Pengaruh hiperglikemia postprandial terhadap timbulnya komplikasi pada penderita diabetes

Oleh : Prof dr Harsinen Sanusi Sp PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo/FKUNHAS
Makassar


Pendahuluan

   Sampai saat ini etiologi dan patogenesis diabetes melitus (DM) tipe 2 belum diketahui dengan pasti dan masih bersifat heterogen, namun yang jelas pada DM ditemukan gangguan fungsi sekresi sel beta dan gangguan pada sensitivitas insulin di perifer yaitu di otot, lemak dan hati. Proses mana yang lebih awal terjadi belum diketahui dengan pasti. Faktor genetik dan faktor lingkungan sudah jelas berperan dalam patogenesis DM tipe 2.


   Telah diketahui dalam mengatur glukosa darah ada 3 alat tubuh yang perperan yaitu pankreas dengan mengeluarkan insulin dan hati mengeluarkan glukosa lewat produksi glukosa oleh hati dan otot serta lemak meningkatkan asupan glukosa.


   Dalam perjalanannya DM tipe 2 sebelum gejala DM manifes akan mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), dimana kadar glukosa darah puasa masih dalam batas-batas normal akan tetapi kadar glukosa darah 2 jam postprandial pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) antara 140 –199 mg % (kriteria WHO 1999) sudah ditemukan gangguan sekresi insulin oleh sel beta. Dengan demikian sekresi sel beta sudah berkurang pada TGT. Sarjana Groop (1999) memperlihatkan bahwa pada Toleransi glukosa terganggu  sudah ditemukan komplikasi makrovaskuler sekitar 40% tidak jauh berbeda dengan DM yang manifest.


   Komplikasi makroangiopati diabetik dapat bermanifestasi sebagai Penyakit Jantung Koroner (PJK), stroke atau penyakit vaskuler perifer.Berikut akan diutarakan peranan lonjakan glukosa setelah makan (Postprandial spike) ternyata mempengaruhi komplikasi makroangiopati diabetik khususnya komplikasi penyakit vaskuler (jantung, otak, pembuluh darah perifer).

Regulasi sekresi insulin

    Regulasi fungsi sel beta adalah suatu proses kompleks dimana banyak faktor yang mempengaruhi baik yang merangsang atau yang menghambat pengeluaran insulin dari sel beta.Sekresi insulin oleh sel beta diatur dan dirangsang oleh kadar glukosa ekstraseluler. Dalam keadaan puasa, kadar glukosa puasa dipertahankan dalam batas normal sehingga dalam keadaan seimbang dengan pemakaian glukosa.


    Produksi glukosa sebagian besar dihasilkan oleh hati dari hasil pemecahan glikogen (glikogenolisis) dan pembentukan molekul glukosa baru (glukoneogenesis). Selama keadaan puasa sebagian besar glukosa dalam sirkulasi dipakai oleh jaringan yang tidak tergantung  insulin seperti sel otak, sehingga kadar insulin dalam darah rendah akan tetapi sudah cukup untuk mengendalikan glukoneogenesis dihati dan pemecahan trigliserida serta pembentukan asam lemak tidak jenuh. Sebaliknya pada keadaan setelah makan maka terdapat kenaikan kadar glukosa dalam darah dan telah diketahui bahwa glukosa adalah suatu stimulator kuat untuk pengeluaran insulin ditambah dengan “incretin effect” seperti glucagons-like peptide 1 yang merangsang system neural dan hormonal baik diusus maupun pada sel beta.  Dengan demikian baik dalam keadaan puasa maupun dalam keadaan setelah makan kadar glukosa tidak terlalu rendah sedang pada keadaan setelah makan kadar glukosa darah tidak meningkat terlalu tinggi.

    Setiap gangguan keseimbangan dalam proses homeostasis glukosa menyebabkan glukosa dalam sirkulasi meningkat akan menimbulkan hiperglikemia. Pada diabetes melitus tipe 2 dijumpai gangguan sekresi insulin dalam merespons hiperglikemia postprandial. Mekanisme kenapa sel beta tak mampu mensekresi insulin pada diabetes melitus tipe 2 belum diketahui dengan pasti. Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1 dimana sekresi insulin sangat drastis menurun akibat proses autoimun. Bukti-bukti klinis sebagian menunjukkan bahwa sekresi insulin yang menurun pada diabetes melitus tipe 2 lebih dari 20% disebabkan oleh deposisi amiloid pada sel beta pankreas. Namun teori ini banyak mendapat tantangan karena pada sebagian besar pasien diabetes  melitus yang sudah berlangsung lama ternyata deposit amiloid hanya sebesar < 1% dari seluruh sel beta. Selain itu pada orang usia lanjut yang tidak mengidap diabetes melitus dapat ditemukan deposit amiloid sebesar 20% dari sel beta.

   Sebagian peneliti menemukan sel beta menjadi buta (blind) atau tidak responsif terhadap kenaikan kadar glukosa dalam plasma. Disamping itu adanya kelelahan (exhaustion) sel beta akibat hipersekresi insulin sebelumnya (resistensi insulin ) atau akibat peranan faktor genetik atau lingkungan yang menyebabkan sel beta peka atau sensitif mengalami kelelahan. Selain itu hilangnya fungsi sel beta dapat disebabkan oleh mekanisme biokimiawi yang integral dengan resistensi insulin seperti efek toksik glukosa (glukotoksisiti), lipotoksisiti atau keduanya glikolipoksia.



Kinetik insulin  pada DM tipe 2.

    Telah diketahui bahwa gangguan kinetik sekresi insulin dini adalah sebelum onset hiperglikemia puasa dan sebelum meningkatnya HbA1c. Hal ini menyebabkan menurunnya atau menghilangnya fase pertama sekresi insulin pada pemeriksaan dengan intravenous Glucosa Tolerance Test (IVGTT). Demikian pula sekresi insulin setelah pembebanan glukosa oral (TTGO).

    Pada penderita DM tipe 2 pemberian glukosa 20 gram sekresi insulin tidak meningkat malahan menurun sama dengan dalam keadaan basal. Dengan menurunnya sekresi insulin fase dini  pada DM tipe 2,kadar glukosa darah meningkat dan mengakibatkan hiperinsulinemia reaktif . Hal ini sangat berbeda dengan orang normal dengan pemberian glukosa oral 20 gram  menyebabkan  kenaikan kadar insulin dalam beberapa menit  (fase 1) selanjutnya menurun dengan tajam  dalam 1-2 jam.Fase akut sekresi insulin pada penderita DM juga dapat dilihat dengan pemberian insulin eksogen maka sekresi insulin meningkat dan kadar   glukosa darah mendekati kadar glukosa darah normal. Hal mana sangat berbeda pada penderita yang tidak mendapat insulin eksogen.

















Hiperglikemia postprandial

   Bila diteliti gambaran glukosa darah harian pada orang normal (non diabetes) maka kadar glukosa darah postprandial lebih tinggi berkisar 40 mg dibanding kadar glukosa darah saat puasa. Kenaikan kadar glukosa hanya berlangsung sekitar 15-45 menit dan akan kemabali ke level sebelumnya dalam waktu 1-2 jam.

   Pada DM tipe 2 kadar glukosa darah postprandial lebih tinggi yaitu 80-100 mg% dibanding kadar glukosa darah puasa dan ini berlangsung lebih lama yaitu sekitar 90 menit dan akan kembali ke level normal 3-4 jam. Dapat disimpulkan bahwa pada DM tipe 2 glukosa darah postprandial  lebih tinggi dan lebih  lama dibanding dengan non diabetes dan hal ini merupakan faktor yang relevan dengan komplikasi makroangiopati diabetik.

   Penelitian Diabetic Control and Complication Trial (DCCT) dan United Kingdom Prospective Study (UKPDS) yang melibatkan ribuan kasus dan multisenter telah menyimpulkan bahwa dengan pengendalian kadar glukosa darah yang optimal maka komplikasi DM tipe 1 maupun tipe 2 menurun dengan tajam yang dipantau dengan pemeriksaan HbA1c. Pemeriksaan HbA1c yang normal memerlukan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam postprandial juga normal.

   Penelitian dari UKPDS menunjukkan bahwa dengan kontrol glukosa darah yang baik yaitu HbA1c maka risiko komplikasi akan menurun. Dapat dilihat pada gambar 2 dimana angka kematian total diabetes menurun 21% dengan menurunnya HbA1c 1%. Hal ini berarti bila kadar HbA1c menurun 2% maka angka kematian menurun 2 X 21% yaitu 42 %. Hal yang sama diperlihatkan pada komplikasi serangan jantung menurun 14% komplikasi mikrovaskuler 37% dan penyakit vaskuler perifer menurun 43 %. Sebelumnya DCCT dengan jelas membuktikan pula bahwa makin tinggi HbA1c maka komplikasi kronik diabetes semakin tinggi pula















     Kuusisto et al melaporkan pula bahwa HbA1c dapat memprediksi adanya penyakit jantung koroner (PJK) pada DM tipe 2 dimana pada HbA1c < 6% insidensi PJK berkisar hanya 5%, HbA1c 6-7,9% insidensi PJK meningkat 2 kali yaitu 10% dan apabila HbA1c lebih 7,9% maka insidensi PJK menjadi sekitar 20%.

    Jadi jelaslah kiranya bahwa kontrol glukosa darah khususnya glukosa postprandial mencerminkan kadar HbA1c yang merupakan prediktor adanya PJK atau Stroke.

   Pada hiperglikemia postprandial sebagaimana TGT akan meningkatkan resiko komplikasi vaskuler pada penderita diabetes melitus tipe 2. Penelitian “Diabetes Intervention Study” (DIS) selama follow-up 11 tahun menyimpulkan bahwa kenaikan glukosa postprandial pada diabetes melitus tipe 2 merupakan faktor risiko infark miokard dan akan meningkatkan mortalitas kardiovaskuler.

   Gangguan vaskuler sudah dapat terjadi sebelum terjadi diagnosis hiperglikemia dan dapat berlangsung terus pada toleransi glukosa terganggu (TGT). Penebalan pada tunika intima dan tunika media arteri karotis meningkat secara bermakna pada TGT bila dibandingkan dengan individu normal membuktikan bahwa perkembangan aterosklerosis sudah ada sebelum onset diabetes melitus tipe 2.

   Data dari Helsinky Policemen Study memperlihatkan meningkatnya resiko kelainan kardiovaskuler seperti angka kematian akibat penyakit arteri koroner pada laki-laki yang berumur 30-59 tahun mempunyai hubungan secara bermakna dengan kenaikan kadar glukosa plasma 1 jam postprandial.  

  Mekanisme yang pasti tentang hubungan kenaikan kadar glukosa plasma 1 jam postprandial dengan angka komplikasi vaskuler belum diketahui dengan pasti, akan tetapi diduga akibat kenaikan kadar glukosa plasma postprandial dapat bersifat toksik terhadap lapisan sel endotel pembuluh darah. Kenaikan kadar glukosa menyebabkan gangguan fungsional dan gangguan struktur sel endotel yang meningkatkan permeabilitas dan substansi influx seperti lipid dari sirkulasi kedalam dinding pembuluh darah yang pada tahap lanjut mempercepat aterosklerosis.Hiperglikemia akut ternyata dapat pula meningkatkan kadar dan adhesi molekul ICAM-1 yang meningkatkan adhesi lekosit pada sel endotel yang merupakan salah satu dari awal dari proses aterogenik.

   Mekanisme hiperglikemia postprandial menyebabkan makroangiopati diabetik belum diketahui dengan pasti namun beberapa kemungkinan antara lain hiperglikemia bersifat toksik bagi dinding sel endotel sehingga permeabilitas dan influks substansi lipid meningkat. Hiperglikemia postprandial menyebabkan overproduksi trombin sehingga trombus meningkat, adhesi molekul ICAM –1 meningkat, dan adhesi lekosit di sel endotel meningkat dan menyebabkan proses aterosklerosis. Selain itu peranan radikal bebas atau oksidans, polyol pathway dan glikasi, sitokin.

   Strategi pengobatan DM tipe 2 saat ini sebaiknya adalah regulasi kadar glukosa darah postprandial merupakan pendekatan baru yang akan menurunkan komplikasi vaskuler diabetes. Obat sulfonilurea yang saat ini dikenal tidak meningkatkan sekresi insulin pada postprandial secara khusus dan tidak memperbaiki sekresi insulin kearah yang fisiologis sehingga efek pada postprandial masih diragukan.

Ringkasan

   Terjadinya komplikasi kronik makroangiopati pada DM tipe 2 pada umumnya sudah ditemukan sebelum DM manifest yaitu pada keadaan toleransi glukosa darah terganggu yang mana kadar glukosa darah puasa masih normal akan tetapi kadar glukosa darah 2 jam postprandial sudah meningkat.

   Komplikasi kronik makroangiopati terkait erat dengan   menurunnya fase akut sekresi insulin postprandial yang menyebabkan hiperglikemia postprandial dan hiperinsulinemia reaktif. Hiperglikemia postprandial meningkatkan risiko komplikasi kardiovaskuler.

   Sampai saat ini penyebab kematian paling tinggi pada penderita DM tipe 2 adalah komplikasi penyakit kardiovaskuler dan stroke. Komplikasi kronik ini sangat berkaitan dengan hiperglikemia yang ditandai dengan kadar HbA1c yang meningkat. Dengan menurunkan kadar glukosa darah 2 jam postprandial akan menurunkan secara bermakna HbA1c, dengan demikian komplikasi kardiovaskuler akan lebih menurun.

   Perlu suatu strategi pengobatan baru menghadapi pasien DM tipe 2 dimana diutamakan menurunkan kadar glukosa darah 2 jam postprandial. Golongan obat sekretagog sulfonilurea ternyata tidak secara khusus bekerja pada postprandial sehingga tidak memperbaiki sekresi insulin kearah yang fisiologis dan efektifitas dalam menurunkan komplikasi kardiovaskuler masih diragukan. 


Daftar Pustaka

1. DeFronzo RA, Ferrannini E, Koivisto V. New concept in 
   the pathogenesis and treatment on NIDDM.
   AM J Med.1983;74:52-81.

2. Biden TJ, Chisolm DJ. Insulin resistance VS insulin 
   deficiency. In Diabetes in the New Millenium. Edited 
   by:Turtle JR, Kaneko T, Osato S. Endocrinology and 
   Diabetes Research Foundation of the University of
   Sydney.Sydney, 1999:161-169.

3. Stumvoll M, Jacob S. Multiple sites of insulin resistance:
   muscle, liver and adipose tissue. Exp Clin Endocrinol
   Diabetes 1999;107:107-110.

4. Soegondo S.Restoring early phase insulin secretion.
   The key to mealtime glucose control.
   Jakarta Diabetes Meeting 2000. November 18-19, 200.1-11.

5. Kikuchi M. New antidiabetic drugs. Rapid-onset and 
   short-duration insulin secretagogues and new insulin  
   sensitizers. In Diabetes in the New Millennium. 
   Edited by: Turtle JR, Kaneko T, Osato S. Endocrinology
   and  Diabetes Research Foundation of the University of
   Sydney. Sydney, 1999: 239-250.

6. Calles-Escadon J, Robbins DC. Loss of early phase of
   insulin release in humans impairs glucose tolerance   
   and blunts themic effect of glucose. Diabetes 
   1987;36:1167-1172.

7. Bruce DG, et al. Physiological importance of deficiency 
   in early prandial insulin secretion in NIDD.
   Diabetes 1988;37:736-744.

8. Lebovitz HE. Insulin secretogogues. Old and New. 
   Diabetes Reviews,1999;7:139-153.

9. DCCT Research Group. The Diabetes Control and 
   Complications Trial Research Group. The effect 
   of intensive treatment of diabetes on the development 
   and progression of long-term complications in 
   insulin-dependent diabetes melitus. N Engl J Med.1993;
   329:977-986.

























0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Dokter Network Angk 97