Aspek epidemiologi osteoporosis

Oleh  : Edu S.Tehupeiory
            Faridin


Sub-Bagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.


I. Pendahuluan

       Osteoporosis (OP) menjadi salah satu penyakit rematik yang memerlukan perhatian dan penatalaksanaan secara khusus. Dengan bertambahnya populasi lanjut usia (lansia) khususnya wanita sesudah menopause, membuat para ilmuan khususnya para dokter mrningkatkan perhatiannya pada osteoporosis.

      Osteopororis adalah suatu batasan generik yang ditujukan pada suatu keadaan penurunan massa tulang per-satuan volume dan kadar mineral yang normal pada tulang. Singkatnya osteoporosis (OP) didefinisikan sebagai : suatu keadaan dimana terdapat penurunan massa tulang disertai dengan kerusakan arsitekturnya yang mengakibatkan menurunnya kekuatan tulang, sehingga lebih rentan untuk terjadi patah tulang atau fraktur.

     Terdapat dua bentuk osteoporosis yaitu osteoporosis karena menopause dan OP karena ketuaan (sinilis). Pada wanita kedua bentuk ini sukar dibedakan.  Dengan bertambahnya umur harapan hidup di Indonesia, secara teoritis kasus osteoporosis  akan banyak ditemukan, yang pada gilirannya memerlukan pengenalan ataupun diagnosis dini, karena OP tidak mudah diobati namun dapat dicegah.


II. Umur, gender dan prevalensi

  Insiden patah tulang pada penderita osteoporosis berbanding lurus dengan usia, walaupun terdapat perbedaan pola antara pria dan wanita,   Fraktur lebih banyak pada wanita, yaitu 2-4 kali dari pada pria.

  Pengurangan substansi tulang karena umur (age- related bone loss) dapat bersifat fisiologis. Pengurangan fisiologis massa tulang ini disebut osteopenia. Apabila pengurangan massa tulang mencapai nilai ambang fraktur (dapat timbulkan fraktur) maka hal ini disebut osteoporosis.

   Telah terbukti bahwa kehilangan tulang pada post-menopause tidak selalu menimbulkan gejala, dan karena itu OP disebut "Silent epidemic". Sesudah beberapa tahun kehilangan substansi tulang yang bersifat "silent" akan berkelanjutan untuk mencapai suatu nilai ambang tertentu (fracture threshold) dimana akan terjadi patah tulang.

   Patah tulang pada penderita osteoporosis dapat terjadi pada semua jenis tulang, namun lokasi yang paling sering terjadi patah tulang adalah pada : tulang vertebrae, distal radius dan femur bagian proksimal.

  Resiko untuk terjadi patah tulang pangkal paha adalah 15% untuk wanita dan sebanyak 5% untuk pria. Sebanya 20% kematian karena patah tulang paha dan separuh dari yang hidup tidak dapat berjalan normal dan satu dari tiga penderita ini perlu perawatan khusus seumur hidup. Setiap tahun di Amerika serikat  diperlukan 10 milyar dollar untuk penanganan osteoporosis. Menyadari akan hal ini nampaknya upaya langkah preventif lebih bermanfaat.

III. Keadaan di Indonesia

    penelitian tentang osteoporosis di Indonesia relatif masih sedikit. Dalam milenium yang baru akan timbul berbagai aspek menyangkut penyakit tulang dan sendi yang memerlukan "sharing of knowledge and experience" untuk menanggulanginya.

    Memasuki abad yang baru ini di Indonesia telah dilakukan beberapa penelitian. Darmawan  melalukan survai di Bandungan dekat Semarang dari tahun 1982 sampai 1986. Hasil penelitian osteoporosis merupakan penelitian tambahan dari satu penelitian tentang penyakit rematik pada 4683 orang yang berusia 15 tahun keatas. Diagnosis osteoporosis berdasarkan pada x-ray tangan dan kaki. Penilaian/ diagnosis osteoporosis dengan melihat ketebalan dari korteks (cortical thickeness) tulang metakarpal dan metatarsal. Derajat penilaian didasarkan pada derajat 0 sampai 4. Derajat 0 berarti tidak ada kelainan, derajat satu kelainan yang meragukan dan derajat 2 sampai 4 melihat korteks.


    Hasil penelitian ini kemudian dibandingkan dengan hasil penelitian yang lebih luas di Zoetermeer Belanda (EPOZ) yang menggunakan cara penilaian yang sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa osteoporosis (OP) jauh lebih banyak di Indonesia dibandingkan dengan Zoetermeer. Osteoporosis sudah terjadi pada wanita muda terutama pada wanita dalam masa "child bearing age". Pada masa ini osteoporosis grade-2 atau lebih dari tangan adalah sebanyak 14,7%, dibandingkan dengan 0,8% pada wanita Belanda. Grade - 2 atau lebih dari kaki adalah 4,9% wanita Indonesia dengan umur 15-44 tahun, sedangkan hanya 0,4% pada wanita Belanda (Zoetermeer).

     Osteoporosis didapat 12-18 kali lebih sering pada wanita Indonesia pre-menopause dibandingkan dengan wanita Belanda. Sedangkan wanita post-menopause hanya 1,5 kali lebih besar. Untuk pria Indonesia didapatkan 3-4 kali OP pada kaki dan tangan dibandingkan dengan pria Belanda untuk umur kurang dari 45 tahun. Hasil-hasil ini menunjukkan kemungkinan pada wanita usia subur di Indonesia terdapat faktor tambahan yang menginduksi terjadinya osteoporosis. Kemungkinan faktor-faktor tersebut adalah :

1. Kurangnya asupan kalsium dalam makanan
2. Pengeluaran kalsium yang berlebihan karena masa menyusui anak 
   yang terlalu lama.
3. Jumlah paritas terlalu banyak.

  Penelitian lain oleh Maryuadi, dkk  yang meneliti BMD dan MC tulang orang Indonesia "pribumi" dan "non-pribumi". Dari hasil penelitian ini dismpulkan bahwa BMD lebih besar pada pria dari pada wanita. Hasilnya adalah bahwa : MC korteks lebih tebal dibandingkan dengan populasi lain. Hasil terkahir ini dapat dilihat pada  tabel perbandingan.


















   Penelitian lainnya yang dilakukan Roeshadi D, didapatkan hasil sebagai terlihat pada tabel Tabel hasil penelitian BMD dan BMC.















   Hasil ini menunjukkan bahwa "average bone loss" dari BMC lebih besar dari BMD pada pre-menopause, tetapi pada wanita post-menopause kehilangan BMD lebih besar dari pada BMC.

   Faktor resiko terjadi osteoporosis diteliti oleh Isbagyo H  dkk . Hasil penelitian tersebut adalah : faktor resiko : (1) umur, (2) lamanya menopause, (3) rendah kadar E-2. Sedangkan faktor resiko protektif adalah : (1) Kadar E-2 tinggi, (2) dan Obesity sebelumnya.


IV.Problem Osteoporosis

   Problem utama dalam penatalaksanaan osteoporosis adalah proses diagnosis. Sarana diagnosis umumnya terdapat di kota-kota besar seperti Jakarta, Seamarang dan Surabaya. Kebanyakan Densitometer terdapat di Jakarta. Alat ini sebanyak 7 buah terdapat di Jakarta dan satu buah di Surabaya. Sarana diagnosis biokimiawi juga memerlukan biaya cukup tinggi. Akibat kesulitan ini banyak OP tidak dapat didiagnosis secara dini. Hal ini akan mengakibatkan meningginya kasus patah tulang. Untuk memastikan hal-hal tersebut sudah tentu diperlukan penelitian osteoporosis yang lebih banyak dan terencana.

V. Penelitian dalam OP

1. Penelitian sebaiknya dilakukan secara terpadu dan melibatkan 

   beberapa disiplin ilmu.
2. Menyusun kriteria diagnosis yang lebih sederhana tanpa 

   diperlukan alat/ saran yang mahal.
3. Pengenalan OP secara dini diperlukan mengingat pencegahan 

   dapat dilakukan sedangkan pengobatan sukar apalagi
   bila sudah terjadi patah tulang.


VI Kesimpulan

  Osteoporosis merupakan salah satu penyakit rematik yang ditandai dengan penurunan massa tulang disertai dengan kerusakan arsitekturnya yang mengakibatkan menurunnya kekuatan tulang. penyakit  Osteoporosis (OP)memerlukan perhatian dan penatalaksanaan secara khusus mengingat bahwa semakin tinggi populasi penduduk disuatu negara maka angka kejadian akibat dari osteoporosis semakin meningkat, khususnya pada wanita.Patah tulang akibat osteoporosis dapat terjadi pada semua jenis tulang, namun lokasi yang paling sering terjadi patah tulang adalah pada  tulang vertebrae, distal radius dan femur bagian proksimal.

   Osteoporosis dapat di induksi oleh beberapa faktor 2 diantarnya adalah Kurangnya asupan kalsium dalam makanan serta , Pengeluaran kalsium yang berlebihan karena masa menyusui anak yang terlalu lama.Problem utama dalam penatalaksanaan OP adalah  Sarana diagnosis yang tidak memadai dan pada umumnya hanya terdapat di kota-kota besar serta Sarana diagnosis biokimiawi yang  memerlukan biaya cukup tinggi. Tindakan yang paling baik dalam menanggulangi masalah osteoporosis ini adalah dengan upaya prefentif, mencegah terjadinya patah tulang di usia lanjut dengan  pengenalan ataupun diagnosis dini dengan bantuan sarana  penunjang diagnosis yang baik  dan  mengatasi faktor induksinya.

   Dengan demikian angka kejadian fraktur oleh sebab osteoporosis dapat diturunkan serta dengan secara langsung telah menurunkan angka mortalitas pada kondisi ini. 


VI. Daftar Pustaka

1. Meng ZH : The determination of bone mineral density in normal 
   and the patients with gout arthritis in China. Rev  Esp 
   Rheumatol 20 suppl I 80, 1993.
2. Melton LJ : Epidemiologi and outcomes of osteoporosis. Rev 
   Esp Rheumatol 20 suppl I 75, 1993.
3. Stevenson JC, Marsh MS : An atlas of osteoporosis. The 
   Parthenon Publ Group New Jersey 1992 : 13-37.
4. Le Quintrec JS : Types of bone loss in clinical practice 
   (Except post-menopausal osteoporosis). Rev Esp Rheumatol 20
   suppl I 80, 1993.
5. Dequeker J, Geusens P : The past, the present and the future 
   of the anabolic steroid nondrolone decanoate treatment for
   osteoporosis. Osteoporosis 1990 Edit by Claus Christiansen
   osteoporosis Rodovre, Demont 1990 : 7 -    11.
6. Dequeker J, Lenaerts J, Geusens P, Bouillon R : Growth hormone
   profile in osteoarthritis and osteoporosis. Rev Esp Rheumatol
   20 suppl I 94, 1993.
7. Tilyard MW, Spears GFS, Thomson J, et al : Treatment of 
   postmenopause osteoporosis with calcitriol or calcium. N 
   Engl J Med 326 : 357-362, 1992.
8. Melton LJ : Epidemiology and outcomes of osteoporosis. Rev 
   Esp  Rheumatol 20 suppl I, 32, 1993.
9. Chesnut CH : Osteoporosis and its treatment. N Engl J Med
   328 : 406-407, 1992
10.Christianson C, Riis BJ : Post-menopausal osteoporosis. 
   A handbook for the medical profession. Handelstrijkhreit 
   Aps Aalborg, Denmark 1990 : 12-16.
11.Darmawan J : Rheumatic condition in the Northern Part of
   Central Java. En epidemiological survey. Proefschrift 
   1988, 173-178.
12.Laugton GM : New development in the ultrasonic measurement 
   of bone. Rev Esp Rheumatol 20 suppl I, 77, 1993.
13.Remagen W : Osteoporosis Sandoz Bulletin Basle 1986.
14.Riggs BL : Prevention and treatment of osteoporosis. Abstracts
   of the XIIth European Congress of Rheumatology, Budapest 1991,
   256.
15.Chesnut CH : Osteoporosis, prevention/ pharmaceutical therapy.
   Abstracts of the XIIth European Congress of 
   Rheumatology, Budapest 1991, 257.


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Dokter Network Angk 97