Obesitas, toleransi glukosa terganggu dan resiko kardiovaskuler

Oleh : Prof. DR dr Harsinen Sanusi SpPD-KEMD
Sub-Bagian  Endokin-Metabolik
Bagian  Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia



PENDAHULUAN

   Obesitas adalah suatu penyakit yang multifaktorial, kronik dan dianggap merupakan suatu penyakit epidemik yang mengglobal (globesity). Saat ini obesitas bukan hanya masalah orang dewasa akan tetapi juga merupakan masalah pada usia muda seperti anak-anak dan adolosens yang pada saat ini menunjukkan peningkatan 2 kali dalam 2-3 dekade terakhir ini.

   Obesitas yang timbul pada masa anak-anak dan adolosens cenderung akan tetap obes atau berat badan berlebih (“overweight‘) pada masa dewasa. Obesitas mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menderita penyakit arteri koroner, hipertensi, hiperlipidemi, diabetes melitus tipe 2 (DMT2), keganasan, “cerebro vascular accidents”, osteoartritis, penyakit paru restriktif dan “sleep apnoea”. Morbiditas dan mortalitas akan meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan yang ditandai dengan pemeriksaan indeks massa tubuh (IMT) dan lingkaran pinggang.

   Berbagai penelitian menunjukkan bahwa obesitas menurunkan angka harapan hidup. Hal ini dapat terbukti dari “Nurses Health study” yang meneliti 115.000 wanita yang berumur 30-55 tahun selama 15 tahun pada subyek yang sebelumnya tanpa diketahui menderita penyakit kardiovaskuler. Risiko kematian pada mereka dengan indeks massa tubuh 29-32  kg/m2 lebih tinggi 60-70 % dibanding dengan yang mempunyai indeks massa tubuh 25-27 kg/m2. Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 300.000 kematian pertahun ditemukan pada orang-orang dengan overweight dan obesitas. 
 
   Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan adanya disglikemi yaitu kenaikan glukosa plasma 2 jam setelah beban 75 gram glukosa pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) yaitu antara 140 mg/dl sampai dengan 199 mg/dl. Keadaan ini disebut juga sebagai prediabetes oleh karena risiko untuk mendapat diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler sangat besar.

   Baik obesitas dan toleransi glukosa terganggu merupakan faktor risiko utama dari penyakit kardiovaskuler sehingga keduanya dimasukkan sebagai komponen dari sindroma metabolik. Sindroma metabolik terdiri 5 komponen dimana dikatakan sindroma metabolik bila ditemukan sekurang-kurangnya 3 komponen dari 5 komponen. Kriteria ini didasarkan kriteria National Cholesterol Education Program (NCEP) – Adult Treatment Program III (ATP III) yang terdiri dari obese sentral dengan lingkar pinggang lebih atau sama dengan 80 cm,  kadar kolesterol-HDL < 40 mg/dl pada laki-laki dan wanita > 50 cm, trigliserid >150 mg/dl, hipertensi lebih atau sama dengan 130/85 mmHg dan Kadar glukosa plasma puasa lebih atau sama dengan 110 mg/dl.

TOLERANSI GLUKOSA  TERGANGGU (TGT)

   Istilah toleransi glukosa terganggu pertama kali diperkenalkan  pada tahun 1979 oleh “United Group Diabetes Program” (UGDP) dan pada tahun 1980 WHO memasukkan toleransi glukosa terganggu sebagai bagian dari klasifikasi diabetes melitus (DM) dan gangguan toleransi glukosa.

   Dari hasil uji klinis dari beberapa penelitian telah terbukti bahwa toleransi glukosa terganggu merupakan faktor risiko untuk timbulnya diabetes melitus tipe 2. Tercatat 1,5 - 4,0 % pertahun toleransi glukosa terganggu menjadi diabetes melitus.  Dasar timbulnya toleransi glukosa terganggu adalah resistensi insulin. 
    
  Toleransi glukosa terganggu banyak menarik perhatian akhir-akhir ini karena disamping mempunyai hubungan dengan diabetes melitus tipe 2 juga pada toleransi glukosa terganggu kejadian penyakit kardiovaskuler (PKV) meningkat, bahkan beberapa peneliti menemukan risiko penyakit kardiovaskuler lebih besar pada subyek toleransi glukosa terganggu dibanding dengan diabetes melitus tipe 2.

   Komplikasi penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas dari diabetes melitus tipe 2 dan prognosisnya lebih jelek dibanding dengan non diabetes melitus. Diperkirakan 50-75% pasien meninggal akibat penyakit kardiovaskuler. Penelitian UKPDS 1999 memperlihatkan bahwa dengan pengobatan intensif hiperglikemi pada diabetes melitus  memberi efek yang bermakna pada penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler, tetapi menurunkan kadar glukosa darah saja tidak berefek banyak pada risiko penyakit kardiovaskuler. Jadi proses aterosklerosis sudah terjadi jauh sebelum onset diabetes melitus misalnya pada saat toleransi glukosa terganggu. Walaupun kontrol glikemik merupakan salah satu bagian utama mencegah risiko penyakit kardiovaskuler pada diabetes melitus tipe 2, tetapi beberapa faktor risiko lain seperti hipertensi, dislipidemi, dan obesitas sentral yang erat kaitannya dengan resistensi insulin juga memerlukan penanganan untuk mencegah diabetes melitus tipe 2 maupun penyakit kardiovaskuler. 
     
   Prevalensi dan kejadian diabetes melitus dari tahun ketahun semakin meningkat, dan ternyata didahului oleh berbagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler lainnya seperti kegemukan, hipertensi, dislipidemi yang pada dasarnya ditandai dengan adanya resistensi insulin (RI).  Akibatnya hal ini menjadi pertanyaan apakah toleransi glukosa terganggu secara independent dapat merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler tanpa faktor risiko lainya. Penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa kejadian penyakit kardiovaskuler telah terjadi pada kenaikan kadar glukosa plasma tetapi lebih rendah dari kadar glukosa plasma minimal yang memenuhi kriteria diabetes melitus. Keadaan ini dijumpai pada toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa terganggu. Bila dibanding dengan diabetes melitus tipe 2, maka prevalensi toleransi glukosa terganggu / glukosa plasma puasa terganggu jauh lebih tinggi sehingga merupakan fenomena gunung es yang mana toleransi glukosa terganggu dan atau glukosa plasma puasa terganggu tidak nampak atau tidak terdiagnosis sedang diabetes melitus tipe 2 merupakan gunung es nya.

   Pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang tidak mempunyai riwayat infark miokard, mempunyai risiko untuk mendapat serangan infark miokard sama dengan pasien non diabetes melitus yang sudah pernah mendapat infark miokard. Tidak heran bila diabetes melitus tipe 2 tidak dimasukkan dalam kelompok risiko tinggi akan tetapi dianggap kelompok yang sudah pernah menderita penyakit kardiovaskuler.


PATOGENESIS TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU DAN OBESITAS

   Adapun yang mendasari timbulnya toleransi glukosa terganggu dan obesitas yaitu resistensi insulin. Resistensi insulin ditandai dengan penurunan asupan glukosa di otot, lipolisis yang tidak terkendali di jaringan adiposit dan produksi glukosa oleh hati yang meningkat.

   Jaringan lemak atau adiposa terdiri dari sel-sel adiposit yang mengandung trigliserid.  Dalam keadaan normal otot menggunakan glukosa untuk membentuk energi. Bila kadar asam lemak meningkat, maka “Free Fatty Acid (FFA)” banyak masuk dalam otot.

   Pada orang obes atau toleransi glukosa terganggu maka jaringan lemak banyak mengandung sel adiposit yang mengandung selain lemak juga trigliserid. Dari trigliserid dengan bantuan enzim lipoprotein lipase akan diubah menjadi asam lemak bebas, asam lemak tidak jenuh dan gliserol. Asam lemak masuk dalam otot dan hati menyebabkan siklus dari Rendle yang akhirnya menyebabkan hiperinsulinemi yang pada tahap lanjut menyebabkan resistensi insulin.

   Jaringan lemak yang sebelumnya hanya dianggap sebagai deposit trigliserid, ternyata mempunyai fungsi endokrin sitokin dengan menghasilkan hormon TNF-alpha, leptin interleukin 6, resistin dan adiponektin. TNF-alpha, interleukin, resistin menyebabkan resistensi insulin sedang adiponektin dan leptin menghambat resistensi insulin.

   Berdasarkan atas kedua hal tersebut yaitu siklus dari Rendle yang menyebabkan resistensi insulin serta adanya produksi sitokin yang meningkatkan resistensi insulin maka dapat dikatakan bahwa resistensi insulin dapat dianggap sebagai denominator umum dari sindroma metabolik, walaupun WHO menetapkan bahwa tidak semua komponen metabolik dilatarbelakangi oleh resistensi insulin.

   Dengan kelebihan asupan kalori  atau menurunnya pengeluaran energi, menyebabkan keseimbangan energi  menjadi positif, akumulasi lemak pada adiposit intraabdominal meningkatkan pengeluaran FFA, TNF-alpha, leptin, dan produk dari metabolisme jaringan adiposa. Adiposit visceral menyebabkan proses lipolisis dan inflamasi kronik yang subklinis berhubungan dengan risiko kardiovaskuler dan merupakan bagian tidak terpisahkan dengan sindroma metabolik. Penelitian epidemiologis  mengindikasikan adanya peningkatan nilai prediktif risiko kardiovaskuler dengan meningkatnya hs-CRP, walaupun hs-CRP tidak dimasukkan dalam komponen sindroma metabolik. Sindroma metabolik maupun hs-CRP keduanya merupakan prediktor yang independent untuk serangan penayakit kardiovaskuler yang baru.

   Ada 2 kunci yang dianggap sebagai faktor risiko kardiovaskuler pada obesitas: pertama adalah  faktor obesitas sentral sebagai faktor penyakit kardiovaskuler dan kedua adalah jaringan lemak yang dianggap sebagai organ endokrin karena mengeluarkan atau mensekresi sejumlah molekul yang  mengatur atau memodulasi vaskuler, metabolik, inflamasi dari sistim kardiovaskuler. Oleh karena itu deposisi lemak didaerah abdomen adalah merupakan target intervensi klinik pada individu yang obes.
  
   Resistensi insulin dianggap berperan dalam patofisiologi sindroma metabolik. Namun demikian obesitas dan sindroma metabolik/resistensi insulin tidak selamanya bersama-sama karena subyek yang obes tidak selalu harus mempunyai resistensi insulin, sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada orang kurus.

OBESITAS DAN FAKTOR RISIKO KARDIOVASKULER

   Ada dua faktor risiko kardiovaskuler yang berkaitan erat dengan obesitas yaitu hipertensi dan dislipidemi. Hipertensi lebih banyak ditemukan dengan IMT > 30 kg/m2 sedang dislipidemi seperti hipertrigliseridemi, kolesterol-HDL yang rendah dan kolesterol–LDL yang tinggi biasanya menyertai pasien obes. Malahan ditemukan fraksi “ small dense LDL cholesterol“  pada pasien obes meningkat. Dari data prospektif jangka panjang menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko kardiovaskuler yang independent. Makin berat derajat obesitas makin meningkat pula risiko kardiovaskuler dan sebaliknya dengan menurunkan berat badan maka akan diikuti dengan perbaikan pada kadar kolesterol dan tekanan darah. Hal ini dtemukan juga di negara-negara kawasan Asia seperti Jepang menunjukkan kenaikan mortalitas dari penaykit kardiovaskuler pada mereka dengan indeks massa tubuh > 30 kg/m2. Beberapa faktor risiko lain seperti diabetes, hipertensi dan hiperlipidemi juga meningkat pada subyek dengan indeks massa tubuh 25-29,9 kg/m2.

TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU DAN PENYAKIT KARDIOVASKULER

   Ada perbedaan antara toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa terganggu yaitu keduanya tidak equivalen secara metabolik. Berbagai penelitian menunjukkan toleransi glukosa terganggu lebih terkait dengan resistensi insulin sedang glukosa plasma puasa terganggu lebih terkait dengan defisit sekresi insulin.

   Hal ini menjadi pertanyaan yaitu mana yang lebih baik dalam memprediksi diabetes melitus dimasa mendatang. Pasien dengan glukosa plasma puasa terganggu dan atau toleransi glukosa terganggu relatif berisiko tinggi untuk mendapat diabetes melitus tipe 2. toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa terganggu biasanya terkait dengan sindroma metabolik yang terdiri berbagai komponen seperti obesitas, dislipidemi (trigliserid yang meningkat dan atau kolesterol-HDL yang rendah) dan hipertensi yang merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Toleransi glukosa terganggu atau glukosa plasma puasa terganggu dapat dianggap sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler.

   Shaw dkk (1999) menyimpulkan dalam penelitiannya adalah bahwa toleransi glukosa terganggu lebih sensitif untuk memprediksi seseorang akan menjadi diabetes melitus atau penyakit kardiovaskuler dibanding dengan glukosa plasma puasa terganggu. Selanjutnya terbukti pula bahwa apabila seseorang toleransi glukosa terganggu juga menderita glukosa plasma puasa terganggu, maka risiko untuk menjadi diabetes melitus lebih besar. Hal ini ditunjang berbagai penelitian baik di Eropa maupun di Jepang semuanya menyimpulkan bahwa toleransi glukosa terganggu lebih berisiko untuk mendapat diabetes melitus / penyakit kardiovaskuler dibanding glukosa plasma puasa terganggu. Demikian pula risiko toleransi glukosa terganggu lebih besar dibanding dengan faktor risiko penykait kardiovaskuler lainnya. Dapat disimpulkan  bahwa toleransi glukosa terganggu dapat merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler dan strok  dan glukosa plasma puasa terganggu tidak dapat dianggap menggantikan konsep toleransi glukosa terganggu sebagai marker risiko kearah pemburukan menjadi diabetes atau penyakit kardiovaskuler.

   Dasar timbulnya toleransi glukosa terganggu adalah resistensi insulin di jaringan perifer. Oleh karena itu subyek dengan toleransi glukosa terganggu selain kadar glukosa plasma meningkat sering disertai dengan beberapa faktor risiko kardiovaskuler lainnya seperti hipertensi, dislipidemi, obesitas, atau status prokoagulasi. Hal ini menyebabkan subyek dengan toleransi glukosa terganggu lebih rentan untuk menderita penyakit kardiovaskuler.

   Tiga penelitian besar yang memantau subyek toleransi glukosa terganggu dalam jangka lama adalah “Honololu Heart Program”,The Funagata Diabetes Heart Study” dan The Hisayama Heart Study”. Penelitian “The Honololu Heart Program” meneliti penduduk Hawai keturunan Jepang yang berumur 45-68 tahun yang tidak menderita penyakit jantung koroner atau strok terhadap 7549 penduduk dan diteliti selama 23 tahun. Subyek diperiksa kadar glukosa plasma satu jam setelah 50 gram glukosa. Dari hasil pemeriksaan tersebut, subyek dibagi dalam 4 kelompok yaitu kelompok normal rendah bila plasma glukosa < 151 mg/dl, normal tinggi, bila glukosa plasma 151-224 mg/dl, hiperglikemi asimptomatik > 225 mg/dl (subyek sebelumnya tidak diketahui menderita diabetes melitus tipe 2 dan  tidak mengkomsumsi obat anti hiperglikemi). Kelompok empat adalah kelompok dengan kadar glukosa plasma > 225 mg/dl, yang diketahui  diabetes melitus tipe 2 dengan atau tanpa mengkomsumsi obat-obat anti hiperglikemi. (Tabel 1)












     Diteliti jumlah kematian total, kejadian penyakit kardiovaskuler dan kematian akibat penyakit kardiovaskuler setiap tahun. Hasil akhir dari penelitian menunjukkan dengan jelas bahwa makin tinggi kadar glukosa plasma makin tinggi kejadian serangan penyakit jantung koroner serta kematian penyakit jantung koroner maupun keajadian kematian total.

   Selanjutnya penelitian dari Jepang yaitu “Hisayama Study” yang meneliti 2427 penduduk kota Hisayama yang berumur 40-79 tahun yang tidak menderita infark miokard dan bebas dari strok.  Semua subyek yang diteliti diperiksa tes toleransi glukosa oral berdasarkan kriteria WHO 1985. Hasilnya subyek dikelompokkan atas toleransi glukosa normal, toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2. Semua subyek yang berpartisipasi dipantau angka kematian setiap tahunnya selama 5 tahun penelitian. Hasil penelitian menunjukkan angka kematian kardiovaskuler meningkat sesuai dengan perubahan toleransi glukosa. Pada kelompok penderita diabetes melitus tipe 2 maupun toleransi glukosa terganggu lebih banyak yang meninggal akibat infark miokard dan strok dibanding dengan kelompok toleransi glukosa normal. Disimpulkan oleh peneliti bahwa toleransi glukosa terganggu maupun diabetes melitus tipe 2 mempunyai risiko lebih besar dan berbeda secara bermakna banding dengan subyek yang mempunyai toleransi glukosa normal.

   Penelitian “Diabetes Epidemiologi Collaborative Analysis of Diagnostic Criteria in Europe”(DECODE)  adalah penelitian epidemiologis bertujuan melihat hubungan antara kadar glukosa plasma 2 jam setelah beban pada tes toleransi glukosa oral dengan angka kematian serta kejadian kardiovaskuler. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara kadar glukosa plasma baik toleransi glukosa terganggu maupun diabetes melitus tipe 2 dengan meningkatnya angka kematian termasuk angka kematian kardiovaskuler sedang subyek yang glukosa plasma puasa terganggu tidak berkorelasi.

   Penellitian di Jepang yang dikenal dengan “Funagata Diabetes Study memantau subyek toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa terganggu selama 7 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit jantung koroner dan strok jauh lebih tinggi pada toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2 dibanding dengan glukosa plasma puasa terganggu. Angka kematian pada glukosa plasma puasa terganggu malahan tidak berbeda dengan angka kematian pada subyek yang mempunyai toleransi glukosa normal (gambar 1)

   Dari hasil uji klinis dan epidemiologis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2 mempunyai risiko yang lebih besar untuk mendapat penyakit kardiovaskuler dibanding dengan subyek dengan toleransi glukosa normal atau glukosa plasma puasa terganggu. Hasil uji klinis secara meta analisis  menunjukkan bahwa makin banyak komponen faktor risiko yang dimiliki subyek makin besar kemungkinannya menderita diabetes melitus tipe 2. Dari hasil penelitian tersebut mereka yang mempunyai 5 faktor risiko kardiovaskuler yang merupakan komponen sindroma metabolik, risiko untuk menderita diabetes melitus tipe 2 adalah 50%. Sedang mereka yang hanya memliki 1 faktor risiko untuk mendapat diabetes melitus tipe 2 adalah 10%. Risiko akan lebih rendah bila mereka mempunyai toleransi glukosa normal. Salah satu penelitian melaporkan bahwa tinggi rendahnya kadar glukosa plasma puasa dan  2 jam setelah beban glukosa serta indeks massa tubuh dan usia muda merupakan prediktor yang kuat untuk menjadi diabetes melitus tipe 2 dikemudian hari.
 
 

 
 
   Dasar dari meningkatnya risiko diabetes melitus tipe 2 pada mereka yang mempunyai faktor risiko kardiovaskuler adalah resistensi insulin atau obesitas sentral. Peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler berkaitan erat dengan dislipidemi yang berhubungan dengan resistensi insulin atau hiperinsulinemi (kadar kolesterol–HDL yang rendah, hipertrigliseridemi). Sehingga resistensi insulin akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler pada pasien diabetes melitus tipe 2 maupun non diabetes melitus. Dengan memperbaiki profil lipid yang berkaitan dengan resistensi insulin akan menurunkan angka kejadian penyakit kardiovaskuler dan strok.

   Dari 38 penelitian prospektif secara meta-analisis, skala besar dan diikuti selama 4-23 tahun menunjukkan bahwa kadar glukosa plasma adalah sebagai marker risiko untuk penyakit kardiovaskuler pada orang-orang sehat tanpa diabetes melitus. Dari penelitian ini jelas mereka yang mepunyai kadar glukosa plasma setelah beban antara 150-194 mg/dl mempunyai risiko penyakit kardiovaskuler 27% lebih besar dibanding dengan kelompok yang mempunyai kadar glukosa darah antara 69-107 mg/dl.

   Telah dilaporkan bahwa diabetes melitus tipe 2 mempunyai  kecenderungan 2-4 kali untuk mendapat penyakit kardiovaskuler serta prognosis yang lebih jelek dibanding dengan non diabetes melitus. Hal ini disebabkan oleh  karena pada diabetes melitus tipe 2 kadar trigliserid cenderung meningkat dan menurunnya kolesterol-HDL serta meningkatnya tekanan darah akan menyebabkan keadaan menjadi  lebih aterogenik.

   Pada saat ini toleransi glukosa terganggu maupun glukosa plasma puasa terganggu khususnya yang isolated berhubungan dengan  faktor risiko kardiovaskuler dan dimasukkan dalam kelompok sindroma metabolik bersama-sama dengan hipertensi, kegemukan (obes), dislipidemi dan diabetes melitus tipe 2. Beberapa data menunjukkan bahwa toleransi glukosa terganggu sendiri mempunyai hubungan lebih besar dengan hipertensi , dislipidemi daripada glukosa plasma puasa terganggu.

   Penelitian Isomaa dkk (2001) menyimpulkan pentingnya identifikasi dari komponen sindroma metabolik oleh karena dengan makin banyaknya komponen maka akan lebih meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler. Sindroma metabolik (sesuai kriteria WHO) terlihat subyek dengan glukosa toleransi normal meliputi 10%, 50% dengan toleransi glukosa terganggu / glukosa plasma puasa terganggu, dan 80% subyek dengan diabetes melitus tipe 2 .
 
   Toleransi glukosa terganggu dapat dianggap sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler karena toleransi glukosa terganggu menyebabkan kenaikan glukosa darah dan insufisiensi insulin yang mengakibatkan meningkatnya stres oksidatif selanjutnya terjadi disfungsi endotel dan proses inflamasi.  Selain itu toleransi glukosa terganggu sering bersama-sama dislipidemi, hipertensi dan obesitas; penebalan tunika intima dibanding dengan subyek yang normal. 
       
   Diantara komponen sindroma metabolik maka toleransi glukosa terganggu mempunyai risiko 4 kali lebih besar (merupakan risiko terbesar) untuk mendapat diabetes melitus tipe 2 dibanding dengan subyek yang tidak mempunyai faktor risiko kardiovaskuler.
 
OBESITAS DAN TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU

   Obesitas meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2 lebih besar dari faktor risiko lainnya. Penelitian epidemiologis di Amerika Serikat yang melibatkan lebih 100.000 penduduk menunjukkan bahwa orang dengan indeks massa tubuh >35 kg/m2  mempunyai risiko 30-40 kali mendapat diabetes melitus tipe 2 dibanding dengan individu  dengan indeks massa tubuh < 22kg/m2. Prevalensi berat badan berlebih pada diabetes melitus tipe 2  adalah lebih dari 90%. Demikian pula obesitas merupakan faktor risiko diabetes melitus tipe 2 yang tidak tergantung pada umur, ras dan aktifitas fisik.

   Walaupun dari pemeriksaan dan data epidemiologis ada keragu-raguan adanya hubungan kausal antara obesitas dan diabetes melitus tipe 2, akan tetapi  jelas ada suatu keterikatan antara obesitas dan diabetes melitus tipe 2 dan tampaknya dengan mencegah obesitas akan mencegah pula timbulnya kasus-kasus baru diabetes melitus tipe 2.

   Sebagaimana dengan obesitas, sindroma metabolik dihubungkan dengan risiko timbulnya diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler. Resistensi insulin dianggap berperan dalam patofisiologi sindroma metabolik. Namun demikian obesitas dan sindroma metabolik / resistensi insulin tidak selamanya bersama-sama karena subyek yang obes tidak selalu harus mempunyai resistensi insulin, sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada orang kurus.

   Obesitas merupakan faktor pencetus resitensi insulin. Ditemukan sekitar 20% toleransi glukosa terganggu pada anak-anak dan adolesens yang berat badannya berlebihan. Hal yang sama juga menunjukkan bahwa obesitas meningkatkan prevalensi hipertensi.

   Adanya obesitas menyebabkan resistensi insulin dan hiperinsulinemi yang akan menyebabkan diabetes melitus    tipe 2, akan tetapi pada orang Asia kemungkinan disebabkan oleh karena insufisiensi insulin akibat penuruna sekresi insulin oleh sel-sel  beta pankreas .

   Beberapa penelitian prospektif membuktikan ada hubungan erat antara obesitas dan meningkatnya prevalensi angka diabetes melitus tipe 2. Faktor risiko yang paling utama meningkatnya risiko diabetes melitus tipe 2 adalah meningkatnya berat badan. Suatu penelitian secara prospektif yang melibatkan 50.000 pria selama 5 tahun penelitian, disimpulkan bahwa kenaikan indeks massa tubuh > 24 kg/m2  risiko diabetes melitus tipe 2  mulai meningkat, sedang bila indeks massa tubuh > 35 kg/m2 frekuensi diabetes melitus tipe 2, 40 kali lebih banyak dibanding dengan mereka yang mempunyai indeks massa tubuh < 23 kg/m2 . 
 
    Penelitian oleh Kho dkk di Hong Kong menunjukkan peningkatan frekuensi diabetes melitus tipe 2 mulai pada  indeks massa tubuh > 24,3 kg/m2 pada pria dan 23.2 pada wanita.

RINGKASAN

   Obesitas suatu penyakit yang multifaktorial, kronik mengglobal dan menjadi masalah bukan saja orang dewasa akan tetapi juga pada usia anak-anak dan adolosensia. Obesitas terkait dengan sindroma metabolik dan keduanya meningkatkan risiko penyakit kardiovaskulrer, namun peranan obesitas sebagai faktor independent masih kontroversial.

   Baik obesitas maupun sindroma metabolik keduanya meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2. Peranan resistensi insulin merupakan dasar patofisiologi dari sindroma metabolik maupun obesitas dalam menyebabkan penyakit kardiovaskuler, namun yang mendasari dari semua hal tersebut adalah faktor genetik yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor lingkungan yang masih dapat dimodifikasi karena masih reversibel. 
 
   Obesitas dan sindroma metabolik tidak selalu bersama-sama dalam satu individu dan obesitas sendiri tidak dapat memprediksi risiko kardiovaskuler dikemudian hari karena tidak selalu disertai oleh resistensi insulin. Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa obesitas mempunyai hubungan linear dengan hipertensi, dislipidemi dan diabetes melitus tipe 2 yang merupakan komponen utama dari sindroma metabolik. Toleransi glukosa terganggu merupakan perantara antara subyek normal dengan diabetes melitus tipe 2 juga merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler. 
 
   Obesitas sering disertai resistensi insulin sedang toleransi glukosa terganggu timbul didasarkan oleh karena resistensi insulin. Keduanya adalah merupakan komponen dari sindroma metabolik yang merupakan faktor risiko utama klasik dari penyakit kardiovaskuler.

DAFTAR PUSTAKA

1.  Nisoli E,Carruba MO. Emerging aspects of pharmacotherapy for

    obesity and metabolic syndrome (Academic Press).
    Pharmacological research 2004; 50: 453-469.
2.  Alberti KG.MM “Pre-diabetes” definition Book of abstracts 1st

    International Congress on Prediabetes and the metabolic
    syndrome. Berlin April 13-16,2005;1
3.  WHO expertt committee on diabetes mellitus. Technical report

    series 646. Second report. Geneva: World Health 
    Organization.1980
4.  Zavaroni I. Risk factors for coronary artery disease in

    healthy persons with hyperinsulinemia and normal glucose
    tolerance. N Engl J Med 1989; 320: 702-706.
5.  UK Prospective Diabetes Study Group. UK prospective diabetes

    study 6. Complications in newly diagnosed type 2  diabetic 
    patients and their association with different clinical and 
    biochemical risk factors. Diabetes Res 1990;13:1-11.
6.  American Diabetes Association Clinical Practice

    Recommendations 2004. Diab Care  2004;27:S5-S10
7.  Rios MS. Epidemiology of cardiovascular disease in type 2

    diabetes Clin Practice 2001; IJCP suppl 121:  4-7.
8.  Gerstein HC, Rosenstock J. Insulin therapy in people who have

    dysglicemia and type 2 diabetes mellitus: Can both
    cardiovascular protection and beta-cell preservation?
    Endocrinol Metab Clin N Am 2005;34: 137-154.
9.  Wilding JPH. Obesity and nutritional factors in the 

    pathogenesis of type 2 diabetes mellitus Textbook of
    Diabetes. Pickup JC, Williams G (eds.), 3th ed., Blackwell
    Science, Oxford 2003: 20.1-20.16.
10. Bertteridge DJ, Morrel  Clinicians’ Guide to Lipid and 

    coronary heart disease 2nd ed. Arnold  A member of the
    Hodder Headline group London 2003;157-159.
11. The Expert Committee on the Diagnosis and Classification of 

    Diabetes Mellitus. Report of the expert Committee  on the 
    diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes
    Care 2002;25(suppl 1) : S5-S20.
12. Lefebvre PJ. The metabolic syndrome revisted. The metabolic 

    syndrome: Diabetes, Obesity, Hyperlipidemia and
    hypertension.Editors. Crepaldi G, Tiengo A, Avogaro
    A.2003;3-10
13. Han TS, Leer EM,Seidel JC’ Lean MEJ. Waist circumference 

    action levels in the identification of cardiovascular  risk 
    factors: prevalence study in a random sample. Br Med J 1995; 
    311: 1401-1405.
14. Han TS, Sattar N,Williams K,et al.Prospective study of

    C-reactive protein in relation  to the development of 
    diabetes  and metabolic syndrome in the Mexico City Diabetes
    Study. Diabetes Care. 2002;25: 2016-2021.
15. Sharma AM. Adipose tissue: a mediator of cardiovascular risk.

    International Jour of Obesity 2002; 26 suppl 4:  S5-S7.
16. Grundy SM. What is the contribution of obesity to the

    metabolic syndrome? Endocrinol Metab Clin N Am.2004; 33:
    267-282.
17. The Asia-Pacific Perspective: Redefining obesity and its 

    treatmentassesment diagnosis.2000.
18. Fujishima M, Kiyohara Y, Kato I, Ohmura T, Iwamoto H,

    Nakayama K, Ohmori S, Yoshitake T. Diabetes And 
    Cardiovascular Disease In A Prospective Population Survey In
    Japan. The Hisayama Study. Diabetes 1996; 45
    (suppl 3):S14 - S16.
19. Tominaga M, Eguchi H, Manaka H, Igarashi K,  Kato T, Sekikawa

    A. Impaired Glucose Tolerance Is A Risk Factor For
    Cardiovascular Disease, But Not Impaired Fasting Glucose. The
    Funagata Diabetes Study. Diabetes Care  1999;22: 920-924.
20. Shaw JE,Zimmet PZ,de Courten M, Dowse GK,Chitson P, Gareeboo

    H,Hemraj F, Fareed D, Tuomilehto J, Alberti KGMM: 
    Impaired Fasting Glucose Or Impaired Glucose Tolerance: What
    Best Predics Future Diabetes? Diabetes Care 1999;
    22:399-402.
21. Rodriguez BL, Lau N, Burchfiel CM, Abbot RD, Sharp DS, Yano

    K, Curb JD. Glucose Intolerance And 23-Year Risk Of  Coronary
    Heart Disease And Total Mortality. The Honolulu Heart 
    Program. Diabetes care 1999;22: 1262-1265.
22. Meigs JB, Nathan DM, D’Agostino RB, Wilson PWF. Fasting And

    Postchallenge Glycemia And Cardiovascular Disease  Risk.
    Diabetes Care 2002; 25: 1845-1850.
23. The DECODE Study Group on behalf of the European Diabetes\ 

    epidemiology Gropu. Glucose tolerance and  cardiovascular 
    mortality. Comparison of fasting and2-h diagnostic criteria.
    Arch Intern Med 2001;161: 397-404.
24. Edelstein SL, Knowler WC, Bain RP.etal.Predictors of 

    progression from impaired glucose tolerance to NIDDM. An
    analysis of six prospecti ve studies. Diabetes 1997; 46:
    701-710.
25. Levitan EB, et al. Is nondiabetic hyperglycemia a risk

    factor  for cardiovascular disease?. A meta analysis of 
    prospective study. Arch Intern Med.2004; 164: 2147-2155.
26. Haffner SM,Lehto SL, Ronnemaa T, Pyorala K, Laakso M.

    mortality from coronary heart disease in subjects with
    type 2 diabetes and in non-diabetic subjects with and without
    prior myocardial  infarction .N Engl J Med  1998;339:229-234.
27. Alexander CM, Landsman PB, Teutsch ST.Diabetes mellitus, 

    Impaired Fasting Glucose, Atherosclerotic Risk Factors, and 
    Prevalence of Coronary Heart Disease. Am J Cardiol 
    2000;86:897-902
28. Unwin N, Shaw J, Zimmet P, Alberti KGM. Impaired Glucose

    Tolerance And Impaired Fasting Glycaemia: The Current On
    Difinition And Intervention. Diabet. Med.2002; 19: 708-723.
29. Isomaa BO, Almgren P, Tuomi T et al . Cardiovascular

    morbidity and mortality associated with the metabolic
    syndrome. Diabetes care 2001;24: 683-689
30. Grundy SM. What is the contribution of obesity to the 

    metabolic syndrome? Endocrinol Metab Clin N Am.2004; 33:
    267-282.
31. Adler A. Obesity and target organ damage: diabetes. Intern J

    obesity.2002;26 suppl 4: S11-S14
32. Schunkert H. Obesity and target organ damage: the Heart.

    Intern J obesity.2002; 26 suppl 4: S15-S20.
33. Kho GTC, Chan JCN,Cochram CS, Woo JE. Prediction of 

    hypertension diabetes, dyslipidemia or albuminuria using
    simple anthropometric indexes in Hongkong Chinnese Int J 
    Obes.1997;7: 409-415.

 
 




















0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Dokter Network Angk 97