The importance of prandial glucose regulation in the management of type-2 diabetes

Oleh : Prof. dr. Harsinen Sanusi, SpPD-KE
Sub Bagian Endokrin-Metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
PUSDILIP RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar



Pendahuluan

   Patogenesis diabetes melitus (DM) tipe 2 sangat heterogen, namun ada dua keadaan yang selalu dijumpai yaitu gangguan sekresi insulin (insulin secretion) dan gangguan kerja insulin (insulin action). Gangguan fungsi sel beta karakteristik ditandai oleh penurunan sekresi setelah infus glukosa intravena dan rendahnya respons awal insulin terhadap pemberian glukosa peroral . Sedang gangguan kerja insulin karakteristik ditandai oleh hiperinsulinemia relatif terhadap kadar glukosa plasma .

     Pada setiap pasien DM tipe –2 dapat ditemukan gangguan sekresi insulin yang lebih dominan sedang kerja insulin kurang menonjol dan sebaliknya bisa pula resistensi insulin yang menonjol dibanding dengan sekresi insulin atau kedua-duanya .

      Berdasarkan hal tersebut maka obat hipogkemik oral dibagi 2 yaitu obat sekretogog insulin yang merangsang sekresi insulin misalnya sulfonilurea dan non sulfonilurea seperti repaglinid sedang obat yang bekerja memperbaiki kerja insulin disebut sebagai sensitizer insulin seperti metformin atau tiazolidindione (troglitazone, pioglitazone, rosiglitazone).

   kekurangan sekresi insulin berkaitan dengan makanan pada DM mengakibatkan hiperglikemia post prandial. Keadaan ini akan mempercepat timbulnya proses aterosklerosis  yang pada tahap lanjut akan menyebabkan penyakit arteri koroner yang dapat berakhir fatal . Berkaitan dengan hal tersebut maka regulasi glukosa darah setelah makan sangat penting untuk menghindari kemungkinan aterosklerosis dini.

   Dalam artikel ini akan diutarakan  bagaimana mekanisme regulasi atau pengaturan sekresi insulin dan terjadinya gangguan regulasi glukosa prandial (‘Prandial Glucose Regulation’ = PGR) pada DM tipe-2.

Regulasi sekresi insulin

      Regulasi fungsi sel beta adalah suatu proses kompleks dimana banyak faktor yang mempengaruhi baik yang merangsang atau yang menghambat pengeluaran insulin dari sel beta.

     Sekresi insulin oleh sel beta diatur dan dirangsang oleh kadar glukosa ekstraseluler. Dalam keadaan puasa, kadar glukosa puasa dipertahankan dalam batas normal sehingga dalam keadaan seimbang dengan pemakaian glukosa. Produksi glukosa sebagian besar dihasilkan oleh hati dalam bentuk produksi glukosa hati (Hepatic Glucose Output) dari pemecahan glikogen (glikogenolisis) dan pembentukan molekul glukosa baru (glukoneogenesis). Selama keadaan puasa sebagian besar glukosa dalam sirkulasi dipakai oleh jaringan yang tidak tergantung (independent) insulin seperti sel otak, sehingga kadar insulin dalam darah rendah akan tetapi sudah cukup untuk mengendalikan glukoneogenesis dihati dan pemecahan trigliserida serta pembentukan asam lemak tidak jenuh. Sebaliknya pada keadaan setelah makan maka terdapat kenaikan kadar glukosa dalam darah dan telah diketahui bahwa glukosa adalah suatu stimulator kuat (poten) pengeluaran insulin ditambah dengan “incretin effect” seperti glucagons-like peptide 1 yang merangsang system neural dan hormonal baik diusus maupun pada sel beta.  Dengan demikian baik dalam keadaan puasa maupun dalam keadaan setelah makan kadar glukosa tidak terlalu rendah sedang pada keadaan setelah makan kadar glukosa darah tidak meningkat terlalu tinggi.

     Setiap gangguan keseimbangan dalam proses homeostasis glukosa menyebabkan glukosa dalam sirkulasi meningkat akan menimbulkan hiperglikemia.Pada keadaan diabetes melitus tipe 2 dijumpai gangguan sekresi insulin dalam merespons hiperglikemia postprandial.

     Mekanisme kenapa sel beta tak mampu mensekresi insulin pada diabetes melitus tipe 2 belum diketahui dengan pasti. Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1 dimana sekresi insulin sangat drastis menurun akibat proses autoimun. Bukti-bukti klinis sebagian menunjukkan bahwa sekresi insulin yang menurun pada diabetes melitus tipe 2 lebih dari 20% disebabkan oleh deposisi amiloid pada sel beta pankreas. Namun teori ini banyak mendapat tantangan karena pada sebagian besar pasien diabetes  melitus yang sudah berlangsung lama ternyata deposit amiloid hanya sebesar < 1% dari seluruh sel beta. Selain itu pada orang usia lanjut yang tidak mengidap diabetes melitus dapat ditemukan deposit amiloid sebesar 20% dari sel beta.

     Sebagian peneliti menemukan sel beta menjadi buta (blind) atau tidak responsif terhadap kenaikan kadar glukosa dalam plasma. Disamping itu defek pada “glucose tranporter” (GLUT-2) yang mengfasilitasi masukan (intake) glukosa dalam sel beta dapat menyebabkan gangguan pembentukan ATP yang menyebabkan terowongan kalium (K-Channels) terbuka sehingga proses eksositosis tidak berlangsung sehingga sekresi insulin tidak meningkat. Beberapa sarjana membuktikan adanya kelelahan (exhaustion) sel beta akibat hipersekresi insulin sebelumnya (resistensi insulin) atau akibat peranan faktor genetik atau lingkungan yang menyebabkan sel beta peka atau sensitif mengalami kelelahan. Selain itu hilangnya fungsi sel beta dapat disebabkan oleh mekanisme biokimiawi yang integral dengan resistensi insulin seperti efek toksik glukosa (glukotoksisiti), lipotoksisiti atau keduanya glikolipoksia

Gangguan sekresi insulin postprandial

  Toleransi glukosa terganggu (TGT) adalah suatu stadium intermediat antara toleransi glukosa yang normal dan DM yang overt. Stadium pertama pada perkembangan Toleransi glukosa terganggu (TGT) adalah menurunnya pengendalian glukosa postprandial  dalam darah akibat gangguan sekresi insulin  postprandial .  Ketidak mampuan sekresi insulin postprandial pada TGT membuktikan disfungsi sel beta timbul  lebih awal sebelum terjadinya DM tipe-2.

   Pada DM-tipe-2  kadar  insulin plasma postprandial menurun dan terlambat, sedang kadar glukosa plasma postprandial memperlihatkan kenaikan yang berlebihan dan lebih lama dibanding dengan nilai normal. 







    Naik turunnya sekresi insulin rata-rata pada DM tipe-2 sangat perlahan dibanding dengan non diabetes dan kadang-kadang tidak berespons pada saat pemberian makanan . Dalam keadaan sebelum makan  atau puasa sekresi insulin pasien DM tipe-2 sama dengan non diabetes dimana sekresi basal rata-rata masih dalam batas normal, namun kadar glukosa plasma  masih tetap tinggi . Dengan demikian dapat disimpulkan kadar glukosa plasma pada saat puasa maupun postprandial lebih tinggi pada DM tipe-2, akan tetapi kadar insulin plasma tidak meningkat sebagaimana kadar insulin plasma pada non diabetik. Hal ini berarti ada ketidak mampuan sel beta mensekresi insulin lebih banyak untuk menurunkan kadar glukosa plasma.

    De Fronzo mengumpulkan 32 hasil penelitian Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) pada pasien DM tipe-2 non-obese. Dari 32 penelitian ditemukan 16 peneliti yang melaporkan kadar insulin plasma setelah beban glukosa adalah rendah, 11 peneliti melaporkan respon insulin normal, dan sisanya 5 peneliti kadar insulin plasma meninggi. Data ini menunjukkan kadar insulin plasma postprandial menurun akibat defisiensi sekresi insulin oleh sel beta

   Pada hiperglikemia postprandial sebagaimana TGT (Toleransi glukosa terganggu)akan meningkatkan risiko komplikasi vaskular pada penderita DM tipe-2. Penelitian “ Diabetes Intervention Study” (DIS) selama follow-up 11 tahun  menyimpulkan  bahwa kenaikan glukosa postprandial pada DM tipe-2 merupakan faktor risiko infark miokard dan akan meningkatkan mortalitas kardiovaskular.

  Hal yang sama dilaporkan  oleh :”Paris Prospective Study” memperlihatkan adanya kenaikan secara bermakna kadar trigliserida dan kolesterol plasma dan  2 jam postprandial pada TGT atau DM tipe-2 yang  meninggal oleh karena Penyakit Arteri Koroner (PAK).

   Gangguan vaskuler sudah dapat terjadi sebelum diagnosis  hiperglikemia dan dapat berlansung terus pada TGT. Penebalan pada tunika intima dan tunika media arteri karotis  meningkat secara bermakna   pada TGT bila  dibanding dengan individu normal membuktikan bahwa perkembangan aterosklerosis sudah ada sebelum onset DM tipe-2. 

    Data dari “Helsinki Policemen Study” memperlihatkan meningkatnya risiko kelainan kardiovaskuler seperti angka kematian akibat penyakit arteri koroner pada laki-laki yang berumur 30-59 tahun mempunyai hubungan  secara bermakna dengan kenaikan kadar glukosa plasma 1 jam postprandial  selama 5 tahun penelitian . Mekanisme yang pasti tentang hubungan kenaikan kadar glukosa plasma 1 jam postprandial dengan angka komplikasi vaskuler belum diketahui dengan pasti, akan tetapi diduga akibat kenaikan kadar glukosa plasma postprandial dapat bersifat toksik  terhadap lapisan sel endotel pembuluh darah . Kenaikan kadar glukosa menyebabkan gangguan fungsional dan gangguan struktur sel endotel yang meningkatkan permeabilitas dan substansi influx seperti lipid dari sirkulasi kedalam  dinding pembuluh darah yang pada tahap lanjut mempercepat aterosklerosis . Hiperglikemia akut ternyata dapat  pula meningkatkan kadar dan adhesi molekul ICAM-1 yang meningkatkan adhesi lekosit pada sel endotel  yang merupakan salah satu dari langkah awal dari proses aterogenik .

Gangguan ‘Prandial Glukose Regulation’ (PGR)

    Penelitian Owens dkk memperlihatkan kadar insulin plasma puasa pada DM tipe-2 adalah sama dengan orang sehat, walaupun kadar glukosa plasma meningkat, disamping itu  kuantitas total sekresi insulin selama 24 jam  pada  pasien DM tipe-2 adalah sama dengan non diabetes menunjukkan  bahwa ada defisit secara kuantitatif pada sekresi insulin  postprandial  untuk menurunkan kadar glukosa plasma .
   Pada DM tipe-2 kenaikan kadar glukosa plasma postprandial menyebabkan sel beta berusaha meningkatkan sekresi insulin, namun tidak mampu untuk mengatasi kenaikan kadar glukosa plasma. Glukosa plasma postprandial   meningkat tajam dan belum sempat untuk kembali ke level yang normal  pada saat sebelum makan berikutnya menyebabkan kadar glukosa secara keseluruhan meningkat. Dengan menurunkan kadar glukosa plasma postprandial maka kadar glukosa plasma puasa menurun sebagaimana dengan sekresi insulin puasa pada non DM. Oleh karena itu  seyogyanya untuk mendapatkan kadar glukosa darah 24 jam yang terkontrol baik, sudah cukup   dengan cara  menurunkan kadar glukosa plasma setelah makan.

   Terapi yang dipakai selama ini tidak secara khusus mentargetkan sekresi insulin pada Prandial Glukose Regulation (PGR) . Obat hipoglikemik oral seperti sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah   selama 24 jam pada DM tipe-2, akan tetapi tidak memperbaiki sekresi insulin yang abnormal kearah acuan fisiologis dan tidak berefek pada hiperglikemia postprandial.     Untuk hal tersebut diatas maka diperlukan obat yang kerjanya merangsang sekresi insulin secara cepat dan bekerja dalam waktu yang singkat (Rapid onset and Short duration of action) mengembalikan sekresi insulin kenormal terutama selama periode postprandial  . Strategi pengobatan alternatif ini yaitu regulasi gangguan PGR merupakan pendekatan baru pengelolaan pasien DM tipe-2. Obat pertama sebagai  “Prandial Glucose Regulator” yang dapat dipakai sebagai pengobatan DM tipe–2 adalah repaglinid yang dikenal sebagai obat nonsulfonilurea sekretogog insulin mampu menjawab permasalahan pada DM tipe-2.

RINGKASAN

   Patogensesis DM-tipe-2 sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, namun ada 2 faktor yang berperan adalah faktor genetik dan lingkungan keduanya akan menyebabkan gangguan sekresi insulin dan gangguan kerja insulin. Gangguan sekresi insulin disebabkan oleh karena glukosa plasma yang meningkat, gangguan pada GLUT- 2 atau gangguan pada enzim-enzim dalam sel beta pankreas, kelelahan pada sel beta dan gluko-lipoksia. Toleransi glukosa terganggu adalah salah satu akibat gangguan sekresi insulin setelah makan dan merupakan gejala awal sebelum DM manifest dan hal ini akan lebih nyata pada DM yang overt.  Mekanisme gangguan glukosa postprandial menyebabkan komplikasi vaskuler belum diketahui dengan pasti, namun hal ini  diduga karena pengaruh toksik  dari kenaikan kadar  glukosa darah postprandial  pada lapisan sel endotel dari pembuluh darah.

  Pada DM tipe-2, disfungsi sel beta berkaitan dengan makan dan kadar glukosa plasma posprandial meningkat tajam dan tidak kembali kenormal sampai jam makan berikutnya sehingga secara keseluruhan kadar glukosa plasma meningkat. Dengan menurunkan kadar glukosa plasma postprandial akan menurunkan glukosa plasma puasa dan sekresi insulin puasa masih dalam batas normal.

  Gangguan Prandial Glukose Regulation (PGR) sangat penting diatasi pada DM tipe-2 dan sangat erat hubungannya dengan disfungsi sel beta dan obat sulfonilurea tidak bekerja secara spesifik pada sekresi insulin postprandial, oleh karena itu diperlukan suatu obat yang kerjanya cepat menurunkan kadar glukosa darah postprandial dengan meningkatkan sekresi insulin secara fisiologis.Repaglinid diharapkan dapat mampu menurunkan glukosa darah postprandial dan menjawab permasalahan pada DM tipe-2 . 
 
Daftar Pustaka

1.  Biden,TJ., Chisholm,DJ.: Insulin resistance VS insulin 

    deficiency.In Diabetes in the New  millennium. Edited by: 
    Turtle, JR., Kaneko, T. Osato,S . Endocrinology and Diabetes
    Research foundation of the University of Sidney.
    Sydney,1999:p.161- 169.
2.  Cheatham,WW. Repaglinide : A new oral blood glucose-lowering

    agent. Clin Diabetes.16 : 70-72..
3.  Chow,CC . Repaglinide for prandial glucose regulation.

    Medical Progress with medicine digest.27:37-40,2000.
4.  De Fronzo,RA, Ferrannini,E., Koivisto,V. New Concepts in the

    pathogenesis and treatment on NIDDM.Am J. Med. 74: 
    52-81,1983.
5.  Kikuchi,M.: New antidiabetic drugs : Rapid-onset and short-

    duration insulin secretagogues and new insulin sensitisers.
    In Diabetes in the New millennium. Edited by: 
    Turtle,JR.,Kaneko,T.,Osato,S . Endocrinology and diabetes
    research foundation of the University of Sidney. 
    Sydney,1999:p.239- 250.
6.  Lebovitz,HE.:Insulin secretogogues : Old and New. Diabetes 

    Reviews, 7: p.139 – 153.
7.  Matthews,DR., Clark, A.: B- cell defects and pancreatic 

    abnormalities in non insulin dependent diabetes mellitus  in
    Text book of diabetes edited by : Pickup,J. and Williams,G.
    ,vol 1,2nd edit. Blackwell Science ;1997,p.21.1-21.14.
8.  Product Monograph  Novonorm.( Rapiglinide / Novo Nordisk ) : 

    NovoNorm at-glance. p.7-13.


Artikel dibacakan pada SIMPOSIUM DIABETES MELITUS dengan tema
“New Approach in the Treatment of Type 2 Diabetes”
Makassar  21 – 22 Oktober 2000
 
Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Dokter Network Angk 97