini, disamping pengontrolan kadar gula darah, juga ditujukan pada "membrane stabilizing agent", seperti antikonvulsan.

PENDAHULUAN  

       Nyeri neuropati (NN ) adalah nyeri  yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf .  Prevalensi nyeri neuropati (NN) diperkirakan 1% dari total populasi dan 1/3 diantaranya adalah penderita DM . NN pada penderita DM pada umumnya dirasakan di daerah kaki (ujung ekstremitas bawah) dan jarang diatas lutut, ataupun ekstremitas atas. Diskripsi Nyeri Diabetika (ND) ditandai dengan rasa terbakar, rasa ditikam, kesetrum, disobek, tegang, diikat, atau allodinia . Bila tanpa pengobatan yang baik keluhan nyeri sering kali disertai dengan gangguan tidur dan mood.

      Farmakoterapi untuk ND seringkali menemui kesulitan, sebab obat-obat analgesik maupun opioid umumnya kurang efektif . Disamping hal tersebut diatas, diketahui pula bahwa tidak semua penderita nyeri diabetika (ND) menunjukkan simptom nyeri yang sama.  Sebagai ilustrasi

A. Kasus I :Seorang penderita wanita, 50 th, menderita DM tipe II selama 4 tahun.
                 Penderita mengeluhkan:

                 - panas di kaki  (continuous burning pain)
                 - hiperalgesia statik mekanikal (tekanan)
                   Pada pemeriksaan neurologik ditemukan: Polineuropati aksonal ringan

B. Kasus II: Seorang laki-laki, 76 th, dengan DM tipe II selama 4 tahun Penderita
                 mengeluhkan:

                 - disestesi (spontan) di kaki dan tangan
                 - kulit dingin dan kadang-kadang timbul rasa nyeri seperti kesetrum
                    (electric-like lancinating painyang  paroksismal)
                 Pada pemeriksaan neurologik ditemukan: Polineuropati aksonal (sensorik

                dan motorik) yang berat.

     Dari kedua kasus  diatas, terlihat adanya perbedaan keluhan dan kelainan neurologik. Hal tersebut mencerminkan adanya perbedaan patologi . Strategi pengobatan yang ada saat ini, yang berdasarkan pada sindroma, ternyata belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu strategi pengobatan yang mungkin lebih efektif perlu dicoba, yaitu yang berdasarkan pada  mekanisme yang bertanggung jawab terhadap terjadinya tanda dan gejala (sign and symptom). Dengan demikian pola pengobatan dengan basis tanda dan gejala tersebut perlu dipahami lebih jauh .  

PEMBAHASAN

Kelainan Patologi pada Neuropati Diabetika

        DM telah lama dikenal sebagai penyakit dengan  berbagai komplikasi. Banyak diantara komplikasi yang terjadi sebagai akibat hiperglikemia. Salah satu diantaranya adalah neuropati, sehingga disebut sebagai Neuropati Diabetika.

       Neuropati diabetika(ND) muncul olerh karena adanya lesi kronik pada saraf tepi. Penyebab lesi saraf tepi pada penderita Neuropati diabetika  sangat kompleks. Ada yang mengatakan oleh karena timbulnya degenerasi sel Schwann yang akan menyebabkan terjadinya dimielinasi. Pendapat lain menyebutkan, terjadinya kehilangan akson, degenerasi pada ganglion radiks dorsalis (GRD) dan hilangnya neuron-neuron di kornu anterius medula spinalis. Pada pemeriksaan elektromiografi, banyak ahli menemukan penurunan kecepatan hantar saraf tepi. Ini yang membuktikan adanya dimielinasi.

       Pada penderita neuropati diabetik (ND) dengan keluhan nyeri yang berat (terutama pada kaki) ditemukan kelainan neurologis yang ringan, yang hanya berupa gangguan sensorik bagian distal dari kaki. Akan tetapi, disini refleks tendo masih dalam batas normal. Sedangkan penderita DM tanpa nyeri, sering menunjukkan refleks tendo yang negatif  Apakah hal tersebut sesuai dengan dinamika proses degenerasi dan regenerasi, masih menjadi pertanyaan.  Seperti diketahui fungsi serabut saraf adalah sebagai penghantar impuls. Apabila terjadi gangguan pada fungsi penghantar impuls tersebut, akan mengaktifasi program survival atau terjadi kematian.  Dengan demikian dapat dimengerti bahwa kalau lesi yang diderita cukup berat, maka yang aktif adalah program kematian. Akibatnya yang menonjol adalah gejala negatif dari sistem saraf, seperti gangguan sensorik dengan manifestasi berupa anestesi, analgesi, gangguan motorik berupa kelumpuhan, atau kelainan saraf otonom berupa gangguan ereksi, dan lain sebagainya.     

Mekanisme Nyeri pada Neuropati

       Trauma maupun penyakit, atau keadaan yang menyebabkan lesi serabut saraf, akan mengakibatkan terjadinya remodelling dan hipereksitabilitas dari membran . Bagian paroksismal dari lesi akan tumbuh tunas-tunas baru (sprouting) yang sebagian diantaranya mampu mencapai organ target dan sebagian lagi tidak, hingga berakhir sebagai tonjolan-tonjolan yang dinamakan neuroma. Di daerah neuroma ini berakumulasi "ion channel" (terutama Na + channel). Disamping ion channel, juga terdapat molekul-molekul reseptor dan tranducer. Hal tersebut menjadi penyebab munculnya impuls ectopic,baik yang evoked maupun yang spontan. Di samping Na channel, pada beberapa penderita tampak danya "Alpha -adreno-receptors" yang peka terhadap katekolamin dan noradrenalin yang dilepaskan oleh sistem simpatis. Reseptor ini akan menambah ectopic discharge .

      Akibat timbulnya ectopic discharge, neuron-neuron sensorik di kornu dorsalis dibanjiri dengan impuls dari perifer, sehingga mengakibatkan sensitisasi neuron-neuron tersebut. Selain itu, pada lesi saraf tepi sering menyebabkan matinya neuron-neuron inhibisi yang dapat menimbulkan nyeri spontan. Pada lesi saraf tepi mungkin pula serabut saraf C yang ke kornu dorsalis mati, yang akan memacu terjadinya sprouting pada serabut A beta. Sensitisasi sentral inilah yang menjadi dasar timbulnya hiperalgesia dan allodinia. 
                 
     Disamping kejadian tersebut diatas, ada pula kemungkinan lesi di serabut  saraf afferen  akan menyebabkan munculnya mediator inflamasi, seperti Prostaglandin E2 (PGE2), bradikinin, histamin, serotonin, dan lainnya, yang akan merangsang langsung nosiseptor, sehingga timbul nyeri. Atau dapat pula menyebabkan sensitisasi nosiseptor yang menimbulkan hiperalgesia. Hal inilah yang diperkirakan sebagai faktor yang bertanggungjawab terhadap timbulnya nyeri muskuloskeletal dan nyeri neuropati pada penderita DM.

      Hiperglikemia juga dapat menimbulkan penurunan nilai ambang nyeri pada penderita neuropati diabetik, dan mengurangi efek opioid sebagai analgesik Kejadian ini disebabkan adanya pengaruh glukosa terhadap reseptor opioid . 


FARMAKOTERAPI
1. Attal (1999) menganjurkan obat-obatan sebagai berikut:
   a.  GABAPENTIN
   b.  Amitriptilin
   c.  Imipramin
   d.  Fenitoin
   e.  carbamazepin
   f.   Tramadol
   g.  Capsaicin
   h.  Clinidin
   i.  Mexilletin
   j.  Paroxetin
   k. Clomipramin
   l.  Dextromethorphan

2.  Dalam Penuntun Praktis Penanganan Nyeri Neuropatik (Meliala et al., 2000), farmako terapi yang  dianjurkan:

   m. NSAID : khusus untuk nyeri muskuloskeletal dan neuroartropati
   n.  Antidepressan; amitriptilin, imipramin
   o.  Antikonvulsan: GABAPENTIN, Karbamazepin
   p.  Antiaritmik: mexilletine
   q. Topikal: capsaicin

3.Mekanisme yang menjadi dasar timbulnya gejala ND adalah: 

             a. Akumulasi "Na-channel" yangmenyebabkan timbulnya gejala dari berbagai
                 jenis serabut saraf
             b. Sensitisasi sentral

    Farmakoterapi yang terpenting sebenarnya adalah obat yang mampu memblok Na-channel (membrane stabilizing agent), obat yang bekerja sentral (di medula spinalis) untuk modulasi nyeri. Untuk kedua mekanisme ini, obat yang bermanfaat adalah:
  
a. Antikonvulsan
b. Lignocaine
c. Mexiletine

     Mengenai antikonvulsan, sejak tahun 1966 sampai 1994 telah banyak publikasi mengenai penggunaan antikonvulsan sebagai ajuvan analgetik. Diantara antikonvulsan yang diteliti adalah Carbamazepin dan Fenitoin. Akhir-akhir ini muncul antikonvulsan baru seperti: GABAPENTIN, Lamotrigin, dan lain-lain. Khusus mengenai GABAPENTIN, telah banyak publikasi mengenai obat ini, diantaranya: 

      a. Untuk Nyeri Neuropati Diabetika (Bokanja, 1998)
      b. Nyeri Pasca Herpes (Rowbotham et al., 1998)
      c. Nyeri Neuropati sehubungan dengan infeksi HIV
      d. Nyeri Neuropati sehubungan dengan kanker
      e. Nyeri neuropati deafferentasi
      f. "Reflex Symphathetic Dystrophy"

KESIMPULAN

       Nyeri Neuropatik merupakan salah satu komplikasi dari DM. Timbulnya nyeri pada  penderita DM sampai sekarang diperkirakan penyebabnya adalah:

       a. Munculnya mediator inflamasi
       b. Kelainan struktural saraf sensorik maupun otonom
       c. Sensitisasi sentral


        Farmakoterapi yang diperkirakan efektif untuk inflamasi (adanya mediator inflamasi) adalah NSAID, sedangkan untuk kelainan struktural adalah Antikonvulsan, serta untuk saraf otonom adalah Clonidin. 


Daftar Pustaka

1. Attal, N., Nicholson, B., Serra, J., 2000. New Directions in Neuropathic Pain:   
    Focusing Treatment Symptoms     and Mechanisms. Royal Society of Medicine Press
    Ltd., London.
2. Backonja, M., Beudoun, A., Edwards, K.R., Schwartz, S.L., Fonseca, V., Hes, M.,

    La Moreaux, L., Garopalo,  E. 1998. Gabapentin for The Symptomatic Treatment
    of Painful Neuropathy in Patients with    Diabetes Mellitus. JAMA, 280;
    pp:1831-1836.
3. Bennett, G.J., 1997. Neuropathic Pain: An Overview. In: Borsook, D. (ed),
    Molecular Neurobiology of Pain.     IASP Press, Seattle.
4. Devor, M., & Seltzer, Z., 1999. Pathophysiology of Damaged Nerves in Relation to
    Chronic Pain. In: Wall, P.D.     & Melzack, R. (Eds). Textbook of Pain. 4th
    ed. Churchill Livingstone, pp: 129-164.
5. Dickenson A.H., Chapman, V. 1999. New and Old Anticonvulsant as Analgesic.
    In: Devor, M., Rowbotham, M.     C., & Wiesenfeld-Hallin, Z. (eds). Proceedings of
    the 9th World Congress on Pain. IASP Press. Seattle,  pp: 875-866.
6. McCaffery, M., Pasero, C., 1999. Pain Clinical Manual. 2nd ed. Mosby, St. Louis;
    pp: 300-320.McCormack, K.  1999. Fail-safe Mechanism that Perpatuate
    Neuropathic Pain. Pain: clinical up dates, VII(3).
7. McQuay, H., Carrol, D., Jasdad, A.R., Wiffen, P., Moore, A., 1995. Anticonvulsant
    Drugs for Management of     Pain: A systematic Review. BMJ, 311;  pp: 1047-1052.,
8. Meliala, L., Suryamiharja, A., & Purba, J.S., 2000. Konsensus Nasional Penanganan
    Nyeri Neuropatik.  Kelompok Studi Nyeri, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
    Indonesia (Perdossi).
9. Meliala, L., Suryamiharja, A., Purba, J.S., dan Anggraini, H.  2000. Penuntun
    Praktis Penanganan Nyeri  Neuropatik. Kelompok Studi Nyeri, Perhimpunan
    Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi).


KOMPLIKASI AKUT DIABETES MELITUS

0 komentar
Oleh  : Prof. dr Harsinen Sanusi Sp.PD

        PENDAHULUAN

     Dengan ditemukannya insulin oleh Banting dan Best pada tahun l921 dan dipergunakannya dalam klinik  sebagai pengobatan diabetes maka terbukalah era baru di bidang pengobatan diabetes melitus (DM).  Para penderita DM yang sebelumnya hanya bisa bertahan  sekitar 5 tahun dapat hidup lebih lama sebagaimana layaknya orang non DM.

     Komplikasi akut DM  merupakan problema utama  karena morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi, akan tetapi dengan ditemukannya insulin maka mortalitas menurun secara drastis. Namun angka kematian di Indonesia pada umumnya masih tinggi, hal ini disebabkan oleh karena:

a. Terlambatnya diagnosis ditegakkan karena penderita biasanya dibawa sudah dalam 
    keadaan koma.
b. Sering bersama-sama dengan komplikasi DM lainnya seperti sepsis,infark miokard 
    atau  stroke.
c. Kurangnya sarana laboratorium  yang menunjang suksesnya pengobatan.
d. Kurang keterampilan menangani kasus-kasus karena belum terdapat protokol yang
    baik.

Komplikasi akut DM dapat  berupa :
1. Ketoasidosis  diabetika (KAD)
2. Hiperosmoler non ketotik diabetika
3. Asidosis laktat.
4. Hipoglikemia.

        Pada umumnya ketoasodosis diabetika dan reaksi hipoglikemia lebih  banyak ditemukan di antara komplikasi akut sedangkan hiperosmoler non ketotik dan asidosis laktat kurang ditemukan namun lebih  berbahaya. Oleh karena asidosis laktat dapat disebabkan oleh keadaan lain  maka tidak dibicarakan disini.

KETOASIDOSIS DIABETIKA (KAD)

     Ketoasidosis diabetika (KAD) adalah salah satu komplikasi akut DM akibat kekurangan insulin secara drastis yang menyebabkan gangguan metabolik  sehingga terjadi hiperglikemia, asidosis dan ketosis. Keadaan ini memerlukan tindakan darurat medik dan masih  dapat reversibel. Beberapa faktor yang dapat merupakan pencetus terjadinya KAD antara lain :

1. Kelalaian atau kekeliruan pengobatan  dengan insulin
2. Meningkatnya kebutuhan insulin misalnya akibat :
    -Stress seperti  operasi, trauma  dan serangan jantung mendadak             
    -infeksi misalnya gangren diabetik ,karbunkel, demam tifoid.
3. Menurunnya fungsi sel beta pankreas
4. Antagonis insulin

I.  PATOGENESIS KAD( ketoasidosis diabetik)

      Sebagaimana diutarakan sebelumnya bahwa penyebab utama dari KAD adalah kekurangan  insulin yang menyebabkan mobilisasi energi dari otot dan lemak sehingga terjadi kenaikan  flux asam amino yang menuju ke hati untuk dirubah menjadi glukose dan asam lemak. Asam  lemak dikonversi menjadi keton  berupa aseton, asam aseto asetat dan beta hidroksi butirat .

      Akibat adanya hiperglikemia dan adanya benda-benda keton maka terjadi glukosuria dan ketonuria yang menyebabkan diuresis osmotik  dan selanjutnya dehidrasi dan asidosis. Dengan demikian pada KAD dapat terjadi terjadi gangguan metabolik berupa :
A.  Hiperglikemia
B.  Ketosis
C.  Gangguan keseimbangan air dan elektrolit




A.  Hiperglikemia
     Terjadinya hiperglikemia  disebabkan oleh :
l.   Glukose tidak dapat masuk dalam sel otot dan sel lemak.
2.  Fungsi  enzim glukokinase di dalam hati menurun, sehingga  sekresi glukose dari 

     hati meningkat
3.  Adanya proses glukoneogenesis
4.  Proses glikolisis berkurang
5.  Proses glikogenolisis meningkat

     Hiperglikemi menyebabkan dehidrasi intraseluler karena adanya hiperosmolaritas dan filtrat ginjal banyak mengandung glukose sehingga terjadi  glukosuria yang menimbulkan diuresis osmotik yang akan berakibat kehilangan air dan elektrolit termasuk Na,K.Cl,PO4 dan Mg.


B.  Ketosis    
    Terjadinya ketosis oleh karena :
1.  Lipolisis meningkat dan oksidasi asam lemak meningkat
2.  Lipogenesis berkurang, sintesis  FFA (Free Fatty Acid)   dalam  sel  lemak
     berkurang.

     Akibat banyaknya proses lipolisis maka banyak sekali FFA akan masuk ke hati yang akan dipecahkan menjadi acetyl co enzym A. Acetyl Co enzym A tidak dapat masuk dalam siklus Krebs oleh karena kekurangan insulin mengakibatkan terbentuknya aceto acetyl Co enzym A , asam aseto asetat. Asam aseto asetat kelak akan berubah menjadi aseton dan asam beta hidroksi butirat. Ketiganya disebut sebagai benda-benda keton (keton bodies).  Kedua asam keton ini mempunyai pengaruh pada susunan syaraf pusat dan menyebabkan pH darah menurun.


C. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit.

    Akibat tertimbunnya ion hidrogen maka terjadilah diuresis osmotik sehingga ion-ion Na,K,Cl,PO4, Mg,Ca dan ion lainnya keluar dari tubuh. Tubuh akan mengatasi melalui sistim buffer, hormonal dan ginjal .


2. MANIFESTASI  KLINIS


      Pada umumnya gejala-gejala KAD didahului gejala awal berupa polidipsi , poliuria dan polifagi disusul oleh nafsu makan yang kurang, mual dan muntah-muntah. Muntah-muntah disusul oleh gejala lemah badan, mengantuk, stupor dan terjadi koma. Kadang-kadang sebelum koma penderita mengeluh nyeri dada dan nyeri perut  yang semuanya ini disebabkan oleh asidosis. Kadang-kadang keadaan ini dikacaukan dengan appendicitis akut  atau kolik ureter .


      Pada pemeriksaan fisis ditemukan tanda-tanda dehidrasi  berupa tekanan darah turun, nadi melemah, temperatur menurun atau normal, pupil midriasis, isokor, tekanan bola mata lunak,pernapasan cepat dan dalam disebut sebagai pernapasan Kusmaull, napas berbau aseton, kulit kering,tonus otot menurun  dan refleks fisiologis menurun. Pada keadaan ini kesadaran penderita menurun sampai koma .

3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

    Pemeriksaan darah  :
a. Pemeriksaan gula darah meningkat antara 300-600 mg%, dapat meningkat sampai
    l000 mg%
b. Ketonemi dengan ditemukannya benda-benda keton dalam darah
    (normal l0-15 mg%)
c. Pemeriksaan pH darah menurun (normal 6,9-7,3)
d. CO2 darah menurun l0-l5 mEq/liter.
e. Kadar elektrolit darah: ion Na,Ca,Cl menurun atau normal. Kadar K,Mg,PO4 normal
   atau meningkat.

Pemeriksaan urine :
    - Reduksi urine positif kuat
    - Benda-benda keton positif

4. PENGOBATAN

Pengobatan ketoasidosis diabetik (KAD) dibagi 2 tahap :
Tahap I :
                l. Pemberian cairan
               2. Pemberian insulin
               3. Pemberian elektrolit: bikarbonat dan kalium
               4. Pemberian antibiotik
Tahap II :
              Pemberian cairan untuk mempertahankan keseimbangan cairan dengan pemberian NaCl  0,9% dan  Martos l0 atau Dextrose 5 % .

A.   Pemberian cairan
      Tujuan pemberian cairan adalah:
           - mengatasi gangguan cairan dan elektrolit
           - mengatasi asidosis

      Cairan yang diberikan adalah Na Cl 0,9% sebanyak 2 liter dalam waktu 2-3 jam pertama. Bila keadaan dehidrasi tetap ada maka infus NaCl0,9% dilanjutkan  dengan 3 liter dalam 6 jam.. Selama pemberian cairan monitor dehidrasi dengan CVP catheter dan tekanan darah. Bila tidak memungkinkan CVP catheter maka monitor dehidrasi dengan produksi urine. Bila glukose darah kurang 250 mg% maka infus NaCl 0,9% dapat diganti dengan Martos l0  atau dextrose 5%.

B.  Pemberian insulin.
     Pemberian insulin pada KAD dipakai dosis kecil dan diberikan secara drips atau intravena secara kontinu (continuous intravenous insulin drips).
Caranya:
l.  Bila kadar glukose darah lebih 300 mg% berikan Actrapid 6 unit perjam.
2. Bila kadar glukose darah 200-300 mg%  berikan Actrapid 3 unit perjam
3. Bila kadar glukose darah kurang 200 mg% berikan Actrapid  l,5 unit perjam.

    Untuk mendapatkan takaran insulin 6 unit perjam  dapat dilakukan dengan pompa automatic dari Braun dengan memasukkan Actrapid  20 unit kedalam semprit 20 ml yang berisi NaCl 0,9%. Pompa diatur dengan kecepatan 6 ml perjam maka diperoleh takaran insulin atau actrapid sebanyak 6 unit perjam. Untuk memperoleh takaran insulin 3 unit perjam maka pompa diatur dengan kecepatan 3 ml perjam.

    Bila tidak ada pompa automatik maka dapat dipakai pediatric giving set l00 ml diisi dengan l00 ml NaCl 0,9% dengan 24 unit Actrapid. Dengan kecepatan 25 ml / jam yaitu kira-kira 38 mikrodrips permenit memberikan 6 unit Actrapid perjam.

    Bila cara tersebut diatas tidak memungkinkan maka dapat dilakukan pemberian insulin secara intravena tiap jam sesuai kadar glukose darah. dan Bila kadar glukose darah sudah mencapai atau kurang dari 250 mg % maka cara pemberian insulin infus atau drips atau intravena dapat diganti dengan cara pemberian subkutan  tiap 6-8 jam atau secara intra muskuler tiap 2-4 jam.

C. Pemberian antibiotik
   Antibiotik diberikan untuk menghilangkan infeksi atau mencegah meluasnya infeksi. Mulai dengan antibiotik yang mempunyai spektrum luas dan dosis yang adekuat  sambil menunggu hasil kultur  dan sensitivitas mikroba


D. Pemberian kalium
   Pemberian kalium pada KAD perlu karena sering menyebabkan hipokalemia. Bila penderita sudah sadar maka diberikan KCL peroral dosis 500 mg perhari dan pada penderita yang masih  koma dan jelas ada hipokalemia maka diberikan KCl  intra vena  4-6 gram.


E. Pemberian bikarbonat
    Bikarbonat dapat diberikan  bila ada indikasi yaitu apabila pH darah kurang 7,1 atau kadar bikarbonat darah lebih kecil 5 mEq/L atau ditemukan tanda-tanda aritmia jantung atau hipotensi. Pemberian bikarbonat harus berhati-hati dan tidak perlu tergesa-gesa karena dapat fatal.  Diberikan Meylon 1 ampul  ( mengandung 44 mEq perliter bikarbonat) dalam larutan NaCl  0,45 %.

5. PROGNOSIS
   Prognosis KAD  tergantung pada :
l.  Ada tidaknya komplikasi  seperti infark miokard akut , pankreatitis  hemorargis,
    nekrosis  tubuler akut .Jika terdapat komplikasi maka prognosisnya jelek.
2. Derajat asidemia.
3. Lama dan derajat koma ketoasidosis.


HIPEROSMOLER NON KETOTIK DIABETIKA.


        Komplikasi ini baru dikenal pada tahun l957 dengan ditemukannya tanda-tanda hiperglikemia berat, hiperosmoler, dehidrasi , hipernatremia dan penurunan kesadaran tanpa adanya ketosis.  Berbeda dengan KAD beratnya koma pada penderita sukar diketahui karena tidak ditemukannya pernapasan kusmaull dan tidak adanya napas yang berbau aseton. Umumnya ditemukan penderita usia lanjut yang tidak diketahui sebelumnya mengidap DM. Sebenarnya insulin dalam darah masih cukup  mencegah lipolisis dan ketogenesis akan tetapi tidak cukup mencegah terjadinya hiperglikemia .

       Faktor pencetus timbulnya hiperosmoler non ketotik diabetik hampir sama dengan KAD seperti stress, infeksi, stroke, luka bakar dan perdarahan. Beberapa obat seperti thiazide, furosemide, chlorpromazine, diphenil hidantoin,  diazokside, kortikosteroid, propranolol dan mannitol dapat pula merupakan pencetus adanya hiperosmoler non ketotik diabetik . Beberapa tindakan pengobatan seperti hemodialisis, dialisis peritoneal dapat
menimbulkan hiperosmoler non ketotik . Demikian pula penyakit khronik seperti penyakit ginjal, hipertensi, stroke lama dan penyakit jiwa dapat merupakan faktor pencetus.

      Gejala klinik yang paling menonjol adalah dehidrasi berat dan hilangnya kesadaran yang biasanya didahului oleh poliuri,polidipsi dan kejang-kejang. Tidak ditemukan pernapasan kussmaul atau napas yang berbau aseton (aseton ).Kadar glukose darah lebih 600 mg% kadang-kadang 1000-2000 mg%,osmolalitas plasma meningkat lebih 300m OsM (hiperosmolaritas).

      Pengobatan hiperosmoler nonketotik pada dasarnya sama dengan KAD
kecuali dalam hal pemberian cairan  dan elektrolit.  Cairan yang  diberikan  adalah
cairan hipotonis NaCl 0,45 %.

Pengobatan meliputi:
1.  Atasi faktor pencetus
2.  Atasi dehidrasi dengan pemberian cairan adequat
3.  Atasi hiperglikemia dengan pemberian insulin
4.  Atasi gangguan keseimbangan eletrolit dengan pemberian kalium.
     Pemberian insulin atau actrapid sama saja dengan KAD. Demikian pula pemberian antibiotik. Prognosis umumnya lebih jelek dibanding KAD yaitu mortalitas l0 kali
lebih besar dibanding KAD yaitu berkisar 40-70 % .


HIPOGLIKEMIA

      Reaksi hipoglikemia pada DM ditemukan biasanya pada penderita yang mendapat pengobatan insulin atau tablet sulfonilurea. Pengalaman menunjukkan lebih sering ditemukan pada penderita yang mendapat insulin. Terjadinya keadaan ini akibat pemberian dosis obat melebihi semestinya. Sering terjadi pada malam hari dan saat sebelum makan di siang hari. Hal ini disebakan oleh karena penderita terlambat makan  dan aktifitas fisik yang berlebihan .

     Beberapa keadaan yang dapat mempermudah pasien DM masuk dalam kondisi  hipoglikemia antara lain pasien selain mendapat insulin juga  mendapat obat-obat yang memperlama kerja insulin seperti propranolol, oxitetrasiklin,ethylene diamino tetra acetic acid (EDTA). Obat-obatan seperti fenilbutasone, sulfasoxazol, dikoumarin, sulfadimidin,sulfa fenazol dapat menambah aktifitas biologik sulfonilurea. Demikian pula pasien DM dengan gagal ginjal,  DM usia lanjut, dan penyakit hati .

      Pada umumnya hipoglikemi terjadi bila kadar glukose darah < 50 mg% dan cepat membaik dengan meningkatkan kadar glukose darah. Didahului gejala prodromal seperti berkeringat,palpitasi,rasa lapar, penglihatan kabur dan biasanya berlangsung singkat dan diingat pasien sebelum terjadinya gangguan kesadaran .


      Manifestasi klinis hipoglikemia pada DM bervariasi tergantung pada rendahnya kadar glukose darah dan penyebabnya. Ada tidaknya gejala hipoglikemia tergantung dari cepatnya penurunan kadar glukosa darah, jenis kelamin, individu dan umur penderita . Walaupun tidak ditemukan korelasi antara kadar glukose darah dan manifestasi klinik hipoglikemia akan tetapi dapat diambil pegangan  yaitu bila kadar glukose darah dibawah 70 mg % dapat terjadi gejala yang diakibatkan karena respons parasimpatis. Bila kadar glukose darah kurang 50 mg % dapat terjadi respons serebral seperti gejala otonomik  berupa konsentrasi kurang, bicara kurang terang, diplopi, bingung-bingung, gangguan mental dan pada stadium lanjut dapat terjadi delier, kejang-kejang(sering pada anak-anak) dan hemiplegi pada usia lanjut .

     Bila kadar glukose darah <35 mg % maka ditemukan gejala hipoglikemia berat berupa kesadaran komateus,  Sequelae akibat hipoglikemia jarang , kecuali pada pasien koma hipoglikemia lebih 2 jam dan jarang terjadi kematian kecuali adanya komplikasi aspirasi lendir. Gangguan otak organik dan dementia sering ditemukan pada koma yang lama
.
Pengobatan hipoglikemia

      Bila penderita masih sadar maka berikan gula 10-20 gram atau karbohidrat kompleks seperti pisang, roti dan ditingkatkan bila tidak berhasil. Pada pasien tidak sadar , pemberian oral tidak dianjurkan lagi, segera berikan Dekstrose 40 % sebanyak 20-50 ml dan ulangi lagi setengah jam kemudian bila pasien tetap tidak sadar sampai penderita bangun. Sebaiknya kadar glukosa darah dipertahankan diatas 100 mg% dan apabila pasien sudah sadar diberikan makanan yang mengandung karbohidrat 300 gram perhari .

      Pada keadaan tertentu dimana pasien masih tetap tidak sadar dan kadar glukose darah masih rendah maka dapat diberikan hidrokortison atau 1 mg glukagon. Bila pasien masih tidak sadar maka perlu difikirkan kemungkinan adanya edema otak .

RINGKASAN
       Komplikasi akut diabetes melitus akhir-akhir ini sudah menurun secara drastis dengan ditemukannya insulin. Komplikasi akut akibat hiperglikemia seperti ketoasidosis diabetik dan hiperosmoler non ketotik  disebabkan kekurangan insulin dan disebabkan oleh berbagai faktor pencetus. Pada dasarnya ketoasidosis diabetik  ditandai dengan adanya hiperglikemia, ketosis dan gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Hiperosmoler non ketotik  umumnya ditemukan pada DM usia lanjut yang sebelumnya tidak diketahui mengidap DM. Gejala klinis yang diperlihatkan oleh ketoasidosis diabetik maupun hiperosmoler non ketotik  diabetik biasanya didahului gejala pendahuluan seperti polidipsi, poliuri, sakit perut, muntah disusul dengan gangguan kesadaran . Pada ketoasidosis diabetik ditemukan pernapasan kussmaul dan napas berbau aseton sedang pada hiperosmoler non ketotik tidak ditemukan pernapasan kussmaul maupun napas yang berbau aseton.   Walaupun asidosis laktat juga ditemukan pernapasan kussmaul namun tidak ditemukan bau aseton dan gejala dehidrasi sangat menonjol pada semua keadaan ini .

     Pengobatan  komplikasi akut diabetes umumnya sama yaitu pemberian cairan adekuat, atasi hiperglikemia dengan insulin, antibiotik untuk mengatasi  faktor pencetusnya dan pemberian elektrolit. Prognosis  ketoasidosis diabetik, hiperosmoler non ketotik maupun asidosis laktat di Indonesia  masih kurang baik karena keterlambatan pengobatan, fasilitas yang kurang memadai dan sering sudah kombinasi dengan penyakit lainnya.

     Reaksi hipoglikemia pada DM biasanya akibat pemberian obbat hipoglikemik yang tidak semestinya. Manifestasi klinis mulai ringan sampai berat (koma), didahului oleh gejala prodromal. Pada umumnya tidak menyebabkan kematian. Pengobatan dengan pemberian gula sedini mungkin cepat memperbaiki hipoglikemia dan bagi penderita yang tidak sadar cukup dengan pemberian dextrose 40 % intravena.

DAFTAR RUJUKAN
1. Amiel ,SA., Gale EAM.: Diagnostic tests in diabetes mellitus & Hypoglicaemia
    in Diagnostic tests in  Endocrinology & Diabetes  Edited by Bouloux,PMG & Rees,
    LH . 1st Ed. Chapman & Hall London p. 187-210,l994.


2. Askandar Tj. : Petunjuk Praktis Terapi Ketoasidosis Diabetik. Naskah Lengkap
    Simposium Nasional  perkembangan mutakhir endokrinologi metabolisme
    1991; 261-285


3. Axelrod, L .: Diabetic Ketoacidosis (Article) The Endocrinologist : 2: p.375 - 383,
    1992.


4. Axelrod, L. : Levistky, LL , Hypoglicemia and Islet cell tumors in Joslin 's Diabetes
    Mellitus edited by :     Kahn,CR.,Weir,GC 13 th ed. Int .Ed.Lea & Febiger
    Philadelphia.1994,p.976-999.


5. Boedi santoso Ranakusuma: Pengobatan    Praktis Ketoasidosis diabetika.
    Endokrinolog Praktis.  Editor  Adam, JMF. Ujung Pandang,l991:1991,p.1-5.


6. Cryer ,PE.: Hyperglycaemia and Hypo glicaemia. Diagnostic Endocrinology. Oxford
    University Press.  London, Toronto,1976:p.167-193.


7. Dankmeijer,HF. :  Diabetes Mellitus.  A Guide General Practitioner   Boehringer
    Ingelheim Int.:l983,  p.113-132.


8. Karam,JH, Salber,PR., Forsham,PH.: Pancreratic Hormones and Diabetes Mellitus
    edit. by   Greenspan,FS.in Basic & Clinical Endocrinology 3 ed. a Lange
    Medical Book California: 1991, p.632-641.

Copyright © Dokter Network Angk 97