Bagaimana menigkatkan kualitas hidup penderita diabetes usia lanjut

Oleh : Prof. DR. dr RRJ Sri Djokomoeljanto, SpPD-KE
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUP. Dr. Kariadi/FKUNDIP
Semarang


PENDAHULUAN

   Populasi usia makin meningkat di Indonesia dan di dunia. Dari hasil penelitian Boedhi Darmojo dan Krispranarko (1978) ditemukan bahwa indikasi perawatan usia lanjut di RS Dr Kariadi Semarang  10.7% karena penyakit endokrin metabolik, sebagai urutan ke tiga sesudah kardiovaskuler dan infeksi. Tetapi di Barat Stieglitz justru melihat bahwa  penyakit endokrin dan metabolik menempati urutan kedua. The quality of life is more important than its quantity alone (Graber 1976), demikian dikutip oleh Boedhi-Darmojo. Karya akhir Sarwoko (1996) menemukan dari 102 pasien usia lanjut yang dirawat maupun berobat jalan di RS Dr Kariadi, 6.9% menderita diabetes dan 38.2% menunjukkan gangguan toleransi glukosa (IGT). Pada usia lanjut kejadian penyakit kardioavaskuler cukup tinggi lebih lebih pada diabetes. Malahan pada awal diabetes diketahui, hampir 50% telah menunjukkan kelainan ini, sebab sebenarnya permulaan kejadian telah berjalan antara 7-10 tahun sebelumnya.  

    Dalam artikel ini akan ditinjau beberapa aspek pengelolaan diabetes pada usia lanjut dengan memperhatikan tujuan utama geriatri, yaitu meningkatkan ‘kualitas hidup’ pasien.

Endokrinologi usia lanjut

   Pada usia lanjut, timbunan glikogen pada hepar sering sudah mengurang hingga respons terhadap hipoglikemi merupakan satu masalah tersendiri. Dengan demikian harus dijaga supaya tidak terjadi hipoglikemi pada waktu kita mengobati kasus diabetes usia lanjut. Di samping membahayakan, sekali kejadian akan menimbulkan apa yang disebut sebagai hypoglycemia unawareness , dimana respons tubuh terhadap hipoglikemi akan berkurang .


      Beberapa ciri diabetes pada usia lanjut adalah sebagai berikut (Stout 1997) : (a) meskipun kadar glukosa naik berdasarkan usia  tetapi kriteria yang digunakan untuk diagnosis tetap menggunkan kriteria WHO. (b) gangguan DM-2 utama pada otot skelet dan sekresi insulin yang terganggu pada fase pertama dan fase selanjutnya yang rendah tidak ‘sepadan-appropriate’ dibanding hiperglikeminya. (c) Gejala serta tanda diabetes usia lanjut sering tidak khas dan biasanya sudah menunjukkan komplikasi berupa  komplikasi kardiovaskuler, hipertensi, nefropati, katarak, serta neuropati.(d) Mereka butuh pengobatan untuk menghilangkan gejala serta mencegah krisis hiperglikemi.(e) Baik OHO maupun insulin sering menyebabkan hipoglikemi, dan awas akan hypoglycemia unawareness. (f) tentang obat perlu diperhatikan ‘interaksi obat.

   Beberapa faktor risiko yang menyebabkan gangguan toleransi glukosa (IGT) pada usia lanjut ialah: masa lemak yang tambah, kurangnya aktivitas fisik, kurang masukan karbohidrat, gangguan faal ginjal, hipokalemi karena diuretika, meningkatnya aktivitas saraf simpatis, dan penggunaan obat ‘diabetogenik’ (Stout 1997). Kita ketahui bersama bahwa IGT  merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskuler, seperti yang diobservasi selama 7 tahun di Fugata Jepang (Tominaga 1999).

Pengelolaan diabetes pada usia lanjut

   Prinsipnya tidak ada perbedaan antara mengelola kasus dewasa maupun usia lanjut. Harus diawali dengan perubahan pola hidup, yang saya yakin akan amat sulit bagi orang tua. Tujuan tetap sama yaitu mencapai kontrol metabolik (kadar glukosa dan HbA1c), lipid, tensi, berat  yang optimal. Secara menyeluruh pengelolaan diabetes adalah merubah perilaku, baik merubah pola makan maupun aktivitas fisik. Kalau dahulu aturan demikian ‘kaku–rigid’ maka kini sudah lebih lunak, fleksibel, asal dilakukan dengan baik. Pengobatan kini lebih individualized dengan mengacu pada respons metaboliknya. Perubahan perilaku kiranya akan banyak dibantu oleh tenaga kesehatan, dari dokter sampai tenaga perawat, edukator dsb. Ketaatan pasien ‘compliance’ terhadap pengelolaan yang akan berjalan selama hidup memang merupakan tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan, lebih lebih pada kelompok usia lanjut.

     Problem pengobatan diabetes yang mungkin muncul pada usia lanjut adalah : (a) obat yang kurang tepat, (b) terlalu banyak obat yang diberikan (polifarmasi), (c) ‘compliance’ kurang (d) berubahnya farmakokinetik serta farmakodinamik dan akhirnya (e) karena ada efek samping obat (Stout 1997).
 
Perencanaan  makan serta menurunkan berat badan

     Masalah ini sulit karena melibatkan ‘perubahan perilaku’. Harus kita sadari bahwa penurunan berat sedikitpun telah mempunyai efek metabolik yang cukup besar. Pada usia lanjut dengan perbaikan kontrol metabolik diharapkan pasien ‘merasa lebih sehat, dan lebih baik’ sehingga (a) poliuri serta inkontinensi berkurang, (b) diharapkan ada perbaikan penglihatan serta didapatkan rasa bugar. Dalam hal diit perlu diberikan saran yang sederhana, tidak bertele-tele, misalnya : meneruskan kebiasaan macam diitnya dengan mengatur jumlahnya, termasuk sayuran, buah-segar, jumlah kalori (apakah ia overweight atau justru underweight) dengan memasukkan kacang-kacangan sebagai sumber karbohidrat. Lemak binatang dibatasi dan cairan harus cukup. Setidaknya jangan sampai terjadi dehidrasi karena diuresis osmotik.

     Meningkatkan kadar serat dalam diit diabetes ternyata dapat menurunkan glukosa darah harian rerata serta mengurangi episode hipoglikemi, khususnya pada diabetes tipe 1 (Giacco 2000). Untuk memberikan makanan yang ‘palatable’ dipilihkan makanan yang ber’indeks - glikemik’ rendah.   Khusus pada pasien obese dengan DM ringan, menurunkan berat badan dengan konsentrasi utama pada ‘abdominal-fat’ memang memperbaiki efek insulin (misalnya hepatic glucose production, HbA1c dsb) meskipun sekresi insulin tidak banyak berubah (Markovic 1998).

     Masukan lemak perlu dikurangi sebab lemak meningkatkan resistensi insulin. Makan yang dibagi merata dalam 6 x sehari lebih baik daripada 3 x makan besar. Umumnya perubahan perilaku makan ini baru akan berhasil dalam 3 bulan, jadi tidak perlu segera sebab yang dibutuhkan adalah ‘ketaataan’ selanjutnya (Franz 1997). Suplemen jus tomat dapat menurunkan kadar lycopen plasma yang menghambat oksidasi LDL dan CRP yang merupakan faktor risiko infark miokard (Upritchard 2000).

Olah raga

   Ciri ‘menua’ ialah menurunnya fungsi dan struktur sel serta jaringan berbagai organ. Secara faali otot akan berkurang massa maupun kekuatannya, kapasitas jantung dan aerobik berkurang, tetapi jumlah lemak tubuh bertambah. Ternyata ‘excercise’ dapat mencegah atau memperlambat kegagalan fungsional. Dari pihak kardiovaskuler olah raga juga menurunkan mortalitas. Meskipun sudah diterangkan dengan baik, di Barat, hanya 50% pasien patuh menjalankan olahraga ini.  
 
     Hal yang menggembirakan ialah bahwa dengan latihan 6 minggu pada pasien usia lebih dari 80 tahun, terlihat perbaikan 17-72%  di atas nilai basalnya. (Jan Busby-Whitehead 1995).

  Kombinasi olah raga,  pengaturan makan dan menurunkan berat badan ,memberi hasil kadar glukosa puasa serta insulin OGTT lebih baik dibandingkan hanya dengan diit saja. Ternyata juga penurunan yang baik ini berhubungan dengan berkurangnya lemak-perut (‘visceral abdominal fat’). (Rice 1999).

   Latihan olah raga memang sulit dibakukan. Kegiatan habitual dengan pengeluaran kalori 8500 kcal/minggu menurunkan 30% mortalitas dibanding yang sedikit. Adapun latihan fitness (terutama wanita) terbukti pula dapat menurunkan angka kematian.

Penanganan medikamentosa

   Obat hipoglikemik oral (OHO) sering digunakan apabila diit, olah raga serta penurunan berat badan tidak menghasilkan kontrol metabolik yang diharapkan. Sebagian besar pasien mendapat obat hipoglikemik oral, namun jarang yang mencapai kadar sasaran. Dalam kurun waktu tertentu manfaat OHO makin berkurang, malah sering terjadi ‘secondary failure’ Masalah ini disebabkan karena 2 hal pokok : pasien kurang taat pada diitnya, dan sel beta pankreas fungsinya berkurang dengan kurun waktu (karena  adanya proses glucotoxicity, lipotoxicity dsb).  Dalam memilih OHO perlu diingat faktor faktor sebagai berikut: (Silliman 1995).

(1) Karena metabolisme sebagian di hati, awasi pada kasus dengan 
    gangguan hepar berat
(2) Insufisiensi ginjal akan memperlama waktu paruh dari berbagai
    OHO seperti contohnya tolbutamide, gliburide, glipizide
(3) Hendaknya hati hati pada obat yang berefek lama, sebab dapat
    menimbulkan hipoglikemi dengan berabagai akibatnya, termasuk
    kecenderungan hiponatremi. Berkenaan dengan ini   
   ‘chlorpropamide’ jangan dipakai pada usia lanjut.
(4) Glipizide perlu digunakan dengan waspada sebab juga dapat
    menyebabkan hipoglikemi pada usia lanjut, namun gliclazide
    mungkin lebih baik karena tidak mempunyai metabolit aktif.
    Dua obat ini tidak berinteraksi dengan obat lain.
(5) Bagaimana dengan obat baru yang lain?

        Perlu pula dikaji apakah pemberian obat meningkatkan berat badan atau mempengaruhi otot jantung dengan potassium channelnya, dan bagaimana ‘compliance’ penggunaan obatnya ? (Djokomoeljanto 2001).

  Sebagian besar kasus usia lanjut masih menggunakan sulfonilurea. Studi UGDP di tahun 70an yang menunjukkan efek negatif sulfonilurea (SU) sehingga SU banyak dikritik, kini telah dapat dijelaskan dengan dapatan baru. Sekresi insulin diatur oleh saluran (channel) K di plasma membran yang sensitif terhadap ATP (KATP). KATP terdiri dari 2 subunit: Kir6.2 (‘channel pore-forming subunit’) dan SUR1 (‘sulfonylurea receptor’) yang coupled. Apabila molekul SU  menempel pada SUR1 efluks K+ berkurang tetapi Ca++ influks meningkat dengan akibat terjadi sekresi (eksositosis) insulin. Ternyata reseptor KATP juga terdapat di miokardium, otot polos vaskuler dan sel otak. Ditemukan pula isoform SUR1 (pankreas) yang secara struktural berbeda dengan SUR2A (cardiac) maupun SUR2B (vaskular). Di miokard dan otot polos, pada waktu basal KATP menutup, tetapi waktu hipoksi dan ischemia, saluran terbuka. Makna bagi miokard ialah kadar K+ extrasel naik sedangkan  Ca++ yang masuk ke sel selama fase plateau turun, dengan akibat durasi aksi potensial memendek, dan kontraktilitas otot turun serta konsumsi energi berkurang. Kenaikan K+extrasel dan kehilangan K+intrasel memudahkan aritmia, aritmogenik. Dengan demikian dampak membuka KATP, ialah ‘myocardial-protective’ tetapi juga ‘arrhytmogenic’.(Lebovitz 1999). Memang untuk masa mendatang dibutuhkan insulin secretagog yang ‘spesifik pankreas’ tidak mengenai miosit atau saraf pusat atau pembuluh darah. Contoh sekarang ialah ‘glimepiride’ (Smits 1996).

   SU konsentrasi tertentu menutup KATP dan dapat memblok potensi aritmogenik dan proteksi miokardium. Pada otot polos vaskuler pembukaan KATP membuat vasodilatasi. Obat yang menggangu KATP terbuka akan menghambat respons vasodilatasi vasa terhadap ischemi dan hipoksia. Pada ischemi koroner pembukaan KATP dan turunnya C++intrasel merupakan kunci terjadinya vasodilatasi pada hipoksi dan iskemi. Percobaan pada anjing menunjukkan bahwa proses ini terganggu oleh glibenclamide. Agaknya efek SU di atas tergantung dari kuatnya ikatan SU ini dengan KATP  miokard dan otot polos.

   Dikatakan ikatan glimepiride ini cukup longgar dibanding glibenclamide (Lebovitz1999). Glimepiride,GP generasi III bersifat ganda kuat: betacytotropic maupun extrapankreas. Asosisasi dan disosiasi glimepiride terhadap protein membran sel tinggi (asosiasi 2-3x dan disosiasi 8-9x dari glibenclamide atau gliburyde ). Kalau glimepiride terikat pada protein 65-kDa (glimepiride binding site), maka glibenclamide terikat pada protein 140-kDa (glibenclamide binding site). (Schnell 1999, Kobayashi 1999). glimepiride dikatakan obat yang safe untuk DM-2 dengan risiko, seperti gangguan faal ginjal, usia lanjut, pasien yang sangat aktif, lagipula hipoglikemi jauh lebih sedikit ketimbang glibenclamide (Roskamp 1996).  

   Pada usia lanjut ada berbagai hal yang mengganggu pemberian obat. Antara lain terjadinya perubahan absorbsi, perubahan volume distribusi obat, berkurangnya metabolisme obat di hepar dan menurunnya eliminasi obat dan metabolitnya dari badan lewat ginjal.  Seperti diketahui klirens kreatinin dapat diestimasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Cl = (140-usia) x berat (kg) / 72  x kreatinine serum. Untuk wanita harus dikalikan dengan 0.85 Biasanya pada usia lanjut kreatinin normal , karena masa otot berkurang dan sendirinya produksi kreatinin juga kurang. (Hume & Owens 1995).

Data tentang glimepiride

   Glimepiride merupakan generasi sulfonilurea (SU) di samping dosis kecil, punya efek dobel : yaitu betasitotropik dan efek ekstrapankreas kuat. Sifatnya dapat diresumekan sebagai berikut: Asosiasi dan disosiasi cepat memberi efek segera dan bahaya hipoglikemi kurang serta sekaligus menjaga sel beta jangan cepat ‘exhausted’; stimulasi glukagon kurang dibanding sulfonilurea (SU) lain.‘hepatic-insulin-uptake’ menurun ; glucose-transpor-molecules di membran plasma (GLUT1, GUT4) sel otot dan lemak bertambah dengan cepat ; diberikan dalam dosis tunggal waktu pagi dengan hasil baik ; obat dimetabolisir di hati dan 60 % dosis dikeluarkan lewat ginjal ; selama aktivitas fisik justru kadar C-peptide dan insulin menurun yang merupakan upaya fisiologis mencegah hipoglikemi dan terakhir glimepiride tidak mempengaruhi efek vasokonstriksi pembuluh darah dan miosit (Schnell 1999, Kobayashi 1999).

  Dalam meninjau manfaat pengobatan diabetes secara holistik-praktis, maka hasil MICRO-HOPE dapat kita telaah lebih lanjut. Observasi 3577 kasus diabetes dengan risiko tinggi selama 5 tahun yang diobati degan ramipril , vitamin E, plasebo, namun  setelah 4.5 tahun penelitian kemudian dihentikan karena para peneliti demikian yakin akan keberhasilannya. Hasilnya: primary outcome turun 25%, infark miokard turun 22%, stroke  turun 33%, kematian kardiovaskuler turun 37%, revaskularisasi turun 17%, nefropati turun 24%.

   Pengalaman di Austria: dengan glimepiride meskipun HbA1c turun, tetapi berat badan rerata juga turun (beda dengan observasi penggunaan OHO pada UKPDS), dan para ahli geriatri amat puas dengannya sebab meskipun pola usia lanjut sulit diikuti, namun dosis sekali sehari mampu mengatasi gangguan glikemi, tolerable serta risiko hipoglikemi rendah (JATROS 1999).

Berdasarkan tinjauan di atas mengelola diabetes usia lanjut dan meningkatkan  kualitas hidupnya adalah sebagai berikut :
 
(1) Tujuan utamanya pengelolaan ialah mencegah krisis 

    hiperglikemi, mencegah komplikasi akut lain dan 
    mengurangi  risiko kardiovaskuler.
(2) Merencanakan makan dan menurunkan berat badan bagi pasien

    overweight perlu mendapat prioritas, sebab menurunkan  
    sedikit telah punya arti metabolik besar.
(3) Pendekatan individual perlu ditekankan, khusus tentang diit

    (mengenai beberapa kali, komposisi makanan, gunakan suplemen
    kalau perlu, gunakan bahan dengan indeks-glikemi rendah, 
    serat cukup), aktifitas fisik perlu  disesuaikan dengan 
    keadaan pasien ( sebaiknya minimal 4 kali seminggu, 2 kali 15
    menit sehari )
(4) Tentang obat : sebisa mungkin dengan dosis yang mudah 

    (‘once-a-day dose’ lebih baik dari ‘multiple dosing’), 
    pilih yang paling sedikit  memberi hipoglikemi , pilih pula
    yang patofisiologis mendukung perbaikan penyakitnya 
    (memperbaiki abnormalitas post-receptor), dan tidak 
    menyebabkan berat badan pasien meningkat.

Ringkasan

   Seorang berusia lanjut yang menderita diabetes membutuhkan perhatian yang lebih, baik dari segi perubahan perilaku yang harus dilaksanakannya, maupun ketaatan akan pengelolaan diabetesnya.

   Berhubung sebagian besar sudah mengalami komplikasi baik secara subklinis maupun klinis, pengobatan hendaknya diarahkan secara rasional, sedapat mungkin mencakup keseluruhan kelainaan sekaligus. Dipilihkan pengobatan yang mudah, seperti ‘dosis- tunggal’, memberi komplikasi hipoglikemi minimal, selain punya efek extrapankreas menguntungkan yang banyak. Hendaknya dihindarkan ‘kelainan yatrogenik’

Daftar Pustaka

1.  Boedhi-Darmojo R. Bunga rampai karangan ilmiah Prof R.Boedhi-
    Darmojo. Bag.Penyakit dalam F.K.Undip, 1996.
2.  Bijlstra. Diabetologia 1999 ; 39 : 1083.
3.  Busby-Whitehead J. Exercise in the elderly. In : Care of the
    Elderly. Clinical aspects of aging. Editor  William Reichel,
    JJ Gallo, Jan Busy-Whitehead, Delfs JR and Murphy JB..
    Williams Wilkins 1995, page 101.
4.  Djokomoeljanto R. Konsep Baru menangani diabetes tipe 2 pada
    penderita penyakit kardiovaskuler. Cardiology  Update:
    Memasuki millenium ke 3". Widya Loka , Editor: Handono Kalim,
    Djanggan Sargowo, Pawik Siupriadi, Putu  Moda Arsana. Unibraw
    Malang  Juli 2001.
5.  Franz MJ: Life-style modificatios for diabetes management.
    Endocrinology and Metabolism Clinics of North  America ; 26
    :499, 1997.
6.  Gambert SR. Endocrinology and Aging. In : Care of the 
    Elderly. Clinical aspects of aging. Editor William  Reichel, 
    JJ Gallo, Jan Busy-Whitehead, Delfs JR and Murphy JB.. 
    Williams Wilkins 1995. Page 365.
7.  Giacco R, Pariello M, Rivelesse AA et al. : Long-term
    dietary treatmnt with increased amounts of fibre-rich  
    low-glycemic index natural foods improves blood gucose 
    control and reduces the number of hypoglyecmic events in 
    type 1 diabetic patients, Diabetes Care ; 23 : 1461, 2000.
8.  Heilbronn LK, Noakes M, Clifton PM.:Effect of energy 
    restriction, weight loss, and diet composition on plasma 
    lipids andf glucose in patients with type 2 diabetes. 
    Diabetes Care ; 22 : 889, 1999.
9.  HOPE investigators. Effects of an angiotensin-converting 
    enzyme inhibitor, ramipril, on cardiovascular   events in
    high-risk patients. N Engl J Med 2000 a ; 342 : 145-153.
10. HOPE investigators. Effects of ramipril on cardiovascular and
    microvascular outcomes in people with  diabetes mellitus:
    results of the HOPE study and MICRO-HOPE substudy. Lancet
    2000 b ; 355 : 253.
11. Hume AL, Owens NJ. Drugs in the elderly. In : Care of the 
    Elderly. Clinical aspects of aging. Editor  William Reichel,
    JJ Gallo, Jan Busy-Whitehead, Delfs JR and Murphy JB..
    Williams Wilkins 1995. Page 41.
12. JATROS (Diabetes ad Metabolism) Cooperation of the Asustrial 
    Diabetes Society and Austrian Adipositas Society, special
    edition, ISSN 1019-3332, 1999.
13. Klepzig H, Kober G, Matter C et al. Sulfonylureas and
    ischemic conditioning. A double-blind , placebo-controlled 
    evaluation of glimepiride and glibenclamide. Eur Heart J
    1999; 20 : 439-466
14. Kobayashi M. Glimepiride: an oral antidiabetic agent. In :
    Diabetes in the Millennium. Ed JR Turtle, et al.  
    Endocrinology and Diabetes Research Foundation, University of
    Sydney, 1999, page 203.
15. Lebovitz HE. Effects of oral antihyperglycemic agents in 
    modifying macrovascular risk factors in type 2 diabetes.
    Diabetes Care ; 22 (suppl) : C41-C44., 1999.
16. Markovic TP, Jenkins AR, Campbell LV et al. : The 
    determinants of gluycemic responses to diet restriction  and
    weight loss in obesity and NIDDM. Diabetes Care ; 21 : 687, 
    1998.
17. Rice B, Janssen I, Hudson R, Ross R.: Effects of aerobic or 
    resistance exercise and / or diet on glucose  tolerance and 
    plasma insulin levels in obese men. Diabetes Care ; 22 : 684,
    1999.
18. Rooskamp R, Wernicke-Panten, Draeger E. Clinical profile of
    the novel sulphonylurea glimepiride. Diabete  Research and 
    Clinical Practice 31 (Suppl. (1996) S33-S42.
19. Sarwono B.S. Gambaran toleransi glukosa pada usia lanjut.
    Laporan Penelitian Karya Akhir PPDS-1. Bagian  Ilmu Penyakit
    dalam F.K.Undip / RSDr Kariadi, Semarang, 1996.
20. Schnell O, Mehnert H, Standl E. Oral antidiabetic agents :
    sulfonylureas. In: ‘Diabetes in the Millennium’  Ed:JR 
    Turtle, T Kaneko, S Osato. Endocrinology and Diabetes 
    Research Foundation Univ Sydney 1999, page 195.
21. Silliman RA. Diabetes mellitus in the elderly patient. In :
    Care of the Elderly. Clinical aspects of aging. Editor 
    William Reichel, JJ Gallo, Jan Busy-Whitehead, Delfs JR and
    Murphy JB.. Williams Wilkins 1995.page 378.
22. Smits P, Bijlstra P, Russel FGM et al. Cardiovascular effects
    of sulphonylurea derivatives. Diabetes  Research aad
    Clinical Poractice 31 Suppl. (1996) S55-S99.
23. Stalker D, Dawn M, Ogrine FG . The effect of age and dosing 
    regimen on the pharmaco kinetics ogf  glimepiride in subjects
    with non insulin dependent diabetes mellitus. Abstract Pharm
    Res 1994; 11 (Suppl) : S339. PPDM 8025.
24. Stout RW. Old age and diabetes mellitus. In: Textbook of 
    Diabetes. Chapter 74. Ed: Pickup JC, Williams G. 2nd edition,
    volume 2.
25. Tominaga M, Eguchi H, Manaka H et al. Impaired glucose 
    tolerance is a risk factor for cardiovascular  disease, but 
    not impaired fasting glucose. Diabetes Care;22:920, 1999.
26. Upritchard JE, Sutherland WHF, Mann JI. : Effect of 
    supplementation with tomato juice, vitamin E and   vitamin C
    on LDL oxidation and products of inflamatory activity in type
    2 diabetes. Diabetes Care ; 23 : 7 , 2000.
27. Vegh A, Papp JG : Haemodynamic and other effects pof 
    sulfonylurea drugs on the heart. Diabetes Research and 
    Clinical Practice 31 Suppl (1996) S43-S53.


Artikel/naskah dibacakan pada simposium diabetes melitus dengan tema Diabetes and Cardiovascular Disease 20 – 21 Oktober 2001, acara diadakan oleh PERKUMPULAN ENDOKRINOLOGI INDONESIA (PERKENI), CABANG MAKASSAR Bekerja sama dengan BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

Artikel/naskah dipublikasikan untuk tujuan pendidikan.

Sedikit informasi kepada pembaca, agar dapat mencari artikel kedokteran yang dibutuhkan, silahkan klik pada sidebar(blog archive), klik berdasarkan tahun dan bulannya, disitu pembaca dapat melihat sejumlah artikel kedokteran yang telah dipublikasi sebelumnya. Mohon maaf jika sekiranya artikel yang anda cari belum dipublish di blog ini


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Dokter Network Angk 97