Pendahuluan
Lingkungan hidup kita mengandung berbagai bahan organik dan anorganik, baik yang hidup seperti bakteri, virus, jamur, parasit maupun yang mati. Berbagai debu dalam polusi yang setiap saat dapat masuk ke dalam tubuh dapat menimbulkan kerusakan jaringan atau penyakit. Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan. Sedangkan sistem pertahanan tubh itu sendiri adalah suatu sistem mekanisme fisiologik yang mempunyai kemampuan mengenali suatu benda sebagai zat asing (non-self) atau diri (self) dan kemudian mampu untuk melakukan netralisasi, eliminasi atau melakukan metabolisme zat-zat asing tersebut.
Akibat dari proses netralisasi, eliminasi atau metabolisme tersebut dapat terjadi jejas atau tanpa jejas pada diri sendiri. Proses netralisasi, eliminasi dan metabolisme itulah yang dikenal dengan istilah respon imun.
Akibat dari proses netralisasi, eliminasi atau metabolisme tersebut dapat terjadi jejas atau tanpa jejas pada diri sendiri. Proses netralisasi, eliminasi dan metabolisme itulah yang dikenal dengan istilah respon imun.
Respon imun
Dalam usaha mempertahankan tubuh dari berbagai bentuk paparan dari luar, sistem imunitas kita harus mempunyai 3 fungsi pokok yaitu :
1. Harus dapat membedakan paparan yang satu dengan paparan yang
lain dan memberikan respon yang berbeda bagi setiap paparan.
2) Harus dapat membedakan di dalam proses antara zat atau
partikel yang berasal dari diri sendiri atau berasal dari luar
atau asing bagi tubuh.
partikel yang berasal dari diri sendiri atau berasal dari luar
atau asing bagi tubuh.
3) Sistem imunitas dalam memberikan respon terhadap paparan zat
asing harus mempunyai ingatan yang tetap terhadap paparan
tersebut, sehingga apabila mendapat paparan yang kedua maka
akan memberikan respon yang sama dan identik dengan respon
terhadap paparan zat-zat tersebut pada saat pertama kali
memapar tubuh.
asing harus mempunyai ingatan yang tetap terhadap paparan
tersebut, sehingga apabila mendapat paparan yang kedua maka
akan memberikan respon yang sama dan identik dengan respon
terhadap paparan zat-zat tersebut pada saat pertama kali
memapar tubuh.
Komponen yang berperan dalam proses respon imun adalah sel limfosit yang bersfat imunogenik atau antigen dan human leucocyte antigen (HLA) atau major histocompability complex (MHC). Respon imun dapat memberikan beberapa kemungkinan yaitu :
a) Tidak efektif atau tidak adekuat, baik secara primer
(instrinsik) maupun ekstrinsik (mis; obat, radiasi,
malnutrisi, infeksi)
b) Gagal menjalankan fungsi pengenalan antara antigen self dari
non-self sehingga terjadi penyakit autoimun.
c) Tidak memberikan respon imun terhadap antigen tertentu yang
tidak menginduksi sebelumnya (immunetolerance).
d) Normal (efektif dan adekuat)
e) Berlebihan (exagerated) dan tidak tepat (inappropiate)
sehingga menyebabkan kerusakan terhadap tubuh sendiri,
dikenal sebagai hipersensitivitas.
(instrinsik) maupun ekstrinsik (mis; obat, radiasi,
malnutrisi, infeksi)
b) Gagal menjalankan fungsi pengenalan antara antigen self dari
non-self sehingga terjadi penyakit autoimun.
c) Tidak memberikan respon imun terhadap antigen tertentu yang
tidak menginduksi sebelumnya (immunetolerance).
d) Normal (efektif dan adekuat)
e) Berlebihan (exagerated) dan tidak tepat (inappropiate)
sehingga menyebabkan kerusakan terhadap tubuh sendiri,
dikenal sebagai hipersensitivitas.
Hipersensitifitas
Reaksi hipersensitifitas diklasifikasikan oleh Gell dan Coombs dalam 4 tipe reaksi. Klasifikasi didasarkan pada kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi dan keempat tipe reaksi ini dapat terjadi sendiri-sendiri atau 2 tipe reaksi terjadi bersamaan.
Hipersensitifitas tipe 1
Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis. Reaksi tipe I adalah timbulnya reaksi imunologis yang cepat ( dalam beberapa menit) akibat ikatan antigen dan antibodi dengan sel mast/basofil pada individu yng sebelumnya sudah terpapar antigen. Terjadinya hipersensitivitas tipe I adalah sebagai berikut :
1) Antigen merangsang pembentukan IgE.
2) IgE kemudian diikat oleh sel mastosit/basofil melalui
receptor Fc.
2) IgE kemudian diikat oleh sel mastosit/basofil melalui
receptor Fc.
3) Kemudian antigen yang sama masuk dan akan diikat oleh IgE
yang sudah ada pada permukaan sel mastosit/basofil.
4) Akibat ikatan antigen fan IgE, mastosit/basofil mengalami
degranulasi setelah masuknya Ca++ dan melepas beberapa
mediator.
5) Mediator inilah yang menimbulkan gejala reaksi
hipersensitivitas.
Mediator yang dihasilkan oleh sel mast antara lain : vasoaktif amin, eosinophilic chemotactic factor (ECF), platelet aktivating factor (PAF),enzim-enzim, leukotrin C,D,E, prostaglandin dan tromboksan. Gambaran klinis yang bisa kita temukan dari reaksi hipersensitifitas tipe I adalah eritem, urtikaria, hay fever (rinitis alergika), asma dan anafilaksis.
Hipersensitivitas tipe II
Dikenal pula dengan nama reaksi sitotoksik. Hipersensitifitas ini merupakan respon terhadap antigen sel atau antigen jaringan. Pada reaksi ini antibodi yang terlibat adalah IgG dan IgM. ada 2 mekanisme imun yang dapat terjadi pada reaksi ini, yaitu :
1) Antibodi, IgG atau IgM berikatan dengan antigen yang ada pada permukaan sel, hal ini akan mengaktifasi sistem komplemen yang menimbulkan kerusakan keutuhan membran selanjutnya komplemen melakukan serangan ke sel target melalui pembentukan komponen komplemen kompleks C5b-9, produk ini menyerang keutuhan membran oleh karena adanya lubang atau saluran ion pada membran tersebut sehingga sel tersebut menjadi lisis.
2) komplemen juga secara tidak langsung meningkatkan kerusakan pada sel target dengan opsonisasi. Hal ini melibatkan interaksi komplemen pada permukaan sel target, dengan adanya C3b pada sel mekrofag atau netrofil. Secara klinis kelainan yang mengikuti tipe reaksi ini ialah reaksi transfusi, eriroblas fetalis, anemia hemolitik autoimun dan beberapa reaksi obat.
Hipersensitivitas tipe III
Disebut juga reaksi kompleks Imun. Hipersensitifitas tipe III ini terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator serum sehingga dapat merusak jaringan. Sebagai contoh adalah reaksi arthus. Reaksi ini dilakukan dengan menyuntikkan secara lokal antigen yang reaksinya meluas dan membentuk komleks imun yang tidak larut dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Komplemen mulai diaktifkan sehingga C3a dan C5a yang terbentuk menigkatkan permeabilitas pembuluh darah dan terjadi edema. Netrofil dan trombosit tertimbun dan menimbulkan stasis, penyumbatan aliran darah. Netrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama trombosit melepas bahan seperti protease yang menimbulkan perdarahan dan nekrosis. Contoh lain dari reaksi tipe III adalahserum sickness. Ditemukan 6-8 hari setelah penyuntikan protein asing. Sampai hari ke-6 level antigen relatif konstan kemudian menurun dengan cepat, pada saat inilah ditemukan kompleks imun dalam sirkulasi dan mulai tertimbun dan menigkat dengan adanya interaksi sistem komplemen, sehingga terbentuk C3a dan C5a yang menigkatkan permeabilitas kapiler pembuluh darah. Netrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun. Proses ini melepaskan beberapa mediator inflamasi sepeti protease,radikal oksigen dan produk asam arakidonik yang menyebabkan kerusakan jaringan. Manifestasi klinis di kulit reaksi tipe ini dapat di lihat pada penyakit vesikobulosa kronik.
Hipersensitivitas tipe IV
Disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi karena respon T yang sudah disensitisasi terhadap antigen tertentu. dalam hal ini tidak ada peran antibodi. Ada 2 macam reaksi tipe lambat yaitu :
1. Delayed type Hypersensitivity (DTH)
Secara kalsik dikatakan adalah reaksi jaringan yang terutama melibatkan sel limfosit dan fagosit mononuklear yang ditemukan setelah penyuntikan protein 24-48 jam. Antigen protein asing di fagositosis oleh makrofag dan diproses kemudian dipresentasikan pada permukaan dengan bantuan molekul HLA klas II secara kimiawi ikatan reaktif ini kemudian bisa berikatan langsung dengan protein di membran makrofag. Antigen sel T spesifik dikenalkan dengan kompleks antigen-protein membran dan menerima tanda perangsangan pertumbuhan (monokin) antara lain IL1 dari makrofag. kemudian sel menjadi aktif dan mulai mensintesis dan menghasilkan molekul mediator (limfokin). Turunan limfokin seperti monokin mendatangkan sel inflamasi tambahan. Penyakit yang dianggap mengikuti reaksi tipe IV adalah dermatitis kontak alergi.
2. T cell mediated cytotoxicity
Mekanisme lain dari efek sel T pada kerusakan jaringan adalah sitolisis langsung pada sel target. Dalam hal ini sel targetnya adalah sel yang terinfeksi virus, sel histoinkompatibel (misalnya : transplantasi organ) dan sel tumor yang menunjukkan antigen baru. Sel T mengenali antigen asing dan antigen histokompatibiliti klas 1 kemudian sel T menjadi aktif dan mulai berproliferasi. Sel T helper melepaskan limfokin yang meningkatkan proliferasi. Sel T killer berikatan dengan sel target dan mengantar sinyal yang menghasilkan gangguan pompa natrium-kalium kemudian sel target ini menjadi lisis.
Dikenal pula dengan nama reaksi sitotoksik. Hipersensitifitas ini merupakan respon terhadap antigen sel atau antigen jaringan. Pada reaksi ini antibodi yang terlibat adalah IgG dan IgM. ada 2 mekanisme imun yang dapat terjadi pada reaksi ini, yaitu :
1) Antibodi, IgG atau IgM berikatan dengan antigen yang ada pada permukaan sel, hal ini akan mengaktifasi sistem komplemen yang menimbulkan kerusakan keutuhan membran selanjutnya komplemen melakukan serangan ke sel target melalui pembentukan komponen komplemen kompleks C5b-9, produk ini menyerang keutuhan membran oleh karena adanya lubang atau saluran ion pada membran tersebut sehingga sel tersebut menjadi lisis.
2) komplemen juga secara tidak langsung meningkatkan kerusakan pada sel target dengan opsonisasi. Hal ini melibatkan interaksi komplemen pada permukaan sel target, dengan adanya C3b pada sel mekrofag atau netrofil. Secara klinis kelainan yang mengikuti tipe reaksi ini ialah reaksi transfusi, eriroblas fetalis, anemia hemolitik autoimun dan beberapa reaksi obat.
Hipersensitivitas tipe III
Disebut juga reaksi kompleks Imun. Hipersensitifitas tipe III ini terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator serum sehingga dapat merusak jaringan. Sebagai contoh adalah reaksi arthus. Reaksi ini dilakukan dengan menyuntikkan secara lokal antigen yang reaksinya meluas dan membentuk komleks imun yang tidak larut dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Komplemen mulai diaktifkan sehingga C3a dan C5a yang terbentuk menigkatkan permeabilitas pembuluh darah dan terjadi edema. Netrofil dan trombosit tertimbun dan menimbulkan stasis, penyumbatan aliran darah. Netrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama trombosit melepas bahan seperti protease yang menimbulkan perdarahan dan nekrosis. Contoh lain dari reaksi tipe III adalahserum sickness. Ditemukan 6-8 hari setelah penyuntikan protein asing. Sampai hari ke-6 level antigen relatif konstan kemudian menurun dengan cepat, pada saat inilah ditemukan kompleks imun dalam sirkulasi dan mulai tertimbun dan menigkat dengan adanya interaksi sistem komplemen, sehingga terbentuk C3a dan C5a yang menigkatkan permeabilitas kapiler pembuluh darah. Netrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun. Proses ini melepaskan beberapa mediator inflamasi sepeti protease,radikal oksigen dan produk asam arakidonik yang menyebabkan kerusakan jaringan. Manifestasi klinis di kulit reaksi tipe ini dapat di lihat pada penyakit vesikobulosa kronik.
Hipersensitivitas tipe IV
Disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi karena respon T yang sudah disensitisasi terhadap antigen tertentu. dalam hal ini tidak ada peran antibodi. Ada 2 macam reaksi tipe lambat yaitu :
1. Delayed type Hypersensitivity (DTH)
Secara kalsik dikatakan adalah reaksi jaringan yang terutama melibatkan sel limfosit dan fagosit mononuklear yang ditemukan setelah penyuntikan protein 24-48 jam. Antigen protein asing di fagositosis oleh makrofag dan diproses kemudian dipresentasikan pada permukaan dengan bantuan molekul HLA klas II secara kimiawi ikatan reaktif ini kemudian bisa berikatan langsung dengan protein di membran makrofag. Antigen sel T spesifik dikenalkan dengan kompleks antigen-protein membran dan menerima tanda perangsangan pertumbuhan (monokin) antara lain IL1 dari makrofag. kemudian sel menjadi aktif dan mulai mensintesis dan menghasilkan molekul mediator (limfokin). Turunan limfokin seperti monokin mendatangkan sel inflamasi tambahan. Penyakit yang dianggap mengikuti reaksi tipe IV adalah dermatitis kontak alergi.
2. T cell mediated cytotoxicity
Mekanisme lain dari efek sel T pada kerusakan jaringan adalah sitolisis langsung pada sel target. Dalam hal ini sel targetnya adalah sel yang terinfeksi virus, sel histoinkompatibel (misalnya : transplantasi organ) dan sel tumor yang menunjukkan antigen baru. Sel T mengenali antigen asing dan antigen histokompatibiliti klas 1 kemudian sel T menjadi aktif dan mulai berproliferasi. Sel T helper melepaskan limfokin yang meningkatkan proliferasi. Sel T killer berikatan dengan sel target dan mengantar sinyal yang menghasilkan gangguan pompa natrium-kalium kemudian sel target ini menjadi lisis.
0 komentar:
Posting Komentar