Sindroma metabolik di klinik, hasil penelitian di Makassar


Oleh  : Prof. dr John MF Adam SpPD - KEMD
           Kepala Sub-Bagian  Endokin-Metabolik Bagian Penyakit Dalam Fakultas   
           Kedokteran Universitas Hasanuddin
           Kepala Pusat Diabetes dan Lipid Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo
           Direktur Bidang Medik Rumah Sakit Akademis Jaury Jusuf Putera
           Konsultan Endokrin dan Metabolik Rumah Sakit Stella Maris


Dan   : dr Herman Adriansjah, SpPD
            dr Fabiola  MS Adam 




PENDAHULUAN

    Prevalensi sindroma metabolik meningkat dengan semakin meningkatnya populasi penderita obesitas, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan prevalensi diabetes melitus. Sebagai contoh, suatu survei populasi oleh Ford dkk di Amerika Serikat menemukan prevalensi diabetes melitus pada orang dewasa sebesar 6,0%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan prevalensi sindroma metabolik yang mencapai 22,0% dengan menggunakan kriteria National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel (ATP) III. Pada suatu penelitian populasi di Singapura, dengan menggunakan kriteria NCEP ATP III dimana batasan ukuran lingkar pinggang disesuaikan untuk orang Asia. Tan dkk  melaporkan prevalensi sindroma metabolik sebesar 17,9% . Dalam jumlah populasi yang lebih kecil, Suastika dkk meneliti 501 subyek di daerah pedesaan di Bali menemukan angka yang tidak berbeda yaitu 17,2%. Hasil penelitian ini menggambarkan prevalensi di Asia yang cukup tinggi.

   Sebagai suatu kumpulan faktor risiko penyakit jantung koroner baik lipid maupun non-lipid, sindroma metabolik berisiko lebih tinggi untuk mendapat penyakit kardiovaskuler dibandingkan dengan mereka yang hanya memiliki satu faktor risiko klasik saja seperti hipertensi, merokok, dan dislipidemi. Oleh karena itu sangat penting untuk mendeteksi secara dini mereka dengan sindroma metabolik, sama pentingnya dengan mendeteksi dini diabetes melitus. Skrining populasi memang penting untuk mengetahui seberapa besar prevalensi sindroma metabolik di masyarakat, tetapi untuk mendeteksi penderita sindroma metabolik lebih banyak, skrining di klinik akan sangat bermanfaat. Skrining di populasi bertujuan mencari orang sakit (sindroma metabolik) diantara orang sehat, sebaliknya skrining di klinik sama halnya dengan mencari orang sakit diantara orang yang merasakan dirinya sakit.

   Melihat kriteria sindroma metabolik yang diajukan oleh National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel (ATP) III, hampir semua komponen sindroma metabolik merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan di klinik. Satu-satunya pemeriksaan yang tidak rutin tetapi sangat penting adalah mengukur lingkar pinggang. Sejak tahun 2002 di klinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Akademis Jaury Jusuf Putra termasuk mereka yang datang untuk pemeriksaan kesehatan rutin dan di klinik pribadi, pengukuran lingkar pinggang telah dilakukan sebagai pemeriksaan rutin. Artikel ini melaporkan hasil skrining sindroma metabolik pada pengunjung klinik pribadi maupun klinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Akademis Jaury Jusuf Putra Makassar, Indonesia.

PENDERITA DAN CARA KERJA

    Subyek yang diteliti adalah pengunjung Poliklinik Penyakit Dalam / Klinik Diabetes, Obesitas, dan Lipid Rumah Sakit Akademis Jaury Jusuf Putra dan klinik pribadi di Makassar yang datang untuk pemeriksaan kesehatan rutin selama periode Oktober 2002 sampai dengan Desember 2004. Dikeluarkan dari penelitian adalah mereka yang sebelumnya sudah diketahui menderita diabetes melitus, sedang mengikuti program penurunan berat badan atau sedang mendapat obat penurun lipid, mereka dengan asites. Pada semua subyek dilakukan anamnesis dan pemeriksaan  fisis lengkap termasuk pemeriksaan lingkar pinggang, tinggi dan berat badan untuk mengukur indeks massa tubuh (IMT) dan tekanan darah. Semua subyek diambil contoh darah plasma untuk pemeriksaan profil lipid serum lengkap setelah berpuasa selama 12 jam sebelumnya. Selain itu dilakukan juga tes toleransi gluoksa oral dengan beban glukosa 75 gram. Lingkar pinggang diukur dengan posisi subyek berdiri tegak tanpa alas kaki dengan jarak kedua kaki 25-30 cm. Pengukuran dilakukan melingkar secara horizontal dari titik tengah antara puncak krista iliaka dan tepi bawah kosta terakhir pada garis aksilaris medium. Hasil pengukuran dinyatakan dalam sentimeter dan dibulatkan sampai 0,1 cm terdekat. Lingkar pinggang dinyatakan abnormal bila > 90 cm  pada pria dan > 80 cm pada wanita. Pemeriksaan trigliserid dilakukan dengan Dimension (Dade Behring Inc.) metode enzimatis kolorimetrik sedangkan pemeriksaan kolesterol-HDL dengan Cholestest N HDL (Daiichi Pure Chemicals Co., Ltd) metode enzimatis. Tes toleransi glukosa oral dengan beban 75 gram glukosa dilakukan menurut protokol WHO dan pemeriksaan kadar glukosa darah secara enzimatik oksidase GOD-PAP.

   Kriteria sindroma metabolik yang digunakan adalah modifikasi NCEP ATP III yaitu bila ditemukan sedikitnya tiga kelainan berikut: obesitas sentral yaitu lingkar pinggang > 90 cm pada pria, dan > 80 cm pada wanita, hipertensi yaitu tekanan darah > 130/ > 85 mmHg, kadar trigliserid > 150 mg/dl, kolesterol-HDL < 40 mg/dl, dan intoleransi glukosa yaitu kadar glukosa plasma puasa > 110 mg/dl. Batasan dislipidemi pada penelitian ini digunakan batasan dari NCEP ATP III yaitu untuk  kolesterol–LDL > 160 mg/dl, kolesterol - HDL < 40 mg/dl, sedang untuk trigliserid > 200 mg/dl. Analisis statistik menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) for Windows 12.0 (SPSS Inc., Illinois, Chicago) dengan batasan kemaknaan statistik p < 0,05.  
 
HASIL  PENELITIAN

   Selama 27 bulan telah diperiksa sebanyak 1219 orang, 608 pria dan 611 wanita dengan batasan umur antara 21 sampai 82 tahun, dan umur rerata pada pria 47,46 + 12.13 tahun, dan wanita 46,45 + 11.03 tahun. Sebanyak 407 orang atau 33,4% memenuhi kriteria sindroma metabolik yang digunakan, wanita lebih banyak dibandingkan pria yaitu masing-masing  47,1% dan 19,6% (tabel 1) 


         Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara jumlah penderita dengan sindroma metabolik pada masing-masing kelompok umur, kecuali pada pria dimana pada kelompok umur 46 – 55 tahun menduduki tempat teratas yaitu 33,6% .













       Dari komponen faktor risiko pada semua subyek, secara keseluruhan obesitas sentral merupakan komponen yang menduduki prosentasi paling tinggi yaitu sebanyak 58,2%, kemudian disusul dengan kolesterol-HDL rendah yaitu 50,8%, kadar trigliserid tinggi sebesar 37,7% , hipertensi 34,0%, dan  glukosa plasma puasa > 110 mg/dl yang paling rendah yaitu hanya 12,4%. Ada perbedaan urutan masing-masing komponen sindroma metabolik antara pria dan wanita. Pada wanita kadar kolesterol-HDL rendah merupakan urutan teratas yaitu 74,5%, sedang pada pria tempat teratas adalah obesitas sentral yaitu 47,0%. Untuk obesitas sentral wanita lebih banyak dibandingkan pria yaitu masing-masing 69,2% dan pria hanya 47,0% (tabel 3)










        Dari sebanyak 1219 subyek yang diperiksa, terdapat 148 subyek atau 12,1% tanpa adanya komponen sindroma metabolik. Tanpa komponen sindroma metabolik tampak lebih banyak pada pria dari pada wanita, yaitu masing-masing 19,9% dan 4,4%. Demikian juga dengan yang hanya satu komponen sindroma metabolik. Untuk dua komponen sindroma metabolik, baik pria maupun wanita tidak berbeda yaitu pada pria 27,5% sedang wanita 29,1%. Tetapi untuk mereka dengan tiga atau empat komponen sindroma metabolik jauh lebih banyak pada wanita dibandingkan dengan pria. Untuk lima kelompok sindroma metabolik sangat sedikit dan sama pada wanita maupun pria (tabel 4).












        Pada penelitian ini dislipidemi yang mencolok adalah kadar kolesterol-LDL tinggi dan kolesterol-HDL rendah yaitu masing-masing 66,1% dan 60,7%, sedang trilgiserid tinggi hanya 37,6%.  Pada pria lebih banyak kadar kolesterol - HDL rendah dibandingkan pada wanita yaitu masing-masing 65,5% dan 58,7%. Sebaliknya kadar trigliserid tinggi lebih banyak wanita dari pada pria yaitu 38,2% dan 36,1% (tabel  5). 











PEMBAHASAN

   Dalam satu dekade terakhir, terutama sejak diperkenalknnya kriteria NCEP ATP III, publikasi mengenai sindroma metabolik semakin meningkat, bukan saja dari segi epidemiologis tetapi juga dalam kaitannya dengan komplikasi kardiovaskuler. Suatu sub-analisis dari penelitian Botnia di Finlandia membuktikan bahwa pada mereka dengan sindroma metabolik menggunakan kriteria WHO ternyata mempunyai risiko kardiovaskuler tiga kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tanpa sindroma metabolik. Hal yang sama dilaporkan oleh peneliti Ridker dan Sattar. Kedua peneliti ini melaporkan bahwa penderita sindroma metabolik lebih sering mengalami komplikasi kardiovaskuler, oleh karena itu tepat apabila NCEP ATP III pada tahun 2001 memasukan sindroma metabolik sebagai faktor risiko kardiovaskuler sekunder setelah kolesterol – LDL4.

   Sehubungan dengan tingginya komplikasi kardiovaskuler pada mereka dengan sindroma metabolik, peneliti berpendapat bahwa skrining di klinik akan sangat bermanfaat untuk mendeteksi secara dini penderita sindroma metabolik. Selain itu manfaat lain ialah mereka yang ditemukan adanya sindroma metabolik dapat segera dimulai dengan tindakan intervensi. Hal yang sama telah diterapkan oleh American Diabetes Association untuk deteksi dini penderita diabetes melitus tipe 2. Dalam Clinical Practice and Recommendations sejak tahun 1999 American Diabetes Association telah menganjurkan untuk deteksi dini penderita diabetes melitus tipe 2 sebaiknya dilakukan skrining di tempat praktek (office based) pada mereka dengan risiko tinggi diabetes melitus.
 
    Prevalensi sindroma metabolik sangat bervariasi, hal ini antara lain oleh karena kriteria diagnosis yang digunakan sering berbeda, dan perbedaan subyek yang diperiksa terutama faktor umur. Sebagai contoh penelitian populasi di Selandia Baru yang meneliti subyek antara 40 – 80 tahun mendapat angka yang tinggi pada orang keturunan Maori yaitu sekitar 50% sedang pada keturunan Eropa hanya berkisar 20%. Jorgenson dkk di Greenland meneliti populasi berumur > 35 tahun, melaporkan dua angka berbeda dengan menggunakan kriteria yang berbeda yaitu dengan kriteria WHO menemukan 20,7%, sedang bila menggunakan kriteria NCEP ATP III hanya 17,9%.  Ilanne-Parika dkk di Finlandia melaporkan angka prevalensi pada penduduk sebesar 38,8% pada pria dan 22,2% pada wanita dengan menggunakan kriteria WHO.  Penelitian ini bukan penelitian populasi, melainkan subyek yang datang ke klinik untuk pemeriksaan kesehatan berkala. Oleh karena itu walaupun menggunakan kriteria sindroma metabolik yang sama dengan peneliti lain di Asia seperti Tan dkk di Singapura dan Suastika dkk di Bali jumlah penderita sindroma metabolik yang ditemukan pada pengunjung klinik jauh lebih  tinggi yaitu 33,4%. Hal ini berarti, sepertiga dari mereka yang datang ke klinik dimana sebagian besar merasa dirinya sehat ternyata menderita sindroma metabolik. 

    Pada penelitian populasi sebagian besar peneliti melaporkan lebih banyak sindroma metabolik pada pria dibandingkan wanita . Pada penelitian ini ternyata lebih banyak pada wanita, hal yang sama dilaporkan oleh Suastika dkk di Bali, maupun Jaber dkk pada penelitian penduduk di Amerika keturunan Arab. Jumlah pengunjung klinik wanita dan pria sama banyaknya tetapi pada wanita lebih banyak yang obes, selain itu lebih banyak subyek dengan kadar HDL-kolesterol rendah. Kedua hal ini menggambarkan bahwa pada subyek wanita pengunjung klinik lebih banyak yang resistensi insulin. Penyebaran usia pada penelitian populasi umumnya makin tua umur makin banyak penderita sindroma metabolik. Hal ini sejalan dengan makin tua usia makin banyak faktor risiko koroner tetapi juga makin besar kemungkinan mengalami resistensi insulin. Pada penelitian ini terlihat frekuensi sindroma metabolik tersebar merata pada semua kelompok umur, mungkin pengunjung klinik yang datang untuk pemeriksaan kesehatan umumnya sudah disertai dengan beberapa faktor risiko koroner.

   Komponen sindroma metabolik yang terbanyak pada penelitian adalah obes sentral dan kadar kolesterol - HDL rendah yaitu melebihi 50% pada kedua komponen tersebut. Illena-Parrika dkk melaporkan obesitas sentral yang tinggi terutama pada pria yaitu > 70% sedang pada wanita hanya sekitar 20%. Hipertensi merupakan urutan kedua dan trigliserid tinggi urutan ketiga. Oleh karena dislipidemi pada sindroma metabolik disebabkan oleh adanya resistensi insulin, maka dislipidemi yang menyolok adalah trigliserid tinggi dan kolesterol - HDL rendah. Pada penelitian ini sengaja dilihat juga kadar kolesterol - LDL. Ternyata yang paling menyolok adalah kadar kolesterol - HDL rendah dan kolesterol-LDL tinggi, jadi yang ditemukan adalah dislipidemi campuran (mixed dyslipidemia). Pada penelitian populasi umumnya hanya melaporkan kelainan lipid berupa kadar trigliserid tinggi dan kolesterol-HDL rendah. Kadar kolesterol – HDL rendah yang cukup tinggi, sama dengan yang dilaporkan oleh Simmons dkk yang menemukan pada suku Maori dan keturunan Pasifik lainnya dimana  HDL-kolesterol rendah yaitu pada pria mencapai  lebih dari 60% sedang wanita sekitar 50%. Tidak dilaporkan mengenai kadar kolesterol - LDL. 
 
    Penelitian mengenai sindroma metabolik di klinik belum pernah dilaporkan di Indonesia. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sindroma metabolik pada pengunjung klinik cukup tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian pada populasi. Selain itu jumlah terbanyak ditemukan pada usia yang relatif muda yaitu 30 – 55 tahun. Dari semua komponen sindroma metabolik, obes sentral dan kolesterol - HDL rendah merupakan komponen yang terbanyak ditemukan. Berbeda dengan hasil laporan penelitian pada umumnya dimana kolesterol - HDL rendah dan trigliserid yang tinggi yang menjadi bentuk dislipidemi pada sindroma metabolik, pada penelitian ini yang terbanyak adalah kolesterol - HDL rendah dan kolesterol - LDL yang tinggi, hal ini akan merupakan masalah dalam penatalaksanaan dislipidemi. Peneliti menyarankan penjaringan sindroma metabolik harus dilakukan pada semua pengunjung klinik (office based). Selain mudah diterapkan, penderita yang terdeteksi dapat segera dimulai dengan tindakan  pengobatan.
 
DAFTAR PUSTAKA  

1.  Ford ES, Giles WH, Dietz WH. Prevalence of the Metabolic
    syndrome among US adults. Findings from the Third National
    Health and Nutrition Examination Survey. JAMA 2002; 287:
    356-359
2.  Tan CE., Stefan MA, Wai D, Chew SK, Tai ES. Can we apply the
    National Education Cholesterol Program Adult Treatment Panel
    defianion of the metabolic syndrome to Asians?. Diabetes 
    Care 2004; 27: 1182 – 1186
3.  Suastika K, Aryana IGPS, Saraswati IMR, Gotera W, Budhiarta
    AAG, Dwi Sutenagara IN, Kajiwara N, Taniguchi H,Tsutau 
    A, Sakaue M. An epidemiology study of metabolic syndrome in
    rural population, Bai. Journal of the ASEAN Federation of
    Endocrine Societies. 2003;21 (suppl1/2), 107.
4.  Executive summary of the third report of the National 
    Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on 
    Detection, Evaluation, and Treatment of High blood
    Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III).
    JAMA  2001;285:2486–2497
5.  Isomaa B, Almgren P,Tuomi T, Forsen B, Lahti K, Nissen
    M, Taskinen MR, Groop L. Cardiovascular morbidity  and
    mortality associated with the metabolic syndrome. Diabetes
    Care 2001; 24: 683 – 689.
6.  Ridker PM, Buring JE, Cook NR, Rifai N. C- Reactive Protein,
    the metabolic syndrome, and risk incident cardiovascular 
    events. An 8 – year follow – up of 14719 initially healthy 
    American women. Circualtion 2003; 107: 391 – 397.
7.  Sattar N, GAw A, Schebakova O, Ford I, O’Reilly DSJ,
    Haffner SM, Isles C, Macfarlane PW, Packard CJ, Cobbe  SM, 
    Sheperd J. Metabolic syndrome with and without C-reactive 
    protein as a predictor of coronary heart disease and diabetes
    in the West of Scotland Coronary Prevention Study.
    Circulation 2003; 108: 414 –  419.
8.  American Diabetes Association. Clinical Practice and
    Recommendations. Screening for type 2 diabetes. Diabetes Care
    1999;22 (suppl 1): S20-S23.
9.  Simmons D, Thompson CF. Prevalence of the metabolic
    syndrome among adult New Zelanders of Polynesian and 
    European descent. Diabetes Care 2004; 27: 3002 – 3004
10. Jorgensen ME, Bjerregaaed P, Gyntelberg F, Johnsen KB, and
    the Greenland Population Studys. Prevalence of  the metabolic
    syndrome among the inuit in the Greenland. A comparison
    between to proposed definations. Diabetes     Medicine 2004;
    21: 1237 – 1242
11. Illana-Parikka P, Erickson JG, Lindstrom J, Hamalainen H,
    Keinanen-Kiukaaniemi, Laakso M, Louheranta A, Mannelein M,
    Rastas M, Salminen V, Aunola S, Sundvaal J,  Valle T, Lahtela
    J, Ulsitupa M, Tuomilehto J.  Prevalence of metabolic
    syndrome and its components. Finish Diabetes  Prevention
    Study. Diabetes care 2004;27:2135 – 2140.
12. Marques-Vidal P, Mazoyer E, Bongard V, Gourdy P, Ruidavets
    JB, Drouet L, Ferrières J. Prevalence of insulin 
    resistance syndrome in Southwestern France and its 
    relationship with inflammatory and hemostatic 
    markers.  Diabetes Care 2002; 25: 1371-1377
13. Jaber LA, Brown MB, Hammad A, Zhu Q, Herman WH. The
    prevalence of metabolic syndrome Among Arab 
    Americans. Diabetes care 2004;27: 234-238.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Dokter Network Angk 97