Oleh : DR. Dr. Djoko Wahono Soeatmadji, SpPD-KE
Sub-Bagian Endokrin Metabolik
Bagian Penyakit Dalam Fak. Kedokteran Universitas Brawijaya
RSUD. Dr. Saiful Anwar, Malang
I. PENDAHULUAN
Penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab utama kematian pada pasien diabetes melitus tipe 2. Sekitar 80% pasien DM tipe 2 meninggal akibat penyakit jantung koroner (PJK). Resistensi insulin dan gangguan kemampuan sekresi sel beta merupakan gambaran utama patogenesis diabetes melitus tipe 2. Berbagai gangguan metabolisme yang dijumpai pada DM tipe 2 atau pada sindrom resistensi insulin seperti hiperglikemi, hiperinsulinemi, hipertensi, gangguan fibrinolisis, dan koagulasi menjurus ke arah percepatan atherosklerosis serta dislipidemia .
Penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab utama kematian pada pasien diabetes melitus tipe 2. Sekitar 80% pasien DM tipe 2 meninggal akibat penyakit jantung koroner (PJK). Resistensi insulin dan gangguan kemampuan sekresi sel beta merupakan gambaran utama patogenesis diabetes melitus tipe 2. Berbagai gangguan metabolisme yang dijumpai pada DM tipe 2 atau pada sindrom resistensi insulin seperti hiperglikemi, hiperinsulinemi, hipertensi, gangguan fibrinolisis, dan koagulasi menjurus ke arah percepatan atherosklerosis serta dislipidemia .
Pendekatan pengelolaan pada pasien diabetes melitus tipe 2 seharusnya tidak hanya mempertimbangkan tingginya kadar glukosa darah, tetapi juga memperhatikan berbagai variabel yang mempengaruhi risiko kardiovaskuler. Berbagai obat hipoglikemik oral mampu menurunkan hiperglikemi secara efektif, tetapi kurang memberi pengaruh yang menguntungkan terhadap faktor risiko penyakit kardiovaskuler.
Terapi diabetes melitus tipe 2 yang obes, diawali dengan diit restriksi kalori dan latihan jasmani, dilanjutkan dengan obat hipoglikemi oral (OHO) baik tunggal maupun kombinasi, dan akhirnya pasien mungkin memerlukan insulin untuk kendali hiperglikeminya. Pendekatan tersebut mempunyai berbagai keterbatasan yang menimbulkan kekecawaan terhadap keberhasilan terapi jangka panjang. Kendali hiperglikemi yang berhasil mencegah atau menunda progresivitas angiopati mikro tidak diikuti dengan keberhasilan menekan risiko komplikasi angiopati makro .
Obat golongan thiazolidinedione (TZD) yang juga dikenal sebagai glitazone (GTZ) merupakan obat hipoglikemik oral kelas tersendiri. TZD mempunyai cara kerja yang unik, yang berbeda dengan obat hipoglikemik yang saat ini telah digunakan. Glitazone memperbaiki bekerjanya insulin endogen, terutama di otot kerangka (skeletal), jaringan lemak serta hati, dan oleh sebab itu glitazone (GTZ) dikenal sebagai insulin sensitizers.
Thiazolidinedione (TZD) merupakan ligand sintetik yang berikatan dengan PPAR gamma. PPAR gamma adalah reseptor ligand yang terletak di dalam inti dan merupakan faktor transkripsi gen (-gen) yang mempengaruhi fungsi insulin. thiazolidinedione (TZD) terbukti efektif menurunkan hiperglikemi serta memperbaiki profil lemak darah, fungsi endotel dan trombosit, menurunkan tekanan darah serta dilatasi otot polos pembuluh darah.
II. LIGAND, HORMON, DAN RESEPTOR HORMON
1. Sistim komunikasi ekstrasel
Sistim saraf, endokrin, dan sistim imun, merupakan tiga sistim komunikasi ekstrasel yang menjamin agar suatu jaringan yang mempunyai fungsi khas (specialized tissue) dapat bekerja secara integral dan baik . Sistim saraf mentransmisikan sinyal elektrokimiawi 2 arah, dari otak ke jaringan perifer, atau diantara jaringan melalui reflex circuit. Sistim endokrin, melepas mediator kimiawi (hormon) ke dalam sirkulasi untuk bekerja di tempat yang dekat maupun yang jauh dari tempat asal mediator kimiawi tersebut diproduksi. Sistim imun melindungi organisme dari ancaman internal dan eksternal.
Hormon merupakan signaling molecule yang dihasilkan dan diatur oleh sel sebagai responsi dari “perintah” dari dalam atau dari luar sel. Signaling molecule tersebut mempengaruhi mekanisme pengendalian berbagai fungsi seluler yang terkait dengan hampir semua sistim organ (Tabel 1).
1. Sistim komunikasi ekstrasel
Sistim saraf, endokrin, dan sistim imun, merupakan tiga sistim komunikasi ekstrasel yang menjamin agar suatu jaringan yang mempunyai fungsi khas (specialized tissue) dapat bekerja secara integral dan baik . Sistim saraf mentransmisikan sinyal elektrokimiawi 2 arah, dari otak ke jaringan perifer, atau diantara jaringan melalui reflex circuit. Sistim endokrin, melepas mediator kimiawi (hormon) ke dalam sirkulasi untuk bekerja di tempat yang dekat maupun yang jauh dari tempat asal mediator kimiawi tersebut diproduksi. Sistim imun melindungi organisme dari ancaman internal dan eksternal.
Hormon merupakan signaling molecule yang dihasilkan dan diatur oleh sel sebagai responsi dari “perintah” dari dalam atau dari luar sel. Signaling molecule tersebut mempengaruhi mekanisme pengendalian berbagai fungsi seluler yang terkait dengan hampir semua sistim organ (Tabel 1).
Satu hormon mempunyai berbagai fungsi, sedangkan satu fungsi fisiologis dikendalikan oleh berbagai hormon. Misalnya, insulin selain mempengaruhi kendali metabolisme glukosa, juga mempunyai pengaruh dalam metabolisme lemak dan protein, mitogenesis, ekspresi gena dan transportasi Na+-K+ transmebran. Sebaliknya, homeostasis glukosa darah dikendalikan oleh insulin, glukagon, kortisol, epinefrin dan norepinefrin.
Koordinasi aktivitas metabolisme diantara sel-sel, jaringan, dan organ dimediasi oleh bekerjanya sinyal ekstraseluler. Berbagai bahan (agents), seperti eicosanoid (misalnya : prostaglandin), growth factors, hormon, neurotrnsmitter, pheromone bertindak sebagai sinyal ekstraseluler. Agents tersebut bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik yang terletak di permukaan sel .
Transduksi sinyal adalah suatu proses di mana sinyal kimiawi dari luar sel (external chemixcal singals) mencetuskan perubahan-perubahan metabolisme di dalam sel. Sebagian besar sinyal ekstraseluler bekerja secara tidak langsung, tetapi melalui suatu sistim berjenjang yang kompleks (complex cascade system) yang mempunyai pengaruh amplifikasi. Hal ini memungkinkan signaling molecule yang berasal dari luar sel dengan konsentrasinya sangat kecil dapat mempengaruhi fungsi berbagai protein, dan lebih lanjut menimbulkan berbagai responsi fisiologis. Berbagai bahan, seperti acetylcholine dan gama-aminobutyric acid (GABA), berikatan dengan reseptor yang sekaligus berfungsi sebagai ion channels, dan disebut ligand-gated channels.
Koordinasi aktivitas metabolisme diantara sel-sel, jaringan, dan organ dimediasi oleh bekerjanya sinyal ekstraseluler. Berbagai bahan (agents), seperti eicosanoid (misalnya : prostaglandin), growth factors, hormon, neurotrnsmitter, pheromone bertindak sebagai sinyal ekstraseluler. Agents tersebut bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik yang terletak di permukaan sel .
Transduksi sinyal adalah suatu proses di mana sinyal kimiawi dari luar sel (external chemixcal singals) mencetuskan perubahan-perubahan metabolisme di dalam sel. Sebagian besar sinyal ekstraseluler bekerja secara tidak langsung, tetapi melalui suatu sistim berjenjang yang kompleks (complex cascade system) yang mempunyai pengaruh amplifikasi. Hal ini memungkinkan signaling molecule yang berasal dari luar sel dengan konsentrasinya sangat kecil dapat mempengaruhi fungsi berbagai protein, dan lebih lanjut menimbulkan berbagai responsi fisiologis. Berbagai bahan, seperti acetylcholine dan gama-aminobutyric acid (GABA), berikatan dengan reseptor yang sekaligus berfungsi sebagai ion channels, dan disebut ligand-gated channels.
2. Ligand dan reseptor
Ligand
Sebagian besar sinyal ekstraseluler berinteraksi dengan sel sasaran dengan cara berikatan dengan reseptor yang terletak di permukaan sel (membrane receptor) atau di dalam inti (nuclear receptor) dengan afinitas yang tinggi. Molekul yang secara spesifik berikatan dengan reseptor protein disebut sebagai ligand. Hormon adalah ligand.
Ligand
Sebagian besar sinyal ekstraseluler berinteraksi dengan sel sasaran dengan cara berikatan dengan reseptor yang terletak di permukaan sel (membrane receptor) atau di dalam inti (nuclear receptor) dengan afinitas yang tinggi. Molekul yang secara spesifik berikatan dengan reseptor protein disebut sebagai ligand. Hormon adalah ligand.
Agonis dan antagonis
Analog struktural ligand natural (alamiah) yang dapat berikatan dengan reseptor ligand disebut sebagai agonist. Pengaruh agonist menyerupai ligand alami, sedangkan antagonist menghalangi pengaruh ligand. Ikatan antara ligand (dan antagonis) dengan cell surface receptor akan menimbulkan perubahan-perubahan konformasional (conformational chane) reseptor. Conformational changes reseptor akan mengawali serangkaian kejadian yang menjurus ke pembentukan atau lepasnya sinyal intraseluler yang mengubah metabolisme sel.
Analog struktural ligand natural (alamiah) yang dapat berikatan dengan reseptor ligand disebut sebagai agonist. Pengaruh agonist menyerupai ligand alami, sedangkan antagonist menghalangi pengaruh ligand. Ikatan antara ligand (dan antagonis) dengan cell surface receptor akan menimbulkan perubahan-perubahan konformasional (conformational chane) reseptor. Conformational changes reseptor akan mengawali serangkaian kejadian yang menjurus ke pembentukan atau lepasnya sinyal intraseluler yang mengubah metabolisme sel.
Signaling molecule ekstraseluler (termasuk ligand atau hormon) disebut sebagai messenger pertama (first messenger), sedangkan signaling molecule intraseluler disebut sebagai second messenger.
1. Aktifasi enzim yang dimediasi oleh reseptor yang mengkatalisis
produksi second messenger,
2. Membukanya ion channel di membran plasma.
Pada keadaan-keadaan tertentu, pengaruh ligand binding terhadap reseptor tidak langsung. Reseptor tidak memproduksi second messenger , tetapi melalui G protein (guanine nucleotide binding proteins), yang terletak di sisi dalam membran plasma, dan bertindak sebagai penghubung antara reseptor dengan enzim yang menghasilkan second messenger .
Berbagai bahan yang merupakan second messenger adalah : cAMP, cGMP, Ca2+, phosphatiylinositol diacylglycerol, phosphatidylcholine (PC), sphingolipids, phosphatidic acids, signaling dengan cara fosforilasi reseptor (contoh pada : insulin, IGF 1, EGF, NGF, PDGF, CSF, TGF alpha), protein tyrosine phosphatase, dan 2 sistim komponen (sensor-regulator proteins).
Berbagai bahan yang merupakan second messenger adalah : cAMP, cGMP, Ca2+, phosphatiylinositol diacylglycerol, phosphatidylcholine (PC), sphingolipids, phosphatidic acids, signaling dengan cara fosforilasi reseptor (contoh pada : insulin, IGF 1, EGF, NGF, PDGF, CSF, TGF alpha), protein tyrosine phosphatase, dan 2 sistim komponen (sensor-regulator proteins).
3. Hormon
Hormon adalah bahan biokimiawi yang disekresikan oleh sel dan mempengaruhi fungsi sel di dalam tubuh individu dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik dan menghasilkan reaksi yang spesik di sel sasaran (target cells). Hormon mempengaruhi fungsi sel dengan cara mempengaruhi ekspresi gena dan metabolisme. Hormon bukan substrat yang mengatur kedua proses tersebut, dan oleh sebab itu hormon lebih bersifat sebagai information carriers.
Hormon-hormon yang pertama di kenal disekresikan oleh kelenjar endokrin (internal secretion). Dengan metode kultur sel, pemurnian biokimiawi, dan teknik recombinat DNA, akhir-akhir ini telah diidentifikasi berbagai non-endocrine hormones. Hormon-hormon “baru” tersebut yang disekresikan setempat (locally secreted) dan disebut sebagai paracrine. Hormon dan hormon paracrine mengendalikan homeostasis dan pertumbuhan di sel sasaran yang mengekspresikan reseptor berbagai hormon. Karena hormon tidak langsung berperan proses yang dikendalikannya, hormon juga disebut sebagai pencetus signal transduction protocols yang memberi hasil seluler yang tepat.
Klasifikasi hormon berdasar struktur kimiawinya, hormon dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu : peptida atau derifat asam amino, dan derifat steroid (Tabel 2).
Hormon adalah bahan biokimiawi yang disekresikan oleh sel dan mempengaruhi fungsi sel di dalam tubuh individu dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik dan menghasilkan reaksi yang spesik di sel sasaran (target cells). Hormon mempengaruhi fungsi sel dengan cara mempengaruhi ekspresi gena dan metabolisme. Hormon bukan substrat yang mengatur kedua proses tersebut, dan oleh sebab itu hormon lebih bersifat sebagai information carriers.
Hormon-hormon yang pertama di kenal disekresikan oleh kelenjar endokrin (internal secretion). Dengan metode kultur sel, pemurnian biokimiawi, dan teknik recombinat DNA, akhir-akhir ini telah diidentifikasi berbagai non-endocrine hormones. Hormon-hormon “baru” tersebut yang disekresikan setempat (locally secreted) dan disebut sebagai paracrine. Hormon dan hormon paracrine mengendalikan homeostasis dan pertumbuhan di sel sasaran yang mengekspresikan reseptor berbagai hormon. Karena hormon tidak langsung berperan proses yang dikendalikannya, hormon juga disebut sebagai pencetus signal transduction protocols yang memberi hasil seluler yang tepat.
Klasifikasi hormon berdasar struktur kimiawinya, hormon dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu : peptida atau derifat asam amino, dan derifat steroid (Tabel 2).
Berdasarkan letak reseptor di sel sasaran, hormon digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Hormon lipofilik, yaitu hormon derifat steroid, retinoic acid, tiroid dan vitamin D. Hormon-hormon tersebut molekulnya kecil, mampu masuk ke dalam sel melalui difusi dan mempunyai reseptor yang letaknya di dalam inti (nuclear receptor), berikatan dan memodulasi ekspresi gena tunggal atau network genes . Akhir-akhir ini diketahui bahwa kholesterol dan asam lemak juga memerlukan protein yang bertindak sebagai lipid transporter .
2. Hormon hidrofilik, yaitu hormon derifat peptida, termasuk growth factors, dan cytokines. Karena sifatnya yang semipermeabel, tidak dapat menembus membran sel, dan oleh sebab itu harus berikatan dengan protein yang merupakan bagian integral dari membran sel (membrane receptor). Ikatan hormon dengan reseptor membran akan memicu sintesis mediator intrasel (second messenger atau intracellular signal transducers).
III. MEKANISME MOLEKULER HORMON ACTION
1. Hormon peptida
Karena permeabilitas yang selektif dari membran plasma, sebagian besar hormon tidak dapat melalui membran secara independen. Oleh sebab itu hormon berikatan dengan protein membran yang bertindak sebagai sensor bagi konsentrasi hormon ekstraseluler.
Hormon peptida berikatan dengan membran reseptor yang beragam, dapat berupa protein yang besar, peptida kecil, atau derifat asam amino. Secara umum, ikatan hormon dengan dengan reseptornya akan menyebabkan sintesis satu atau lebih mediator intraseluler yang disebut sebagai second messenger atau intracellular signal transducers (IST). Sintesis IST diawali dengan perubahan-perubahan konformasional reseptor yang diinduksi oleh hormon tersebut, atau oligomerisasi protein membran yang lain.
Efektor intraseluler yang dikendalikan oleh sinyal transduksi hormonal, termasuk protein yang terletak diberbagai kompartemen membran sel. Beberapa diantaranya adalah : G-proteins dan berbagai ion-channels, protein kinase cAMP response element binding protein (CREB), dan Stat (signal transducers and trascription activator) protein
Fosforilasi protein memegang peran penting dalam tranduksi sinyal hormonal. Selektivitas mekanisme transduksi sinyal (sebagian) dapat berlangsung karena melalui berbagai substrat yang spesifik yang berasal dari jalur sinyal tyrosine kinase. Setiap signal-transducing kinase terdiri dari berbagai isoform yang dapat mengkatalisis fosforilasi bermacam-macam substrat.
Gambar 2. Model hormon peptida (katekolamin dan membrane-active hormones action . Hormon di cairan ekstraseluler berinteraksi dengan reseptor dan mengkatifkan sistim efektor yang terkait. Aktifasi tersebut menghasilkan sinyal intraseluler atau second messenger melalui berbagai jalur, menghasilkan efek akhir hormon terhadap aktivitas metabolic enzim, sintesis protein, transportasi membran, cellular trafficking, sintesis DNA dan RNA, pertumbuhan dan diferensiasi sel.
Di dalam sel, molekul-molekul transduksi sinyal mempunyai letak yang tertentu (highly compartmentalized). Transduksi sinyal dari membran reseptor ke berbagai kompartemen di dalam sel akan menghasilkan bergeraknya informasi dari sensor (reseptor) ke effektor akhir (Gambar 2). Mekanisme aliran informasi tersebut masih sedikit diketahui di awali di dalam multiprotein complex (receptor signaling complex), yang melibatkan reseptor, coupling proteins, kinase, dan substrate. Transduksi dari membran ke kompartemen intraseluler berlangsung melalui 2 cara, yaitu :
- second messenger, molekul yang membawa informasi dari satu
kompartemen ke kompartemen yang lain (cAMP, cGMP, IP3, Ca2+)
- corformational changes yang diinduksi oleh fosforilasi
- corformational changes yang diinduksi oleh fosforilasi
protein. Fosforilasi protein akan menyebabkan protein langsung
bergerak ke kompartemen yang dituju dan memberikan
pengaruhnya.
2. Hormon lipofilik
Hormon lipofilik (steroid seks dan adrenal, tiroid, retinoic acid, dan vitamin D) mempunyai kemampuannya mengatur diferensiasi sel. Mekanisme tersebut dapat berlangsung karena hormon lipofilik dapat lmasuk ke dalam nucleus dan kemudian memodulasi satu gen tunggal atau suatu network genes. Kemampuan tersebut sangat selektif, karena di dalam nukleus didapatkan reseptor (nuclear receptors) yang khas untuk setiap hormon/ligand. Reseptor tersebut merupakan penentu utama (primary determinant) responsi jaringan terhadap hormon yang tertentu.
Nuclear receptor (NR) masuk di dalam suatu keluarga gen faktor transkripsi (gene family of transcription factor), yang berfungsi mengenali sinyal endokrin dan kemudian melakukan responsi yang sesuai (Tabel 3).
Sebelum diaktifkan oleh ligand, sebagian besar Nuclear receptor didapatkan di dalam inti, kecuali reseptor glucocorticoid (GR) dan mineralocorticoid (MR) yang didapatkan di sitoplasma . Interaksi antara hormon glucocorticoid (GR)dan mineralocorticoid (MR) dengan reseptor, akan menyebabkan translokasi reseptor ke dalam inti (Gambar 3).
Nuclear receptor terdiri dari 60 – 70 asam amino DNA binding domain dan 300 asam amino carboxy-terminal ligand binding domain yang dipisahkan oleh 100 – 150 asam amino yang bertindak sebagai “engsel” yang sangat fleksibel.
Interaksi hormonal ligand dengan reseptornya mencetuskan serangkaian kejadian yang berpuncak pada perubahan ekspresi gena. Perubahan-perubahan alosterik di dalam reseptor yang diinduksi oleh ligand, menimbulkan disosiasi protein yang terkait yang berfungsi sebagai penghambat kemampuan mengikat reseptor DNA (inhibitors of receptor DNA-binding ability), kemampuan transkripsi, pembentukan protein unit yang fungsional, ikatan unit pada DNA dengan urutan elemen yang khas (DNA-binding motifs) yang berada dekat promotor gena yang sensitive terhadap hormon, serta aktifasi atau represi transkripsi gena tersebut.
Kapasitas hormonal ligand dalam mengatur transkripsi tergantung dari keberadaan reseptor untuk hormon tersebut di dalam sel, sedangkan kualitas dan kuantitas responsinya dapat bersifat sel spesifik atau gena spesifik. Hal tersebut tergantung dari aktifitas dan keberadaan fator protein seluler tambahan. Mekanisme seluler yang yang menyebabkan inaktifasi sinyal reseptor di dalam nucleus sampai saat ini belum jelas. Diduga enzim yang diinduksi oleh aktifitas reseptor hormon tersebut akan mendegradasi sinyal hormonal.
IV PEROXISOME PROLIFERATOR ACTIVATED RECEPTOR (PPAR)
Peroxisome proliferator activated receptors merupakan subfamily nuclear receptors., sedangkan nuclear receptors merupakan ligand activated transcription factors. Saat ini telah diidentifikasi 3 PPARs yang berbeda, yaitu PPAR alpha, PPAR beta, dan PPAR gamma disandi oleh gena-gena yang berbeda dan masing-masing menunjukkan pola distribusi jaringan yang berbeda pula. Berbagai ligand natural dan sintetik yang menginduksi aktifitas transkripsi PPARs juga telah diidentifikasi (Gambar 4).
Semua PPAR diaktifkan oleh asam lemak (fatty acid = FA), sedangkan berbagai eicosanoid merupakan aktifator PPAR yang lebih spesifik. Aktifator yang lebih selektif untuk PPAR alpha adalah leukotrien B4 (LTB4), 8(S) hydroxyeicosatetranoic acid, 8(S)hydroxyeicosapentanoic acid, sedangkan untuk PPARgamma adalah, prostaglandin J2, 9hydroxyoctadecadienoic acid, 13-hyfroxyoctadecadienoic. Lebih lanjut diketahui bahwa asam fibrat terutama berikatan dan mengaktifkan PPAR alpha, sedangkan thiazolidinedione terutama untuk PPAR gamma.
PPAR gamma 2 diekspresikan terutama di adiposit, dan sedangkan PPAR gamma 1 selain diekspresikan di adiposit, juga di jaringan non adiposit otot skeletal, jantung, hati, tubulus proksimal ginjal, usus besar, sel stroma susmsum tulang, netrofil, makrofag, dan sel karsinoma payu dara.
PPAR yang diaktifkan oleh ligand mengadakan heterodimerisasi dengan retinoid X receptor (RXR) yang diaktifkan oleh 9-cis retinoid acid (Gambar 5).
Heterodimerisasi tersebut akan sangat meningkatkan kemampuan PPAR berikatan dengan urutan DNA yang spesifik di gena sasaran (DNA binding domain) yang dikenal sebagai peroxisome proliferator reactive elements (PPREs). Heterodimer PPAR-RXR dapat berikatan dengan PPREs tanpa adanya ligand, tetapi ligand akan menyebabkan corfomational changes yang menimbulkan aktifasi gena-gena sasaran.
Konformasi yang aktif akan merekrut multiprotein coactivator complex yang mengasetilasi histon (menyebabkan nucleosome lebih terbuka dan aktif) dan berinteraksi secara langsung dengan “mesin” transkripsi gena.
PPAR juga diketahui menekan transkripsi gena melalui jalur sinyal NFkB, Stat, dan AP-1. Thiazolidinedione atau glitazone (GTZ), asam fibrat, asam lemak, berbagai lekotrien dan prostaglandin merupakan ligand untuk PPAR. Hal ini mendukung pendapat bahwa GTZ mempunyai kemampuan anti inflasi.
V. RESISTENSI INSULIN DAN DM TIPE 2
1. Sindrom resistensi insulin
Studi epidemiologi dan fisiologi telah menunjukkan berbagai keadaan yang berkaitan dengan resistensi insulin. Manifestasi klinis dan abnormalitas biokimiawi yang berkaitan dengan resistensi insulin dapat dilihat dalam Tabel 4.
Pada seorang individu dengan resistensi insulin, timbulnya (satu atau lebih) abnormalitas tergantung gena yang spesifik dan pengaruh lingkungan yang memodulasi responsi berbagai jaringan terhadap resistensi insulin.
1. Sindrom resistensi insulin
Studi epidemiologi dan fisiologi telah menunjukkan berbagai keadaan yang berkaitan dengan resistensi insulin. Manifestasi klinis dan abnormalitas biokimiawi yang berkaitan dengan resistensi insulin dapat dilihat dalam Tabel 4.
Pada seorang individu dengan resistensi insulin, timbulnya (satu atau lebih) abnormalitas tergantung gena yang spesifik dan pengaruh lingkungan yang memodulasi responsi berbagai jaringan terhadap resistensi insulin.
2. Penyebab hiperglikemi pada Diabetes tipe 2
Pasien Diabetes tipe 2 menunjukkan kedaan patofisiologi yang sama, yaitu abnormalitas di hati, pulau Langerhans, dan jaringan perifer sasaran insulin action. Kombinasi produksi glukosa oleh hati yang berlebihan, gangguan sekresi insulin, dan resistensi insulin di jaringan sasaran menyebabkan hiperglikemi dan merupakan kedaan yang terjadi pada sindrom Diabetes tipe 2.
Peningkatan produksi glukosa darah oleh hati menyebabkan hiperglikemi puasa. Otot skeletal merupakan jaringan sasaran insulin. Sekitar 80 – 90% ambilan glukosa terjadi di otot skeletal; ambilan glukosa tersebut memerlukan insulin action. Pada Diabetes tipe 2, resistensi insulin timbul sebagai akibat dari gangguan pada reseptor insulin dan pasca reseptor.
3. Sensitivitas dan resistensi insulin
Insulin adalah hormon derifat peptida. Setelah disekresikan dari sel beta, insulin berikatan dengan dua subunit alpha reseptor insulin yang terletak diluar sel, yang bertanggung jawab terhadap ikatan insulin dan mentransmisikan sinyal melalui membran sel menuju dua subunit beta yang terletak di dalam sel. Lebih lanjut subunit beta akan mengalami fosforilasi, meningkatkan aktivitas intrinsik tyrosine kinase, serta meningkatkan fosforilasi substrat protein endogenous. Fosforilasi substrat protein endogenous akan menyebabkan serangkain fosforilasi yang menjurus ke langkah-langkah insulin action, seperti sintesis enzim intraseluler, protein, RNA dan DNA .
Insulin paling sedikit mengendalikan 2 fungsi umum di dalam tubuh, yaitu (1) metabolisme intermediary, dan (2) pertumbuhan (growth) dan diferensiasi. Kedua fungsi tersebut dikendalikan melalui signaling pathways yang berbeda.
Salah satu pengaruh insulin yang paling penting yang terkait dengan DM tipe 2 adalah stimulasi glucose disposal. Dalam kebanyakan kondisi fisiologis, transportasi glukosa memegang peran yang amat penting.
Pasien Diabetes tipe 2 menunjukkan kedaan patofisiologi yang sama, yaitu abnormalitas di hati, pulau Langerhans, dan jaringan perifer sasaran insulin action. Kombinasi produksi glukosa oleh hati yang berlebihan, gangguan sekresi insulin, dan resistensi insulin di jaringan sasaran menyebabkan hiperglikemi dan merupakan kedaan yang terjadi pada sindrom Diabetes tipe 2.
Peningkatan produksi glukosa darah oleh hati menyebabkan hiperglikemi puasa. Otot skeletal merupakan jaringan sasaran insulin. Sekitar 80 – 90% ambilan glukosa terjadi di otot skeletal; ambilan glukosa tersebut memerlukan insulin action. Pada Diabetes tipe 2, resistensi insulin timbul sebagai akibat dari gangguan pada reseptor insulin dan pasca reseptor.
3. Sensitivitas dan resistensi insulin
Insulin adalah hormon derifat peptida. Setelah disekresikan dari sel beta, insulin berikatan dengan dua subunit alpha reseptor insulin yang terletak diluar sel, yang bertanggung jawab terhadap ikatan insulin dan mentransmisikan sinyal melalui membran sel menuju dua subunit beta yang terletak di dalam sel. Lebih lanjut subunit beta akan mengalami fosforilasi, meningkatkan aktivitas intrinsik tyrosine kinase, serta meningkatkan fosforilasi substrat protein endogenous. Fosforilasi substrat protein endogenous akan menyebabkan serangkain fosforilasi yang menjurus ke langkah-langkah insulin action, seperti sintesis enzim intraseluler, protein, RNA dan DNA .
Insulin paling sedikit mengendalikan 2 fungsi umum di dalam tubuh, yaitu (1) metabolisme intermediary, dan (2) pertumbuhan (growth) dan diferensiasi. Kedua fungsi tersebut dikendalikan melalui signaling pathways yang berbeda.
Salah satu pengaruh insulin yang paling penting yang terkait dengan DM tipe 2 adalah stimulasi glucose disposal. Dalam kebanyakan kondisi fisiologis, transportasi glukosa memegang peran yang amat penting.
Saat ini telah diidentifikasi 7 glucosa transporter (GLUT), salah satunya GLUT4, dikenal sebagai insulin-sensitive glucose transporter. GLUT4 diekspresikan terutama di otot skeletal, otot jantung dan jaringan lemak. GLUT4 bertanggung jawab terhadap pengaruh insulin, yaitu stimulasi ambilan glukosa. GLUT4 tersimpan di vesikula-vesikula intrasel, dan pada saat terjadi stimulasi insulin, glucose trasporter ditranslokasikan mendekati membran sel, menempel pada membran sel dan mentransportasikan glukosa ke dalam sel.
Pada DM 2, konsentrasi GLUT4 normal tetapi aktivitas transportasi glukosa berkurang. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa terjadi gangguan insulin action dalam mentranslokasikan GLUT4 mendekati membran sel. Keadaan tersebut timbul akibat gangguan signaling pathway antara reseptor insulin dan stimulasi transportasi glukosa.
a. Sensitivitas insulin
Sensitivitas insulin adalah kemampuan insulin menurunkan konsentrasi glukosa darah dengan cara, 1) menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak, dan 2) menekan produksi glukosa oleh hati.
b. Resistensi insulin
Resistensi adalah keadaan di mana sensitivitas insulin berkurang. Pengukuran resistensi insulin sebenarnya adalah pengukuran sensitivitas insulin. Resistensi insulin timbul akibat kombinasi pengaruh yang diturunkan (inherited) dan lingkungan (didapat = acquired) (Tabel 5).
Resistensi insulin akibat mutasi di dalam signaling pathways (misal : mutasi reseptor insulin), sangat jarang terjadi. Walupun pada DM tipe 2 terbukti bahwa pengaruh genetika resistensi insulin lebih sering terjadi, tetapi letak yang tepat dari defek genetika tersebut masih belum diketahui. Pengaruh lingkungan, seperti aktivitas jasmani yang kurang, obesitas (terutama obesitas abdominal) dan overeating, aging, obat-obatan (glukosteroid, asam nikotinat), dan hiperglikemi sendiri memperburuk resistensi insulin. Peningkatan kadar asam lemak juga menimbulkan resistensi insulin.
Pada DM 2, konsentrasi GLUT4 normal tetapi aktivitas transportasi glukosa berkurang. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa terjadi gangguan insulin action dalam mentranslokasikan GLUT4 mendekati membran sel. Keadaan tersebut timbul akibat gangguan signaling pathway antara reseptor insulin dan stimulasi transportasi glukosa.
a. Sensitivitas insulin
Sensitivitas insulin adalah kemampuan insulin menurunkan konsentrasi glukosa darah dengan cara, 1) menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak, dan 2) menekan produksi glukosa oleh hati.
b. Resistensi insulin
Resistensi adalah keadaan di mana sensitivitas insulin berkurang. Pengukuran resistensi insulin sebenarnya adalah pengukuran sensitivitas insulin. Resistensi insulin timbul akibat kombinasi pengaruh yang diturunkan (inherited) dan lingkungan (didapat = acquired) (Tabel 5).
Resistensi insulin akibat mutasi di dalam signaling pathways (misal : mutasi reseptor insulin), sangat jarang terjadi. Walupun pada DM tipe 2 terbukti bahwa pengaruh genetika resistensi insulin lebih sering terjadi, tetapi letak yang tepat dari defek genetika tersebut masih belum diketahui. Pengaruh lingkungan, seperti aktivitas jasmani yang kurang, obesitas (terutama obesitas abdominal) dan overeating, aging, obat-obatan (glukosteroid, asam nikotinat), dan hiperglikemi sendiri memperburuk resistensi insulin. Peningkatan kadar asam lemak juga menimbulkan resistensi insulin.
Manifestasi klinik resistensi insulin antara lain adalah : DM tipe 2, hipertensi, dislipidemi, atherosklerosis, dan polycystic ovarial syndrome (PCOS).
Thiazolidinedione (TZD)
TZD atau glitazone (GTZ) adalah obat untuk Diabetes tipe 2 (DM 2) dengan mekanisme kerja baru yang berbeda dengan obat hipoglikemi oral yang sudah ada. Thiazolidinedione (TZD) meningkatkan sensitivitas kerja insulin (insulin sensitizing drugs) di jaringan sasaran. TZD diketemukan pada saat para ahli melakukan screenig analog asam clofibrate, untuk menjelaskan pengaruh hipolidemi dan hipoglikemi obat tersebut. Pengaruh antidiabetik asam fibrat tidak dapat dijelaskan. Akan tetapi penemuan bahwa Thiazolidinedione (TZD) meningkatkan diferensiasi adiposit merupakan hal yang sangat penting. TZD diketahui merupakan direct ligand untuk PPAR gamma, berikatan dan mengaktifkan nuclear hormone superfamily peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR gamma)
Sasaran molekuler TZD
Sasaran molekuler TZD terutama adalah peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR gamma). Walaupun site of action yang utama PPAR gamma (dalam hal glucose disposal) adalah di otot skeletal, tetapi PPAR gamma terutama diekspresikan di jaringan lemak. Dalam jumlah yang kecil PPAR gamma juga diekspresikan otot skeletal, di hati, pnemosit, dan di sel-sel kelenjar mamma.Aktivasi PPAR gamma oleh GTZ mempengaruhi metabolisme glucose, diferensiasi adiposity dan memodulasi proses inflamasi. Ikatan GTZ dengan PPAR gamma yang mengadakan heterodimerisasi dengan kompleks RXR-9-cis retinoic acid akan meningkatkan transkripsi insulin-sensitve genes, termasuk gena lipoprotein lipase (LPL), fatty acid transporter protein (FATP), adipocyte fatty acid binding protein(aP2), acyl CoA synthase, malic enzyme dan GLUT-4. Sebaliknya GTZ menekan ekspresi gena leptin dan TNF alpha yang berperan dalam timbulnya resistensi insulin, serta NFB yang berperan dalam proses keradangan dalam patogenesis atherosklerosis (Gambar 7)
Thiazolidinedione (TZD)
TZD atau glitazone (GTZ) adalah obat untuk Diabetes tipe 2 (DM 2) dengan mekanisme kerja baru yang berbeda dengan obat hipoglikemi oral yang sudah ada. Thiazolidinedione (TZD) meningkatkan sensitivitas kerja insulin (insulin sensitizing drugs) di jaringan sasaran. TZD diketemukan pada saat para ahli melakukan screenig analog asam clofibrate, untuk menjelaskan pengaruh hipolidemi dan hipoglikemi obat tersebut. Pengaruh antidiabetik asam fibrat tidak dapat dijelaskan. Akan tetapi penemuan bahwa Thiazolidinedione (TZD) meningkatkan diferensiasi adiposit merupakan hal yang sangat penting. TZD diketahui merupakan direct ligand untuk PPAR gamma, berikatan dan mengaktifkan nuclear hormone superfamily peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR gamma)
Sasaran molekuler TZD
Sasaran molekuler TZD terutama adalah peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR gamma). Walaupun site of action yang utama PPAR gamma (dalam hal glucose disposal) adalah di otot skeletal, tetapi PPAR gamma terutama diekspresikan di jaringan lemak. Dalam jumlah yang kecil PPAR gamma juga diekspresikan otot skeletal, di hati, pnemosit, dan di sel-sel kelenjar mamma.Aktivasi PPAR gamma oleh GTZ mempengaruhi metabolisme glucose, diferensiasi adiposity dan memodulasi proses inflamasi. Ikatan GTZ dengan PPAR gamma yang mengadakan heterodimerisasi dengan kompleks RXR-9-cis retinoic acid akan meningkatkan transkripsi insulin-sensitve genes, termasuk gena lipoprotein lipase (LPL), fatty acid transporter protein (FATP), adipocyte fatty acid binding protein(aP2), acyl CoA synthase, malic enzyme dan GLUT-4. Sebaliknya GTZ menekan ekspresi gena leptin dan TNF alpha yang berperan dalam timbulnya resistensi insulin, serta NFB yang berperan dalam proses keradangan dalam patogenesis atherosklerosis (Gambar 7)
Oleh sebab itu Thiazolidinedione (TZD) akan meningkatkan ambilan glukosa dan asam lemak oleh jaringan lemak, meningkatkan lipogenesis dan adipogenesis, pemanfaatan glukosa dan glikogenesis di otot, dan mungkin menekan produksi glukosa oleh hati. Thiazolidinedione (TZD) juga meningkatkan ekspresi PAI-1, menghambat proses inflamasi , menghambat migrasi dan proliferasi sel otot polos pembuluh darah, serta menghambat ekspresi VCAM-1 dan ICAM-1 di endotel.
VI. KESIMPULAN
Sindrom resistensi insulin dikaitkan dengan meningkatnya resiko kardiovaskuler pada pasien diabetes dan non-diabetes. Thiazolidinedione/glitazone merupakan merupakan obat hipoglikemik oral dengan mekanisme kerja yang berbeda dengan OHO yang lain. GTZ merupakan ligand yang terutama mengaktifkan PPAR gamma, suatu faktor transkripsi yang meningkatkan ekspresi gena-gena yang sensitif terhadap kerja insulin, dan menekan ekspresi gena proinflamasi. glitazone (GTZ) mampu meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan sasaran, Oleh sebab itu glitazone (GTZ) dapat digunakan sebagi terapi pencegahan pada stadium awal sindrom diabetes, karena potensial mempunyai pengaruh langsung mencegah atau menunda komplikasi kardiovaskuler pada diabetes.
VI. KESIMPULAN
Sindrom resistensi insulin dikaitkan dengan meningkatnya resiko kardiovaskuler pada pasien diabetes dan non-diabetes. Thiazolidinedione/glitazone merupakan merupakan obat hipoglikemik oral dengan mekanisme kerja yang berbeda dengan OHO yang lain. GTZ merupakan ligand yang terutama mengaktifkan PPAR gamma, suatu faktor transkripsi yang meningkatkan ekspresi gena-gena yang sensitif terhadap kerja insulin, dan menekan ekspresi gena proinflamasi. glitazone (GTZ) mampu meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan sasaran, Oleh sebab itu glitazone (GTZ) dapat digunakan sebagi terapi pencegahan pada stadium awal sindrom diabetes, karena potensial mempunyai pengaruh langsung mencegah atau menunda komplikasi kardiovaskuler pada diabetes.
VII. DAFTAR PUSTAKA
1. Conn J, Betteridge DJ : Insulin resistance in cardiovascular
disease. British J Cardiol 1998; 5: 329 – 336.
2. Nattrass M, Bailey CJ : New agents for Type 2 diabetes.
Bailliere’s Clinical Endocrinology and Metabolism 1999:
309 – 329.
3. Wilson JD and Foster DW : Hormon and Hormon Action –
Introduction. In: William’s Textbook of Endocrinology,
Wilson JD and Foster DW (Eds.), W.B. Saunder Company, 1992,
p. 1.
4. Sleight RG and Lieberman MA : Signal Transduction. In : Cell
Physiology, Sperelakis N (Editor), Academic Press, 1998,
p.119 – 131.
5. Horseman ND and Pike JA : Cellular Responses to Hormones, In:
Cell Physiology, Sperelakis N (Editor), Academic Press, 1999,
153 – 168,
6. Kahn CR, Smith RJ, and Chin WW : Mechanism of Action of
Hormones that Act on Cell Surface. In: William’s Textbook of
Endocrinology, William DJ and Foster DW (Eds.), W.B. Saunders
Company, 1992, p.91 – 134.
7. Abumrad NA, Sfeir Z, Connely MA,Coburn C: Lipid Transporters
: membrane transport system for cholesterol and fatty acids.
Curr Opin Clin Nutr Metab Care 2000; 4:255 – 262.
8. Clark JH, Schrader WT, and O’Malley BW: Mechanisms of Action
of Steroid Hormones. In: William’s Textbook of
Endocrinology, Wilson JD and Foster DW (Eds.), W.B. Saunders
Company, 1992, p. 35 – 90.
9. Staels B : The PPAR system and the regulation of lipoprotein
metabolism. In: Lipidsand Vascular Disease – Current Issues,
Betteridge JD (Editor), Martin Dunitz, 2000, p. 27 – 37.
10. Vidal-Puig AJ, Considine RV, Jiminez-Linan M, Werman A,
Pories WJ, Caro JF, and Flier JS : Peroxisome
Proliferator-activated Receptor Gene Expression in Human
Tissues. J Clin Invest 1997; 99: 2416 – 2422.
11. Law RE, Goetze SG, Xi XP, Jackson S, Kawano Y et al :
Expression and Function of PPAR gamma in Rat and Human
Vascular Smooth Muscle Cells. Circualtion 2000;101:1311-1318.
12. Reginato MJ and Lazar MA : Mechanisms by which
Thiazolidinediones Enhance Insulin Action. TEM 1999; 10:
9 – 13.
13. DeFronzo : Pathogenesis of type 2 diabetes. Diabetes Review
1997; 5: 177 – 269.
14. White MF, Kahn RC : Molecular Aspect of Insulin Action. In:
Joslin’s Diabetes Mellitus, 1994, p.139 – 160.
15. National Diabetes Education Initiative (NDEI): National
Curriculum Professional Postgraduate Services, 2000.
16. Marx N, Bourcier T, Sukhova GK, Libby P, Plutzky J : PPAR
gamma Activation in Human Endothelial Cells Increases
Plasminogen Activator Inhibutor Type 1 Expression in. PPAR
gamma as an Potential Mediator in Vascular Disease.
Arterioscler Thromb Vasc Biol 1999; 19:546-55.
17. Festa A, D’Agostino R, Howard G, Mykkanen L, Tracy RP,Haffner
SM : Chronic Subclinical Inflammation as Part of the Insulin
Resistance Syndrome- The Insulin Resistance Atherosclerosis
Study (IRAS).Circulation 2000;102:42-47.
18. Pasceri V eta al : Modulation of vascular inflammation in
vitro and In vivo by peroxisome-proliferator-activated
receptor-gamma activators. Circulation 2000; 101: 235 – 238.
19. Law RE et al : Expression and function of PPAR gamma in rat
and human vascular smooth muscle cells. Circulation 2000;
101: 1311– 1318.
Artikel dibacakan pada simposium diabetes melitus dengan tema “New Approach in the Treatment of Type 2 Diabetes” tgl 21 – 22 Oktober 2000, bertempat di Makassar, sulawesi selatan, Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar